Oleh Heriyanto, Bengkayang
Damianus Nadu berjalan cepat masuk ke dalam hutan. Sesekali dia menebaskan parangnya, membuka jalan agar mudah dilalui. Dedaunan masih basah oleh hujan semalam. Sepanjang perjalanan, suara burung terdengar bersahutan di dalam hutan lebat yang berisi pohon-pohon besar tinggi menjulang.
Damianus Nadu berjalan cepat masuk ke dalam hutan. Sesekali dia menebaskan parangnya, membuka jalan agar mudah dilalui. Dedaunan masih basah oleh hujan semalam. Sepanjang perjalanan, suara burung terdengar bersahutan di dalam hutan lebat yang berisi pohon-pohon besar tinggi menjulang.
Hutan
inilah yang dijaga oleh Damianus Nadu, 47 tahun seorang bekas pembalak liar
yang berinisiatif mempertahankan hutan adat seluas 200 hektar itu. “Ini demi
anak cucu nanti. Saya telah banyak melihat banyak sekali hutan yang menghilang
oleh perusahaan kayu. Saya khawatir dan kasihan sekali melihat anak cucu nanti.
Jika mereka mengenal jenis-jenis tanaman seperti bengkirai, kapur dan lain
sebagainya, mereka hanya mengenal nama saja,” ujar warga Desa Sahan, Kecamatan
Seluas, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat ini.
Dulu,
Damianus adalah penebang kayu paling handal di desanya. Sudah banyak pohon yang
tumbang di tangannya. “Dua hari itu saya bisa hasilkan 2 truk kayu,” kata
Damianus. Namun ia mengaku tak tenang. Merasa bersalah lantaran nenek
moyangnya dulu menjaga hutan, tapi ia justru menebanginya. Tapi begitu ia
berpikir bahwa hutan semakin habis, ia mulai sadar. Sejak awal 2000-an,
aktivitas ini mulai dikurangi. “Kalau kita cerita tentang manusia ya, kalau
pohon ditebang itu kan pohon nangis. Jadi ada rasa kasihan.”
Kesadaran
ini semakin tebal seiring Damianus melihat luas hutan terus berkurang. Baik
oleh pembalak liar seperti dirinya, atau oleh perusahaan legal. Hutan di
desanya kini nyaris tak tersisa, hancur sekitar 80 persennya. Yang tersisa
hanya hutan di sisi timur desa. Damianus khawatir hutan itu bakal ikut punah.
Karenanya, hutan itu lantas ditetapkan sebagai hutan adat.
Hutan
adat ini diberi nama Pengajit, dikukuhkan pada 2002 silam oleh Bupati
Bengkayang saat itu, Yacobus Luna. Penetapan itu atas usul Damianus yang merasa
perlu ada aturan bersama demi mempertahankan hutan adat yang terancam
pembalakan liar. Kepala adat Dusun Melayang, Evodius Andong adalah orang yang
mendukung upaya ini. “Pak Nadu yang punya inisiatif. Bagaimana jalan keluar supaya
kita lebih kuat mempertahankan hutan. Maka ini dijadikan sebagai hutan adat,”
ujar Evodius.
Demi
menjaga hutan, setiap hari Damianus Nadu keliling hutan memastikan tak ada yang
mencuri kayu di sana. Tugas ini juga dibebankan pada warga lain, terutama para
pemuda. Bila ada orang yang mencuri kayu warga tak segan menangkapnya. Warga
memang dilarang tebang kayu tanpa izin. “Boleh dipakai dan dipergunakan
penduduk setempat, dengan catatan dia pergunakan yang sudah tumbang atau yang
sudah mati. Saya tidak akan pernah izinkan menebang sesuka hatinya,” ujar
Damianus Nadu, bersemangat.
Kalau
tertangkap basah mencuri atau menebang pohon tanpa izin, siap-siap saja kena
denda adat. Si pencuri harus membayar 3 kali lipat harga kayu yang ditebang.
Kayu disita, sementara uang hasil denda itu akan disimpan di kas kampung,
digunakan untuk menjaga hutan. “Misalnya kalau mereka menebang kayu tanpa
lapor, maka bisa kita hukum. Apalagi kalau dia menjualnya lagi ke luar
Bengkayang, berarti itu sudah ada kaitan dengan bisnis, sehingga kita hukum.”
Aturan
ini terus ditegakkan, meski tak mudah melakukannya di masa-masa awal. Banyak
warga merasa dirugikan karena tak boleh lagi tebang pohon. Menurut Ateh, pemuda
desa setempat, tak mudah mengubah pandangan ini. Namun aturan terus ditegakkan
dan diperkenalkan lewat berbagai pertemuan desa. “Sekarang kita masih bisa
lihat pohon-pohon besar. Kalau itu dibabat, di masa mendatang hanya cerita atau
dongeng yang kita dapatkan,” ujar Ateh.
