Friday, December 30, 2011

Menjadi Penyampai Suara-Suara Kecil di Daerah


Oleh Heriyanto, Pontianak

Suara-suara kecil itu seringkali tak terdengar hingga ke gedung besar di Senayan, Jakarta.

Di suatu sore, Alatief Arahman dengan suara bergetar bercerita panjang lebar tentang apa yang dialaminya. Mata-matanya berkaca-kaca. Alatief adalah kepala adat di desa Dabung, Kubu Raya, Kalimantan Barat. Dia tak pernah membayangkan bakal berurusan dengan polisi. Dia bukan pencuri, perampok, atau penjahat kriminal lain.

Semua berpangkal pada usaha tambak yang digeluti sejak 1992. Tambak ini merupakan areal percontohan yang disupport dinas terkait. Pejabat kerap melakukan panen raya. Termasuk dua orang gubernur.

Namun pada 2009 tiba-tiba Alatief bersama 50 warga dijadikan tersangka oleh Polda Kalbar. Warga dituduh merusak hutan karena membangun tambak di kawasan hutan lindung. ”Kami punya ijin kok dijadikan tersangka,” ujarnya.

Warga tidak pernah diberitahu bahwa desa mereka masuk kawasan hutan lindung, yang ditetapkan tahun 2000. Warga kehilangan pendapatan sekaligus siap masuk penjara.
***

Di tempat lain, beratus-ratus kilometer dari Desa Dabung, saya bertemu Jamaludin. Dia warga desa Semunying Jaya, di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia, di Kabupaten Bengkayang. 

Jamaludin bercerita, sudah 7 tahun warga mempertahankan hutan adat yang dicaplok perkebunan kelapa sawit. Sebagian besar kawasan hutan telah rata dengan tanah.

Pembabatan hutan telah menghilangkan sumber kehidupan mereka. Sumber air minum warga bahkan sudah tercemar limbah. Kini kehidupan warga semakin miskin.

Berbagai upaya dilakukan dari demonstrasi, dialog hingga ke melapor kantor polisi. Agar tanah mereka kembali. Tapi justru perusahaan melaporkan warga ke polisi karena dianggap menghalangi usaha perusahaan.
***

Sebagai jurnalis saya kerap meliput berbagai persoalan warga di berbagai daerah. Di sana saya bertemu banyak kisah muram. Kisah tentang warga yang kehilangan tanah, hutan, atau ditangkap polisi karena mempertahankan hak mereka.

Beberapa penggal kisah diatas hanyalah sebagian kecil saja. Terlalu banyak kisah-kisah seperti ini diberbagai tempat.

Saya selalu bisa menjadi pendengar yang baik bagi mereka. Tapi saya bukanlah orang yang punya kekuasaaan untuk menolong mereka. Kecuali, menuliskan kisah mereka dengan harapan bisa didengar banyak orang, terutama pejabat berwenang.

Saya kerap berandai-andai memiliki kekuatan lebih besar untuk menolong warga. Misalnya, menjadi Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Saya tentu akan punya peluang lebih besar membela daerah, sebagaimana gagasan dasar pembentukan DPD RI untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik, terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah.

Saya kira banyak persoalan daerah yang tidak didengar pemerintah pusat. Karena itu, sebagai anggota DPD, saya tidak perlu terlalu banyak duduk-duduk di kantor. Saya akan mengunjungi lebih banyak tempat dan mendengarkan sebanyak mungkin masalah warga di daerah.Semuanya akan saya sampaikan pada Pemerintah: “Lihatlah! Akibat dari kebijakan yang salah, rakyat yang menerima dampaknya.”

Sebagai anggota DPD saya memang tidak punya kekuasaaan seperti eksekutif. Tapi saya bisa berbuat banyak hal, misalnya mendorong pemerintah, baik pusat maupun di daerah, untuk menyelesaikan berbagai yang dihadapi warga.

Saya akan mencoba menganalisis berbagai sisi kebijakan pemerintah. Bagian mana yang kurang tepat, bagian mana yang sudah pas, dan bagian mana yang perlu diperbaiki. Sehingga berbagai persoalan itu tidak terjadi dimasa datang. (**)

1 comment:

Don Komo said...

Fungsi DPD memang berarti ketika menjadi saluran aspirasi rakyat daerah.tulisan yang inspiratif....:)