Tradisi seni bertutur Dayak
Desa yang disebut Bekana kini terancam punah. Hanya sedikit orang tua yang
masih menguasainya, sementara anak-anak lebih tertarik pada musik populer. Saya
datang ke desa Ensaid Panjang, Sintang, mendengarkan orang-orang tua
melantunkan Bekana yang hampir hilang.
Oleh Heriyanto, Sintang
Di sebuah rumah panjang di desa Ensaid Panjang, Sintang,
Kalimantan Barat, Hermanus Bintang asyik melantunkan bait-bait Kana atau syair.
Suaranya sesekali meninggi, di lain waktu merendah. Warga desa lain, yang
sebagian besar orang tua, duduk mendengarkan.
Hermanus Bintang adalah satu
dari sedikit orang yang masih menguasai tradisi bekana, yakni seni bertutur
suku Dayak. Bentuknya berupa senandung untuk memanjatkan doa, menyampaikan sindiran
dan pujian, ataupun memberi nasehat.
“Kana
itu istilahnya kita mengucapkan syukur pada sang Batara, artinya kita
mengucapkan syukur pada Tuhan,” ujar Hermanus Bintang.
Bekana biasa dilantunkan saat upacara adat seperti pesta
panen, gunting rambut atau penyambutan tamu. Sejak dahulu kala, nenek moyang
suku Dayak terbiasa dengan kesenian sastra tutur Bekana. Tapi, tidak banyak
lagi yang menguasai tradisi ini. Hermanus Bintang berkata, “sekarang banyak
yang malu untuk mempelajari Kana. Mereka tidak menguasai bahasa nenek moyang
dulu.”
Darius Mambu, pemuda setempat mengaku tidak begitu
tertarik pada Bekana yang menurutnya sulit dimengerti. “Pernah belajar dulu tapi cuma
iiiii githu, pernah tuh, sambil gurau-gurau githu ya, tetapi akhirnya nggak
bisa juga ya. Padahal dulu sering belajar tu, susah dimengerti bahasanya tuh.”
Bagi anak-anak muda Dayak, lagu populer lebih menarik
dibanding seni Bekana. Linin Markus, tokoh masyarakat setempat, merasa prihatin
soal ini. ”Kalangan
muda 95 persen sudah tidak menguasai lagi, kecuali mereka yang masih ada di
pelosok-pelosok yang tidak terpengaruh barang luar, seperti HP, TV. Pokoknya hiburan-hiburan
dari luar-lah.”
Dedy Armayadi, penulis buku Kearifan Lokal Masyarakat
Dayak mengatakan masuknya televisi atau radio berdampak besar pada kebudayaan
setempat. Dulu sangat banyak orang bisa melantunkan bekana, tapi kini hanya
bisa dihitung jari. “Karena ada intrusi budaya dari berbagai macam budaya yang masuk ke
mereka sehingga masyarakat di sana pada umumnya lebih tertarik pada
budaya-budaya modern ketimbang budaya tradisional, sehingga yang menguasainya
hanya terbatas di kalangan tertentu terutama orang tua yang berusia lanjut,”
jelas Dedy Armayadi.
Di sebuah ruangan di Ibukota Sintang, orang-orang tua
berkumpul untuk melantunkan berbagai seni tradisi lisan yang mereka kuasai.
Dedy Armayadi lantas merekamnya. Ini bagian dari program pelestarian budaya
Dayak, kata Dedy.
Dedy Armayadi merekam syair-syair bekana, mencatat, dan
mengartikan makna yang terkandung dalam syair-syair bekana tersebut, “kemudian
kita masukkan juga ke dalam buku.”
Upaya merekam tradisi Bekana menggunakan teknologi video
atau audio diharapkan bisa melestarikan tradisi itu untuk generasi mendatang.
Paling tidak, generasi Dayak di masa mendatang masih bisa menjalin keterikatan
dengan seni bertutur kuno itu melalui pemutar musik.
No comments:
Post a Comment