Oleh
Heriyanto, Bonn
Hujan
menyapa Kota Bonn pagi itu. Udara dingin menusuk tulang. Saya sebenarnya sudah
siap-siap berangkat menuju bekas Kedutaan Indonesia di jalan Bernkasteler
Strasse. Saya
sudah membayangkan setelah solat ID bisa menyantap berbagai masakan Indonesia yang
gurih itu. Maklum selama di Jerman, susah sekali mau mencari menu masakan Indonesia .
Tapi hujan tak kunjung reda. Masalahnya saya tak punya mantel, payung apalagi. Padahal di Jerman setiap orang wajib punya payung. Di Indonesia khan bisa cari daun pisang. Ah, alamat tak jadi menikmati makanan yang enak-enak itu, pikir saya.
Tapi hujan tak kunjung reda. Masalahnya saya tak punya mantel, payung apalagi. Padahal di Jerman setiap orang wajib punya payung. Di Indonesia khan bisa cari daun pisang. Ah, alamat tak jadi menikmati makanan yang enak-enak itu, pikir saya.
Tante Sri Rahayu mengirim pesan singkat sebelumnya. Dia mengabari, shalat ID akan dilaksanakan pukul 10. Saya diminta datang lebih awal karena takbiran akan dimulai sejam sebelumnya. Tante Sri wanita yang ramah. Sudah 30 tahun lebih dia tinggal di Jerman dan sekarang bekerja di Radio Deutsche Welle redaksi
Pukul
8.30 hujan mulai mereda. Ah senangnya. Dari Flat saya di Tannenbush Mitte
menuju Bernkasteler Strasse saya naik
kereta bawah tanah atau biasa disebut Subway. Kereta ini merupakan transportasi
publik yang sangat nyaman. Dari orang biasa, pelajar, hingga manajer kantoran
menggunakan kereta ini. Saya tak perlu beli karcis setiap saat karena saya
sudah punya karcis bulanan.
Gedung
bekas kedutaan letaknya jauh dari jalan utama. Dari pemberhentian terakhir,
saya masih harus berjalan kaki. Ada
beberapa gang yang harus dilalui. Ups! Di Jerman nggak mengenal istilah gang
ya.. Setelah sedikit mencari-cari, akhirnya sampai juga di lokasi. Gedungnya
cukup besar, namun tidak terawat. Wajar saja karena sudah lama ditinggalkan.
Di
dalam, suara takbir sudah berkumandang. Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar..
Ah senangnya berlipat-lipat. Ah, saya jadi ingat suasana lebaran di Pontianak . Di Jerman
tentu saja tak ada takbiran keliling. Juga tak ada masjid yang memasang
pengeras suara keras-keras.
Biar terasa
suasana lebaran, saya sengaja mengenakan baju koko dan peci. Rasa-rasanya sudah
lengkap. Tinggal sarung saja yang belum. Susah
juga kalau pakai sarung di kereta ya? Hehe.
Di sana sudah ada seratusan warga Indonesia yang datang dari sejumlah
tempat di Jerman. Tampaknya saya datang agak terlambat. Selain warga Indonesia ada
juga umat Muslim dari negara lain, seperti Turki.
Yang
cukup menarik perhatian saya adalah sejumlah bule-bule muda terlihat ikut
takbiran. Rupanya mereka adalah muallaf yang menikah dengan perempuan Indonesia . Lucu
juga lihat bule-bule itu memakai koko dan kopiah. Di Jerman banyak warga Indonesia yang kuliah dan lantas mendapat
pekerjaan di sana .
Sebagian kecil dari mereka menikah dengan warga Jerman. Bule-bule itu mengikuti
pasangannya memeluk agama Islam.
Takbiran
sudah berhenti. Shalat Id dimulai. Setelah selesai, seorang pria muda mulai
membacakan khotbah. Pria muda itu adalah Widianto, seorang doktor yang baru
lulus dari Universitas Bonn. Sewaktu di kereta, lelaki ini sempat menegur saya.
Dia mungkin menerka-nerka saya berasal dari Indonesia dari pakaian yang saya
kenakan. Meski dibalut jaket, baju koko saya masih terlihat. “Dari Indonesia juga
ya?” tanyanya. Saya bilang saya mau ke bekas Kedutaan. Rupanya dia juga mau ke sana .
Sebelumnya
saya tak akan menyangka kalau lelaki itu yang saya temui di kereta itu orang Indonesia . Pakaian
necis, topi gaya
Eropa, dan sibuk membaca di kereta. Lebih tak menyangka lagi kalau dia adalah khotib
sholat Id yang akan saya ikuti. Saat membaca khotbah, pakaian necisnya sudah
berganti dengan pakaian khas khatib: pakai jas, sarung, dan kopiah.
Isi khotbahnya
tidak jauh berbeda dari khotbah yang biasa saya dengar di Indonesia . Temanya
memaknai hari yang fitri. Yang berbeda, Widianto menggunakan dua bahasa, Indonesia dan
Jerman. Maklum di sana tidak hanya orang Indonesia saja
yang mendengarkan.
Selesai khotbah,
semua jemaat membuat lingkaran saling salam-salaman. Suasana kekeluargaan
begitu terasa. Hidup jauh dari keluarga, membuat kedekatan emosi antar warga Indonesia itu begitu
erat. “Di sini khan kita jauh dari keluarga. Makanya dengan teman-teman sesama
warga Indonesia
jadi kerasa kayak keluarga sendiri,” ujar Agus, salah seorang diantaranya. Diantara
mereka ada yang sudah bertahun-tahun tidak pulang ke Indonesia . Inilah yang kerap
mengingatkan mereka akan suasana lebaran di kampung halaman.
Tapi tak
ada yang lebih mengingatkan suasana lebaran di Indonesia dibanding menikmati
makanannya. Opor ayam, dendeng, rendang, ketupat, lontong, dan berbagai
pasukannya sudah terhidang dengan manis di meja. Saatnya, serbu!! Kami
bersama-sama menikmati berbagai menu Indonesia itu. Sudah selesai?
Belum. Masih ada menu lain yakni kue-kue dan minuman yang enak. Ah mumpung
gratis, kapan lagi. Setidaknya jatah uang untuk beli makanan hari ini bisa buat
besok..haha..
Pulangnya
saya bahkan masih sempat membawa dua bungkus makanan. Bungkus pertama berisi
opor ayam, yang lainnya adalah sayur lodeh. Ah, lebaran akhirnya sampai juga di
kamar. Hati saya gerimis, seperti suasana Bonn
hari itu. **
No comments:
Post a Comment