Di sebuah tempat tak jauh dari sungai Elba, di sebuah
taman yang dipenuhi bunga-bunga, Max duduk terpekur. Dipandanginya foto Clara
Sach yang sedang tersenyum seolah-olah hidup dan berbicara dengan manis.
Diusap-usapnya foto itu dengan jemarinya.
Hamburg sore itu basah setelah diguyur hujan. Dulu ia dan Clara sering menyusuri Rentzelstraße menuju
sungai Elba di sebelah selatan pusat kota, seusai menjalani perkuliahan yang
padat. Mereka biasanya akan mampir dulu di sebuah toko buku kecil atau mencari
sepotong pizza yang mudah ditemui di sepanjang Rentzelstraße. Buku karangan
Victor Hugo, Notra Dame De Paris dan Les Miserables habis mereka baca
bersama-sama. Setelah itu mereka akan memandangi Philodendron yang saat itu
sedang tumbuh subur. Warna hijau beradu dengan matahari.
Dari kampusnya, Max biasanya suka berjalan kaki menuju
tempat itu. Perjalanan yang membuat ia bisa merasakan kesegaran. Hamburg adalah
kota yang sejuk dan indah. Jalan-jalan terlihat rapi. Bangunan-bangunannya
bergaya Eropa dengan arsitektur yang apik. Bunga-bunga ada di tiap sudut kota.
Tapi lebih dari itu, ada keindahan yang menawan hati Max. Keindahan yang lebih
indah dari Hamburg. Keindahan seorang wanita. Clara Sach.
Max mengambil jurusan filsafat modern di Universitas
Hamburg, sementara Clara mengambil Kebijakan Politik Internasional. Keduanya
aktif pada pemerintahan mahasiswa. Seringkali mereka terlibat dalam
penggalangan dana untuk kegiatan sosial. Pernah juga terlibat protes pada
kebijakan pemerintah yang pro-perang dan protes anti-aborsi. Mereka sering
bertemu, berdikusi, berdebat, bertengkar dan akhirnya saling jatuh cinta:
sebuah rasa yang berjalan dengan pelan dan akhirnya menjadi begitu dalam.
Clara Sach gadis yang cantik, cerdas dan lincah. Juga
seorang yang radikal pemikirannya. Gadis yang hebat, yang selalu memesona Max
setiap kali bertutur kata. Selesai studinya Clara kembali ke negaranya,
Yuglosavia dan kemudian bergabung pada partai oposisi di negaranya. Di sana
menjadi salah seorang aktivis anti pemerintah yang giat menyuarakan
demokratisasi di negaranya.
Sementara Max tetap di negaranya melanjutkan studinya
mengambil program doctoral. Ia mendapat beasiswa dari kampusnya. Kini Max
menjadi salah seorang pengajar di sana dan menjadi staff ahli pada departemen
luar negeri. Sejak perjumpaan terakhir mereka tak pernah bertemu lagi. Max tak
pernah menerima kabar Clara.
Kabar yang ia dapatkan lebih banyak soal gentingnya
Yuglosavia. Ia sering lihat demo besar-besaran di Yugoslavia melalui jaringan
televisi internasional. Terakhir ia dengar Clara dikenai cekal dan tidak bisa
pergi ke luar negeri. Kabar itu memang samar-samar. Satunya-satunya kabar dari
Clara yang pernah Max terima yaitu setahun lalu via email yang memberitahukan
bahwa Clara sedang dalam tekanan dan sulit berhubungan dengan dunia luar. Ia
bilang butuh bantuan. Tapi bantuan macam apa Max tak tahu. Tapi yang paling ia
syukuri Clara masih hidup. Berarti ia masih punya harapan.
***
“Kau tahu Max aku harus pergi. Jika harus memilih aku
ingin tetap bersamamu. Ingin terus membelai wajahmu. Ingin merapikan bajumu, ingin
terus membaca bait-bait Victor Hugo bersamamu,” kata Clara pada Max dengan
gemetar.
“Tapi negaraku sedang gawat. Di sana rakyat semakin
miskin, pemerintahan sekarang ini tak bisa diandalkan. Rakyatku menderita Max.
Aku harus bantu mereka. Mungkin aku tak bisa berbuat terlalu banyak untuk
rakyatku, tapi aku tak akan tahan bila aku terus di sini mendengarkan rakyatku
tiap hari mati dengan menyedihkan,” Clara berkaca-kaca.
