Oleh
Heriyanto, Kapuas Hulu
Di
sebuah rumah panjang, rumah tradisional suku Dayak, Ganim (60) membuka baju dan
memperlihatkan Tato yang memenuhi hampir seluruh bagian tubuhnya, mulai
punggung, dada, tangan, kaki, hingga leher. Punggung adalah bagian tubuh yang
paling banyak dipenuhi tato.
Bentuk
tato di tubuh Ganim beragam. Ada
yang bergambar bunga, bulatan, hewan, atau symbol mata angin. Beberapa bentuk
tato terlihat aneh. Misalnya saja gambar burung garuda dan di atasnya ada
tulisan Singapura. Tato lain yang juga cukup unik adalah gambar pesawat
terbang. “Banyak yang bertanya pada saya apa arti tato saya ini,” ujar tokoh
masyarakat Dayak Iban di Desa Kelawik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
ini.
Mentato tubuh merupakan tradisi bagi sebagian besar
subsuku Dayak di Kalimantan. Kayaan dan Iban adalah dua sub suku yang terkenal
akan keindahan tatonya. Tapi tato bagi Orang Dayak tidak hanya sekadar untuk
keindahan estetika saja, namun memiliki makna khusus. Bagi Dayak Iban tato
menggambarkan strata sosial pemiliknya. Para petinggi kampung atau tokoh adat
memiliki tato khusus yang berbeda dari orang biasa.
Dari sisi mitologis, masyarakat Dayak Iban percaya Batara
(Tuhan) menghendaki orang Iban bertato sebagai penanda bagi Batara untuk
mengenali orang-orang Iban. “Tato itu seperti kunci bagi orang iban untuk masuk
ke surga,” ujar Ganim.
Melalui kunci inilah, orang Iban bisa masuk ke dalam
Surga. Ada beberapa motif tato yang merupakan representasi mahluk dari dunia
sabayan (surga) yang menjaga dan memberi keselamatan bagi orang Iban, baik
berupa simbol hewan maupun tumbuhan. Tato yang cukup khas adalah tato bunga
terung yang merupakan kunci pada nirwana.
Namun dari sisi pemaknaan sederhana, tato bagi orang iban
adalah diary hidup atau catatan perjalanan. Hal ini juga berlaku bagi Ganim.
Ganim mulai mentato tubuhnya sejak ia berusia belasan tahu. Saat itu ia kerap
mengembara ke berbagai tempat. Di setiap tempat yang ia kunjungi, ia akan
membuat satu tato, sebagai tanda bahwa ia pernah ke tempat itu. Tato pesawat
terbang misalnya, adalah saat dimana untuk pertama kalinya Ganim melihat
pesawat terbang di Malaysia. Sementara tato tulisan Singapura di dadanya adalah
sebuah tanda bahwa ia pernah ke Singapura. Karena itu semakin banyak orang Iban
mengunjungi tempat yang baru, semakin banyak tato di tubuhnya.
Orang yang belum bertato dianggap belum dewasa. Tato
menjadi menjadi tanda kejantanan bagi lelaki Iban. “Orang yang tidak bertato
dianggap kurang gagah dan belum dewasa,” ujar Baro (80), warga rumah Panjang
Sumpak Layang, Kapuas Hulu yang juga memiliki tato di sekujur tubuhnya. Baro
bercerita, dahulu hampir semua lelaki Iban bertato. “Lelaki yang tidak bertato
akan diejek warga lain dan dianggap rendah.”
Namun jaman semakin berubah. Generasi pemilik tato
seperti Ganim dan Baro sudah semakin sedikit. Di Dusun Sumpak Layang hanya
tersisa beberapa orang saja yang bisa menjelaskan mengenai makna tato yang ada
di tubuhnya. Rata-rata sudah berusia lanjut.
Di kalangan pemuda Dayak mayoritas memang masih mentato
tubuh. Namun menurut Ganim tato yang dimiliki oleh generasi muda itu sudah
banyak berbeda dari yang dikenalnya dulu. “Sekarang sudah banyak yang dari
luar. Bukan dari tato nenek moyang,” ujar Ganim.
Banyak pemuda Dayak yang punya tato kontemporer. Yohanes
(20) misalnya, pemuda yang ditemui di Lanjak, Kapuas Hulu, dekat perbatasan
Malaysia ini memiliki tato bergambar naga di punggungnya. Tato ini dibuat
ketika ia pergi ke Malaysia. Dia mengaku hanya suka-suka saja membuat tato. “Saya
suka karena bentuknya bagus, indah,” ujar Yohanes. Namun ketika ditanya apa
makna Tatonya, pemuda ini hanya menggelengkan kepala. Sejumlah pemuda Dayak
mentato tubuh mereka dengan alasan estetis saja. Ini sangat berbeda dari
generasi tua seperti Ganim atau Baro.