Kehadiran
sungai-sungai ke arah desa seolah jadi pengingat warga. Karena Hutan Adat
Pengajitlah, sumber air tetap terjaga. Lebatnya hutan juga menghalau angin
kencang dan banjir. “Keberadaan hutan itu bukan hanya untuk manusia saja, tapi
juga sebagai sumber air, juga menahan erosi. Angin pun terpental di situ karena
hutan masih lebat,” tambah Ateh.
Desa
Sahan terletak di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat. Mayoritas penghuninya
adalah Suku Dayak Bekatik. Sisanya pendatang, terutama para transmigran Jawa.
Hutan Adat Pengajit berada 3 kilometer di sebelah timur desa.
Hutan
ini menyediakan bibit beraneka ragam jenis pepohonan, seperti kayu Ulin,
Gaharu, atau Masang. Karenanya hutan sering jadi sasaran penelitian berbagai
industri, terutama kalangan akademisi, kata Ateh.
Pada
awalnya tak mudah meyakinkan warga untuk tak lagi menebang pohon sesuka hati. Damianus
Nadu terkadang harus berhadapan dengan warga yang bandel. “Kita kadang dibenci
karena kita bertindak keras, berperilaku keras. Orang yang tidak senang kepada
kita kadang dendam dan sebagainya. Itu kan bagian daripada rintangan dan
tantangan,” kata Nadu
Pengusaha
kayu mulai mengincar kayu-kayu bernilai tinggi dari Hutan Adat Pengajit. Kata
Damianus, ia pernah ditawari 5 miliar rupiah oleh pengusaha untuk menyerahkan
hutan adat seluas 200 hektar ini. Namun Damianus menolak. “Karena kalau takut
sedikit saja, sudah habis kita. Karena kita ini orangnya sendiri kan? Sementara
yang kita hadapi itu kan masyarakat yang beragam dan bermacam alasan dan
kepentingan. Makanya harus berani dan tegas.”
Pada
tahun 1980-2000, pembalakan liar marak terjadi di Kalimantan Barat, termasuk di
Kabupaten Bengkayang. Orang dengan mudah menebang kayu karena tidak tegasnya
aturan hukum. Kayu-kayu hasil pembalakan liar banyak yang diselundupkan ke
Malaysia, cerita Damianus Nadu.
Ancaman
lain adalah ekspansi kebun kelapa sawit. Survei Walhi Kalimantan Barat
menunjukkan kalau lingkar luar desa sudah mulai dimasuki kebun sawit. Aktivis
Walhi Sumantri menemukan bukti perambahan di Hutan Adat Pengajit di batas hutan
di sebelah timur. “Setelah diukur dengan GPS, kerusakan tersebut mencapai 2000
meter persegi.”
Sejak
tahun lalu, warga menghadang masuknya perusahaan kebun sawit, tak rela hutan
adat dan wilayah desa mereka dirampas. Alat berat untuk mengerjakan lahan
dilarang masuk ke kawasan desa. Hendra Laban, seorang pemuda setempat, termasuk
satu diantara warga yang menolak. “Kami tidak mau tanah kami digusur
tanpa sepengetahuan kami. 100 persen tidak mau terima,” ujar Laban, sembari
mengepalkan tangannya.
Warga
sampai harus berdemo karena perusahaan sudah membersihkan lahan dengan
alat-alat berat. “Akhirnya terjadi penembakan. Penembakan itu ada yang ke
atas, beri peringatan. Tapi semua masyarakat membawa senjata api semua,
termasuk mandau.” Sejak itu, tak ada lagi pengusaha kebun sawit yang berani
mendekati Hutan Adat Pengajit.
Warga
menjaga hutan untuk kepentingan mereka sendiri. Sampai saat ini tak sepeser pun
bantuan diterima dari pemerintah setempat. Misalnya, untuk kesediaan warga
menjadi penjaga hutan. Kepala Adat Evodius Andong mengatakan, usul itu pernah
diajukan ke Pemda, tapi lenyap begitu saja. “Kami dulu punya ide begitu. Satu
atau dua orang menjaga hutan Pengajit, mereka itu diberi honor untuk menjaga
hutan dari si pencuri kayu dan sebagainya. Mereka bilang nanti bisa, tapi setelah
kami tanya di sana, dananya belum ada.”
Hutan
Adat Pengajit tak bisa lepas dari Damianus Nadu. Bekas pembalak yang jadi
pelindung hutan.(her)
No comments:
Post a Comment