Tangan Clara mengusap pipi Max. Disentuhnya dengan
lembut. Hangat. “Aku cinta engkau Max, tapi aku juga cinta rakyatku. Kita
lakukan tugas kita masing-masing. Aku harap kita bisa bertemu lagi suatu saat
nanti.” Itulah ucapan terakhir Clara pada Max. Sebuah kata yang sangat
menyesakkan bagi Clara. Lebih-lebih bagi Max.
Sampai kini Max masih mengharapkan pertemuan itu. Setiap
akhir pekan Max akan selalu datang ke taman bunga itu. Menunggu Clara. Dalam
hatinya, Max yakin bahwa pertemuan itu akan terjadi. Dan keyakinan itu
membuatnya ia selalu menunggu.
Max terus mencari informasi perkembangan di Yugoslavia.
Kabar terbaru dari jaringan berita Internasional bahwa Yugoslavia makin parah
dan tak menentu. Beberapa hari yang lalu pemerintah setempat menangkapi
beberapa oposan, termasuk salah seorang pemimpinnya. Namun tak jelas siapa
ditangkap itu. “Mungkinkah Clara?” Max begitu cemas. Ia benar-benar takut Clara
tak selamat. Bisa saja Clara diculik dan kemudian dibunuh. Hal yang terakhir
itu yang paling ditakutinya.
Namun ia mendengar pula bahwa demonstrasi besar-besaran
terjadi di Yugoslavia belum mampu menumbangkan pemerintah lama. “Mungkinkah
Clara bisa bebas?” gumam Max dalam hati.
Ia coba mengontak Clara. Tapi ia belum dapatkan jawaban.
Max benar-benar putus asa.
***
Ini tahun ke 10 sejak pertemuan terakhir dengan Clara.
Max masih sering ke taman bunga itu. Tapi suasana sudah begitu berubah.
Bunga-bunga yang dulu sering ia pandangi bersama Clara sudah tak ada diganti
dengan beton. Sore itu Max sengaja datang ke sana ingin menenangkan diri
setelah memberikan kuliah yang padat.
Kemarin ia menerima email dari Clara.
Kepada Max Schroeder yang baik.
Kita pernah sama-sama baca Les Miserables yang menawan itu. Kita tahu, tokoh Jean Valjean dalam cerita itu jadi korban malang kekacauan politik. Dia berjuang dengan berani untuk membebaskan negaranya dari kemiskinan, kebodohan, dan kebrutalan penguasa. Meski akhirnya harus ditangkap, dipenjara, dan dibunuh.
Kau tahu Max, kisah itu juga ada di negaraku. Aku harap masih bisa berbuat sesuatu untuk negaraku. Sampai kini aku masih tak sepenuhnya bebas. Aku tak bisa ke mana-mana. Tapi aku harus melakukan sesuatu semampu ku, meski sewaktu-waktu nyawaku bisa melayang..
Minta maafku karena tak bisa menemuimu. Terima kasih telah menungguku.
Kita pernah sama-sama baca Les Miserables yang menawan itu. Kita tahu, tokoh Jean Valjean dalam cerita itu jadi korban malang kekacauan politik. Dia berjuang dengan berani untuk membebaskan negaranya dari kemiskinan, kebodohan, dan kebrutalan penguasa. Meski akhirnya harus ditangkap, dipenjara, dan dibunuh.
Kau tahu Max, kisah itu juga ada di negaraku. Aku harap masih bisa berbuat sesuatu untuk negaraku. Sampai kini aku masih tak sepenuhnya bebas. Aku tak bisa ke mana-mana. Tapi aku harus melakukan sesuatu semampu ku, meski sewaktu-waktu nyawaku bisa melayang..
Minta maafku karena tak bisa menemuimu. Terima kasih telah menungguku.
Regard,
Clara Sach.
Clara Sach.
Hamburg sore itu basah setelah diguyur hujan. Kristal
hujan berpendar berkilauan terkena matahari. Angin berhembus menggoyang pelan
daun yang basah. Buliran air di ujung daun Philodendron jatuh dengan
rapuh.
Di sebuah tempat tak jauh dari sungai Elba, di sebuah
taman yang dipenuhi bunga-bunga, Max duduk terpekur. Dipandanginya foto Clara
Sach yang sedang tersenyum seolah-olah hidup dan berbicara dengan manis.
Diusap-usapnya foto itu dengan lembut.
Pagi tadi Max lihat di televisi sebuah bom meledak di
kawasan sebuah kantor oposisi anti pemerintah yang menewaskan puluhan orang.
Satu di antaranya seorang wanita. Clara Sach namanya. (*)
3 comments:
pertamax gan,,,
Mantap bos ;-)
mantap neh bro....
Post a Comment