Lingkungan yang lebih modern memberikan pilihan-pilihan
bagi pemuda Dayak untuk mentato atau tidak tubuh mereka. Generasi Dayak yang
memperoleh pendidikan tinggi cenderung memiliki pandangan yang berbeda dari
generasi tua. Banyak yang berpandangan tato bukanlah suatu keharusan. Bahkan
tato dianggap merugikan, terutama ketika mereka akan mendaftar di militer atau
program kedinasan. Hendrikus (23) mahasiswa di Universitas Tanjungpura mengaku
tak memiliki tato di tubuhnya. “Ayah dan kakek saya punya tato,
tetapi saya tak harus mengikuti mereka. Tato di badan akan membuat saya
kesulitan mendaftar sebagai tentara atau pegawai negeri,” ujar Hendrikus. Apalagi
dalam pergaulan sehari-hari di kota, orang bertato selalu dikaitkan dengan
premanisme. “Anggapan orang jadi negatif,” tambah Hendrikus.
Tato tidak hanya didominasi kaum lelaki. Sejumlah
perempuan Iban juga mentato tubuh mereka. Seperti yang dimiliki Seruni (70). Penghuni
rumah panjang Sumpak Layang ini memiliki Tato yang melingkar di lengan dan
kakinya. Ada persyaratan khusus bagi perempuan untuk bisa memiliki tato. Mereka
haruslah memiliki kemampuan khusus, seperti menganyam, menenun, atau menari. Tato
berfungsi sebagai penambah kecantikan dan menjadi daya pikat bagi kaum lelaki. Semacam
make up untuk wanita jaman sekarang. “Dulu ketika muda, banyak sekali lelaki
yang suka pada saya,” ujar Seruni.
Dayak Kayaan juga punya tradisi tato pada perempuan. Tato
pada perempuan Kayaan sangat halus dan indah. Namun kini sangat sedikit
perempuan kayaan yang mentato tubuhnya. Di Desa Tanjung Karang, Kapuas Hulu,
yang mayoritas Dayak Kayaan misalnya, hanya tersisa tak lebih dari dua orang
saja yang masih bertato. Mereka sudah berusia diatas 80 tahun. “Dalam beberapa
tahun mendatang mungkin kita tidak melihat lagi perempuan Kayaan yang mentato
tubuh mereka,” ujar Yuliantini, pemerhati tato, yang kini tengah berusaha
mendokumentasikan jenis-jenis Tato di Kapuas Hulu ini. Ketika ditanyakan pada
sejumlah perempuan muda Kayaan, rata-rata mereka mengatakan tidak ingin mentato
tubuh mereka karena merasa malu.
Orang yang ahli dalam membuat tato tradisional Dayak juga
semakin sedikit. Surau (78) adalah satu diantara yang sedikit itu. Surau adalah
pembuat tato terakhir di desa Tematuk, Kecamatan Lanjak, Kapuas Hulu. Surau
masih menerima bila ada orang yang hendak membuat tato padanya. Tapi kini sudah
tidak banyak orang yang membuat tato. Dalam sebulan hanya sekitar 2 orang saja
yang membuat tato, sudah jauh berkurang dibanding 20 tahun yang lalu. “Yang
banyak bikin tato justru orang dari luar. Ada dari Pontianak, Malaysia, bahkan
dari luar negeri. Kalau orang Dayak sendiri sangat kurang,” ujar Surau.
Dalam pembuatan Tato, Surau masih menggunakan alat
tradisional. Teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan jarum. Ada
4 buah mata jarum yang ia gunakan. Jarum ini dipasang di sebuah kayu kecil. Cara kerjanya seperti bentuk
palu, yang ditatahkan dikulit yang sudah digambar motif. Untuk pewarna Surau
menggunakan jelaga yang disebut Arang Lambu. Arang ini didapatkan dari arang
lentera. Sebuah lentera yang menyala diletakkan di dalam ember. Diatas ember
diletakkan piring berisi air. Jelaga hitam yang tertinggal dipantat piring
itulah yang digunakan sebagai pewarna. Karena itu tato Iban hanya satu warna
saja: hitam.
Menurut
Surau tak ada upacara atau jampi-jampi khusus saat ia membuat tato. Bagi
orang yang ditato, yang dibutuhkan tentu saja kemampuan menahan rasa sakit. Beberapa
bagian tubuh seperti di leher dan dengkul akan terasa sangat sakit ketika
ditato. “Akan banyak darah yang keluar saat ditato,” ujar Surau.
Tidak ada biaya khusus untuk membuat sebuah tato. Surau
bercerita, dulu, mereka menerapkan system gotong royong. Saling mentato
bergantian. Tapi sekarang tidak ada sistem gotong royong lagi. “Tak banyak yang
bisa mentato lagi,” ujar Surau. Orang yang hendak mentato bisa membayar dengan
uang. Namun Surau tak mematok harga.
Surau kuatir tidak ada lagi orang yang punya kemampuan
membuat tato Dayak setelahnya. Dari 8 anaknya tidak ada yang mau belajar membuat tato. “Saya
tidak tahu mengapa tidak ada anak saya yang tertarik belajar tato. Semuanya
rata-rata sekolah tinggi,” ujar Surau. (**)
1 comment:
tapi saya tidak ingin ditato ahahaha
Post a Comment