Oleh
Heriyanto, Kubu Raya
Perahu motor yang kami tumpangi
berjalan pelan menyusuri sungai di kawasan hutan mangrove Desa Kubu, Kabupaten
Kubu Raya. Di kanan kiri sungai terlihat pohon-pohon
bakau memagari kawasan ini. Ini kawasan yang sangat indah. Daun-daun bakau
terlihat hijau menyejukkan pandangan. Seringkali kami yang duduk di luar perahu
harus merunduk jika tidak ingin wajah kami terkena ranting atau kayu bakau yang
melintang di atas sungai.
Kami datang bertujuh. Ada Sergio dari
Spanyol, Jonas dari Denmark, serta Dedy Armayadi, Supri Adi, Aline Koq, dan Pay
Jarot Sujarwo dari Pontianak. Sergio dan Jonas adalah dua pemuda backpaker dari
luar negeri. Keduanya ingin melihat Bekantan yang kabarnya sering ditemui di
kawasan ini. Mereka penasaran seperti apa rupa Bekantan yang kabarnya hidungnya
mirip orang bule itu.
Bekantan atau biasa disebut Monyet Belanda merupakan satwa endemik Pulau Kalimantan. Bekantan
memiliki ciri khas hidung yang panjang dan besar dengan rambut berwarna coklat
kemerahan. Dalam bahasa ilmiah, Bekantan disebut Nasalis
larvatus.
Bang
Bujang, lelaki yang menjadi pemandu kami mengatakan, biasanya tidak sulit
menjumpai si Monyet Bule. Tapi sudah lama perahu motor bergerak, belum juga muncul
batang hidung si Bekantan itu. Si Jonas masih berharap bisa bertemu dengan
bekantan dan memotretnya. Tapi, kami memang benar-benar belum beruntung. Tak
ada sama sekali tanda-tanda bahwa hewan itu akan muncul. Kami terus melihat ke
arah dedaunan. Barangkali ada pergerakan di sana yang mungkin saja itu Bekantan
yang berlari menjauh. Namun nihil.
Kami
memang tak bertemu Bekantan seperti tujuan awal datang ke sana. Tapi ada hal
yang membuat kami senang. Di tengah perjalanan, tiba-tiba Bang Bujang menunjuk
ke samping kanan perahu. Di sana terlihat sesuatu yang muncul ke permukaan dan
beberapa saat kemudian menghilang ke dalam air. Selang beberapa menit gerakan
di permukaan air itu berpindah ke tempat lain. Saya dan teman-teman lain segera
melihat ke arah hewan tersebut. Mesin motor mulai dipelankan. Kami mencoba
memutar untuk melihat lebih dekat. “Itu di sana. Ada dua
pasang,” teriak Dedy.
Kami semua langsung memandang
ke arah itu. Kami belum tahu pasti hewan apakah yang kami temui itu. Namun
kemungkinan adalah lumba-lumba. “Sepertinya lumba-lumba, bukan pesut. Air di sini payau. Kalau pesut
mereka hidup di air tawar,” ujar Dedy.
Sergio segera menyiapkan
kameranya. Begitu pula Dedy Armayadi yang segera mengeluarkan kamera
selulernya. Sebaliknya Jonas yang membawa kamera panjang justru menyimpan
kameranya. “Saya tidak peduli dengan memotret. Saya hanya ingin menikmati saja.
Memandangi mereka,” ujar Jonas dalam bahasa Inggris.
Jonas mengaku terkesan. Ia baru
pertama kali ini melihat langsung lumba-lumba di alam liar. “It’s amazing,”
kata Jonas. Makanya ia hanya ingin menikmati apa yang dilihatnya itu tanpa
diganggu dengan aktivitas memotret. Berbeda dengan Segio tak henti-henti
memotret, meski tak mendapatkan bidikan yang bagus. “Mereka tampak malu dan
selalu menjauh. Sulit sekali memotretnya,” ujar Sergio.
Menurut Dedy Armayadi,
keberadaan lumba-lumba di sungai itu menandakan bahwa hutan di sana masih bagus. “Itu pertanda bahwa di sini
masih banyak ikannya, dan berarti pula habitatnya masih terjaga,” ujar aktivis
lingkungan yang bekerja di People Resources and Conservation Foundation ini.
Menurut warga mereka memang
sering bertemu lumba-lumba di wilayah muara Kubu. Biasanya lumba-lumba itu
tersangkut jaring nelayan. Tapi warga selalu melepaskannya kembali. Warga
percaya bahwa keberadaan lumba-lumba itu membawa berkah. “Kalau ada
lumba-lumba, di sekitarnya pasti banyak ikan,” ujar Bang Bujang.
Muara
Kubu, tempat kami menemukan lumba-lumba itu, berair payau. Wilayah ini memang
terletak di daerah pesisir. Sungai di daerah bakau itu terhubung dengan laut di
wilayah selatan. Jadi air laut akan masuk ke sungai dan bercampur dengan air
tawar dari daratan.
Hutan
mangrove menjadi sangat penting keberadaannya untuk menjaga ekosistem di
wilayah itu. Namun belakangan ini, hutan bakau di wilayah itu terancam oleh
aktivitas penebangan yang dilakukan perusahaan. Adalah PT Kandelia alam yang
memiliki konsesi selama 40 tahun untuk menebang hutan bakau seluas lebih dari
18ribu hektar di wilayah itu.
Kami
mengunjungi sejumlah lokasi yang sudah ditebang oleh perusahaan. Potongan-potongan
kayu bakau yang sudah ditebang ditempatkan di pinggir-pinggir sungai. “Penebangan
bakau ini akan sangat mengganggu habitat lumba-lumba dan berbagai jenis hewan
yang hidup di sekitar areal bakau, seperti ikan, udang dan kepiting,” ujar Dedy
Armayadi. “Jika itu terjadi kita akan sulit bertemu lumba-lumba di daerah ini,”
tambahnya.
Warga Desa
Kubu masih berharap daerahnya tidak dirusak. Warga meminta sebagian wilayah
untuk dikonservasi. “Kami minta hutan yang berada dekat wilayah desa tidak
ditebang. Kami selama ini tergantung dengan hutan ini. sebagian
warga berprofesi sebagai nelayan. Kalau ini ditebang, maka hilanglah
penghasilan warga,” ujar Herman, pemuda desa Kubu.
“Dengan
mengkonservasi hutan bakau ini juga sekaligus melindungi keberadaan
lumba-lumba,” tambah Dedy Armayadi. (Heriyanto)
1 comment:
mantab jaang...
Post a Comment