Oleh Heriyanto, Pontianak
Suara-suara kecil itu seringkali tak terdengar hingga ke
gedung besar di Senayan, Jakarta.
Di suatu sore, Alatief Arahman dengan suara bergetar
bercerita panjang lebar tentang apa yang dialaminya. Mata-matanya berkaca-kaca.
Alatief adalah kepala adat di desa Dabung, Kubu Raya, Kalimantan Barat. Dia tak
pernah membayangkan bakal berurusan dengan polisi. Dia bukan pencuri, perampok,
atau penjahat kriminal lain.
Semua berpangkal pada usaha tambak yang digeluti sejak
1992. Tambak ini merupakan areal percontohan yang disupport dinas terkait.
Pejabat kerap melakukan panen raya. Termasuk dua orang gubernur.
Namun pada 2009 tiba-tiba Alatief bersama 50 warga
dijadikan tersangka oleh Polda Kalbar. Warga dituduh merusak hutan karena
membangun tambak di kawasan hutan lindung. ”Kami punya ijin kok dijadikan
tersangka,” ujarnya.
Warga tidak pernah
diberitahu bahwa desa mereka masuk kawasan hutan lindung, yang ditetapkan tahun
2000. Warga kehilangan pendapatan sekaligus siap masuk penjara.
***
Di tempat lain,
beratus-ratus kilometer dari Desa Dabung, saya bertemu Jamaludin. Dia warga
desa Semunying Jaya, di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia, di Kabupaten
Bengkayang.
Jamaludin bercerita, sudah 7 tahun warga mempertahankan
hutan adat yang dicaplok perkebunan kelapa sawit. Sebagian besar kawasan hutan
telah rata dengan tanah.
Pembabatan hutan telah menghilangkan sumber kehidupan
mereka. Sumber air minum warga bahkan sudah tercemar limbah. Kini kehidupan
warga semakin miskin.
Berbagai upaya dilakukan dari demonstrasi, dialog hingga
ke melapor kantor polisi. Agar tanah mereka kembali. Tapi justru perusahaan
melaporkan warga ke polisi karena dianggap menghalangi usaha perusahaan.
***
Sebagai jurnalis saya kerap
meliput berbagai persoalan warga di berbagai daerah. Di sana saya bertemu
banyak kisah muram. Kisah tentang warga yang kehilangan tanah, hutan, atau
ditangkap polisi karena mempertahankan hak mereka.
Beberapa penggal kisah diatas
hanyalah sebagian kecil saja. Terlalu banyak kisah-kisah seperti ini diberbagai
tempat.
Saya selalu bisa menjadi
pendengar yang baik bagi mereka. Tapi saya bukanlah orang yang punya kekuasaaan
untuk menolong mereka. Kecuali, menuliskan kisah mereka dengan harapan
bisa didengar banyak orang, terutama pejabat berwenang.
Saya kerap berandai-andai
memiliki kekuatan lebih besar untuk menolong warga. Misalnya, menjadi Anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Saya tentu akan punya peluang lebih besar
membela daerah, sebagaimana gagasan dasar pembentukan DPD RI untuk lebih
mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar
kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik, terutama yang
berkaitan langsung dengan kepentingan daerah.
Saya kira banyak persoalan daerah
yang tidak didengar pemerintah pusat. Karena itu, sebagai anggota DPD, saya
tidak perlu terlalu banyak duduk-duduk di kantor. Saya akan mengunjungi lebih
banyak tempat dan mendengarkan sebanyak mungkin masalah warga di daerah.Semuanya
akan saya sampaikan pada Pemerintah: “Lihatlah! Akibat dari kebijakan yang
salah, rakyat yang menerima dampaknya.”
Sebagai anggota DPD saya memang tidak punya kekuasaaan
seperti eksekutif. Tapi saya bisa berbuat banyak hal, misalnya mendorong
pemerintah, baik pusat maupun di daerah, untuk menyelesaikan berbagai yang
dihadapi warga.
Saya akan mencoba menganalisis
berbagai sisi kebijakan pemerintah. Bagian mana yang kurang tepat, bagian mana
yang sudah pas, dan bagian mana yang perlu diperbaiki. Sehingga berbagai persoalan
itu tidak terjadi dimasa datang. (**)
1 comment:
Fungsi DPD memang berarti ketika menjadi saluran aspirasi rakyat daerah.tulisan yang inspiratif....:)
Post a Comment