Rumah
betang adalah rumah tradisional Suku Dayak. Rumah ini berbentuk rumah panggung
dengan panjang mencapai lebih seratus meter. Jumlahnya kini kian sedikit. Yang
masih bertahan pun kondisinya sudah tua, satu diantaranya di Desa Ensaid
Panjang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Di masa depan cerita soal Rumah
Betang barangkali hanya bisa dilihat di kartu pos dan perangko.
Oleh
Heriyanto, Sintang
Hujan
rintik-rintik membasahi dedaunan di sekitar rumah betang, Desa Ensaid Panjang,
Kabupaten Sintang Kalimantan Barat. Hari masih pagi. Sebagian warga lebih
memilih beraktivitas di dalam Betang. Ada yang mengayam, ada yang menenun, dan
ada pula yang menumbuk beras.
Rumah betang adalah rumah tradisional Suku Dayak. Rumah ini berbentuk rumah panggung
yang panjangnya lebih dari 100 meter. Atapnya sirap, dari kayu ulin. Betang
dalam bahasa Dayak artinya Kampung.
Karena
ini rumah panggung, tentu ada tangganya. Tangga rumah betang sengaja dibuat
tinggi. Ratusan tahun lalu, tinggi tangga bisa mencapai 8 meter. “Untuk
melindungi penghuni dari serangan musuh,” kata Hermanus Bintang, sang ketua
adat.
“Dulu
saat musim kayau tuh, bisa nyampai 7-8 meter. Pake tombak pun tidak nyampai. Tangganya
tinggi. Kalau sudah malam tangganya ditarik, pintunya ditutup. Supaya musuh-musuh
tidak masuk,” cerita Hermanus.
Musim
kayau yang dimaksud Hermanus adalah tradisi berburu kepala manusia saat perang
suku. Ini lazim terjadi di zaman dahulu, saat antar suku kerap saling
menyerang. Jika bisa mendapatkan kepala manusia artinya orang tersebut dianggap
kesatria. Kepala itu lantas dihadiahkan kepada keluarga sebagai bukti
kemenangan dan dijadikan persembahan saat berlangsungnya upacara adat.
Tokoh
masyarakat Ensaid Panjang Ringan menjelaskan, rumah betang sengaja dibangun
tinggi untuk alasan keamanan. “Baik dari sesama manusia, maupun dari hewan
buas,” kata Ringan. “Dulu sering terjadi perang antar suku, itu pertama. Kedua
juga keamanan dari binatang buas. Karena dulu kan tempat tinggal ini memang
berada di hutan-hutan lebat.”
Betang
yang bentuknya memanjang juga jadi simbol kebersamaan warga Dayak. Di dalam
satu rumah, bisa ada lebih dari 30 keluarga. Ratusan orang hidup bersama di
bawah satu atap.
Rumah betang Ensaid Panjang dibangun pada 1986. Warga mengerjakannya secara gotong
royong. Ini betang ketiga yang ditinggali Hermanus Bintang. Dua betang
sebelumnya sudah lama roboh.
Menurut
Bintang, jika ada betang yang roboh, maka warga akan gotong royong membangunnya
kembali. Dulu, bahan bangunan diperoleh dari hutan sekitar, tapi sekarang beberapa
bahan harus dibeli dari luar. “Dulu kita pakai rotan untuk mengikat kayu, tapi
sekarang kita pakai paku. Cari rotan sudah susah sekarang,” ujar Hermanus
Bintang.
Rumah betang
Ensaid Panjang terletak di Kabupaten Sintang. Dari ibukota Provinsi Pontianak
setidaknya harus menempuh perjalanan bus selama 9 jam menuju ibukota Sintang.
Lantas dilanjutkan dengan ojek selama 2 jam. Siap-siaplah menemukan jalan rusak
dan berlubang saat masuk ke desa ini.
Di Rumah
Betang, saya berbincang dengan Sembay, tokoh masyarakat yang sudah tinggal di
sana sejak lahir. Karena rumah ini bentuknya panjang, di dalam rumah terdiri
dari banyak bagian. Ada dua bagian besar di dalam betang yaitu ruai dan bilik.
Ruai yakni ruang terbuka, dan bilik adalah ruang tertutup. Panjang tradisional
ini 130 meter dan lebar 60 meter. Di dalamnya ada 29 bilik yang dihuni 33
keluarga.
Ruai
yang lapang biasanya digunakan untuk kegiatan keseharian, seperti ritual adat
atau menganyam kerajinan tangan. Sementara bilik diperlakukan sebagai rumah per
keluarga. Di dalam bilik ukuran 6 kali 4 meter aktivitas masak sampai tidur
dilakukan di sana.
Malam
hari tiba. Suasana di sekeliling rumah betang gelap gulita. Suara jangkrik
terdengar makin keras. Bilik Sembay hanya diterangi lentera kecil yang tak
mampu mengusir gelap. Malam itu, mesin genset terlambat dihidupkan karena
menunggu bahan bakar yang belum tiba.
Sembay
menjabat sebagai kepala dusun. Dia menerima saya menginap di biliknya. Bilik
Sembay tak seberapa luas: ada ruang tamu, satu kamar tidur dan dapur. Luasnya
tak lebih dari 24 meter persegi.
Tinggal
di Rumah Betang tak membuat warga di sana terisolir. Ada radio serta TV yang
suaranya menyemarakkan suasana. Ini satu-satunya televisi di sana yang
diletakkan di ruai tengah. Setiap malam,
warga beramai-ramai nonton TV. Satu TV untuk ratusan orang. Acara favorit warga
adalah film laga. Ada yang duduk dan ada pula yang sambil berbaring.
Suasana
kekeluargaan begitu terlihat. Kalau ada jadwal gotong royong esok harinya,
langsung bisa disampaikan saat itu juga saat menonton televisi.
Sembay
bekerja sebagai petani, sama seperti kebanyakan warga Betang. Lahan yang mereka
garap adalah tanah adat yang dimiliki secara bersama-sama. Penghasilan tambahan
datang dari pekerjaan menyadap karet.
Para
lelaki di Betang punya kebiasaan berburu di hutan. Seperti yang dilakukan oleh
Raden, tetangga Sembay. Saat ditemui, Raden tengah membuat peluru dari timah.
“Untuk nembak babi hutan,” katanya sembari memukul-mukul timah menjadi bulatan
kecil. Senjata yang digunakan adalah
senapan lantak. Senjata ini dirakit sendiri.
Sementara
para perempuannya menenun kain tenun ikat di waktu senggang. Seperti yang biasa dilakukan Adriani, Istri
Sembay. Membuat kain tenun tenun ikat bukanlah perkara mudah. Adriani
bercerita, butuh waktu sekitar 3 bulan untuk menyelesaikan satu buah kain
ukuran besar. “Lama bikinnya. Bisa
sampai tiga bulan. Nyusunnya yang susah,” kata Adriani yang saat itu sedang
menyiapkan alat tenunnya.
Sekarang
coba perhatikan di penjuru Pulau Kalimantan. Rumah Betang nyaris tak terlihat
lagi, jumlahnya kian sedikit. Ciri khas Suku Dayak ini terancam punah dimakan
zaman.
Rumah
Betang Ensaid Panjang adalah satu dari sedikit rumah betang yang masih bertahan
di Kalimantan Barat dan satu-satunya yang masih berdiri di Kabupaten Sintang.
Giring
Melabo adalah peneliti di Institute Dayakologi yang pernah melakukan penelitian
tentang Rumah Betang. Ia menemukan, jumlah rumah betang di penjuru Kalimantan
Barat kini tak lebih dari 27 buah, “Padahal dulu ada ribuan rumah betang,”
katanya. Salah satu penyebabnya, kata Giring, adalah penggusuran di era
1960-an.
“Alasannya
katanya kurang sehat bagi orang Dayak. Selain itu juga dianggap menumbuhkan
nilai-nilai komunalisme yang bisa berkembang ke komunisme, padahal sebenarnya
tidak seperti itu,” ujar Giring Melabo.
Penggusuran
ini sedikit banyak mengubah tatanan kehidupan masyarakat Dayak. Apalagi
kemudian masyarakat Dayak banyak yang membangun rumah tunggal, tak lagi tinggal
bersama keluarga besarnya.
“Ini kemudian mengakibatkan nilai solidaritas,
nilai kebersamaan masyarakat Dayak mulai terkikis, individualisme sedikit
banyak mulai merambahi Dayak,” tambah Giring.
Banyak
juga rumah betang yang roboh dimakan umur. Linin Markus, warga Desa Sungai Pukat
bercerita, dulu di desanya ada rumah betang, tapi kini roboh setelah ditinggal
pergi penghuninya. “Di desa saya dulu ada betang juga, bahkan lebih panjang
dari betang Ensaid Panjang. Tapi sudah lama roboh. Kita sudah buat rumah
masing-masing,” cerita Linin Markus.
Matheus,
kerabat Sembay, dulu juga tinggal di rumah betang Ensaid Panjang. Tapi setelah
menikah, ia hijrah ke Kabupaten Sekadau, sekitar 3 jam dari kampung halamannya,
dan membangun rumah tunggal. “Saya kawin dengan orang sana, jadi tinggal di
sana.”
Ancaman
terhadap keberadaan rumah betang juga datang dari luar. Ekspansi kebun kelapa
sawit, misalnya, yang telah menyulap hutan di lingkaran luar desa menjadi
tinggal kenangan. Padahal hutan sudah bertahun-tahun memberikan mata
pencaharian bagi warga.
“Yang
dulunya masih hutan lebat untuk kebutuhan masyarakat tetapi sekarang sudah
menjadi hutan sawit. Gimana kita mau bikin sirap? Gimana kita mau bikin anyaman?
Kayu dan rotan sudah habis,” ujar Sembay.
Karenanya
warga Desa Ensaid Panjang menolak keras masuknya kelapa sawit ke daerah mereka.
Aktivitas membabat hutan selalu dihalang-halangi. Sebab memangkas hutan berarti
mencerabut akar budaya masyarakat betang, kata Ringan, tokoh masyarakat Ensaid
Panjang. “Supaya masyarakat yang mendiami rumah betang ini tidak tercerabut
dari akar budayanya. Karena memang hutan tidak mungkin dipisahkan dari rumah
betang.”
Dedy
Armayadi, dari PRCF Indonesia, lembaga yang konsen dalam konservasi dan
pemberdayaan masyarakat Dayak
mengingatkan, rumah betang Ensaid Panjang sudah 20 tahun lebih ditetapkan
pemerintah sebagai cagar budaya. “Tahun 1982, pemerintah Kabupaten Sintang menjadikan
rumah betang ini sebagai cagar budaya. Setelah ditetapkan ternyata perhatian
pemerintah tidak berlanjut.”
Sembay
khawatir, simbol kebersamaan yang diusung rumah betang bakal hilang ditelan
waktu. “Kita kan punya anak cucu, tanah itu kan bukan tambah luas, justru makin
sempit. Kehidupan ini kan bukan hanya untuk hari ini,” sesalnya.
Kalau
tak ada aksi apa pun, bisa jadi anak cucu Sembay dan warga Dayak lainnya hanya
bisa memandang Rumah Betang dari selembar kartu pos atau perangko. (*)
No comments:
Post a Comment