Monday, December 12, 2011

Hati yang Gerimis di Kota Bonn


Oleh Heriyanto, Bonn

Hujan menyapa Kota Bonn pagi itu. Udara dingin menusuk tulang. Saya sebenarnya sudah siap-siap berangkat menuju bekas Kedutaan Indonesia di jalan Bernkasteler Strasse. Saya sudah membayangkan setelah solat ID bisa menyantap berbagai masakan Indonesia yang gurih itu. Maklum selama di Jerman, susah sekali mau mencari menu masakan Indonesia

Tapi hujan tak kunjung reda. Masalahnya saya tak punya mantel, payung apalagi. Padahal di Jerman setiap orang wajib punya payung. Di Indonesia khan bisa cari daun pisang. Ah, alamat tak jadi menikmati makanan yang enak-enak itu, pikir saya.

Tante Sri Rahayu mengirim pesan singkat sebelumnya. Dia mengabari, shalat ID akan dilaksanakan  pukul 10. Saya diminta datang lebih awal karena takbiran akan dimulai sejam sebelumnya. Tante Sri wanita yang ramah. Sudah 30 tahun lebih dia tinggal di Jerman dan sekarang bekerja di Radio Deutsche Welle redaksi Indonesia. Radio ini menyiarkan berita ke seluruh dunia dalam berbagai bahasa. Saya dengar list menu-menu masakan yang sudah disiapkan, ya dari Tante Sri. “Datang lho. Kalau nggak bakal rugi,” kata tante Sri, mengiming-imingi.

Pukul 8.30 hujan mulai mereda. Ah senangnya. Dari Flat saya di Tannenbush Mitte menuju  Bernkasteler Strasse saya naik kereta bawah tanah atau biasa disebut Subway. Kereta ini merupakan transportasi publik yang sangat nyaman. Dari orang biasa, pelajar, hingga manajer kantoran menggunakan kereta ini. Saya tak perlu beli karcis setiap saat karena saya sudah punya karcis bulanan.

Gedung bekas kedutaan letaknya jauh dari jalan utama. Dari pemberhentian terakhir, saya masih harus berjalan kaki. Ada beberapa gang yang harus dilalui. Ups! Di Jerman nggak mengenal istilah gang ya.. Setelah sedikit mencari-cari, akhirnya sampai juga di lokasi. Gedungnya cukup besar, namun tidak terawat. Wajar saja karena sudah lama ditinggalkan.

Di dalam, suara takbir sudah berkumandang. Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar.. Ah senangnya berlipat-lipat. Ah, saya jadi ingat suasana lebaran di Pontianak. Di Jerman tentu saja tak ada takbiran keliling. Juga tak ada masjid yang memasang pengeras suara keras-keras.

Biar terasa suasana lebaran, saya sengaja mengenakan baju koko dan peci. Rasa-rasanya sudah lengkap. Tinggal sarung saja yang belum. Susah juga kalau pakai sarung di kereta ya? Hehe.

Di sana sudah ada seratusan warga Indonesia yang datang dari sejumlah tempat di Jerman. Tampaknya saya datang agak terlambat. Selain warga Indonesia ada juga umat Muslim dari negara lain, seperti Turki.

Yang cukup menarik perhatian saya adalah sejumlah bule-bule muda terlihat ikut takbiran. Rupanya mereka adalah muallaf yang menikah dengan perempuan Indonesia. Lucu juga lihat bule-bule itu memakai koko dan kopiah. Di Jerman banyak warga Indonesia yang kuliah dan lantas mendapat pekerjaan di sana. Sebagian kecil dari mereka menikah dengan warga Jerman. Bule-bule itu mengikuti pasangannya memeluk agama Islam.

Takbiran sudah berhenti. Shalat Id dimulai. Setelah selesai, seorang pria muda mulai membacakan khotbah. Pria muda itu adalah Widianto, seorang doktor yang baru lulus dari Universitas Bonn. Sewaktu di kereta, lelaki ini sempat menegur saya. Dia mungkin menerka-nerka saya berasal dari Indonesia dari pakaian yang saya kenakan. Meski dibalut jaket, baju koko saya masih terlihat. “Dari Indonesia juga ya?” tanyanya. Saya bilang saya mau ke bekas Kedutaan. Rupanya dia juga mau ke sana.

Sebelumnya saya tak akan menyangka kalau lelaki itu yang saya temui di kereta itu orang Indonesia. Pakaian necis, topi gaya Eropa, dan sibuk membaca di kereta. Lebih tak menyangka lagi kalau dia adalah khotib sholat Id yang akan saya ikuti. Saat membaca khotbah, pakaian necisnya sudah berganti dengan pakaian khas khatib: pakai jas, sarung, dan kopiah.

Isi khotbahnya tidak jauh berbeda dari khotbah yang biasa saya dengar di Indonesia. Temanya memaknai hari yang fitri. Yang berbeda, Widianto menggunakan dua bahasa, Indonesia dan Jerman. Maklum di sana tidak hanya orang Indonesia saja yang mendengarkan.  

Selesai khotbah, semua jemaat membuat lingkaran saling salam-salaman. Suasana kekeluargaan begitu terasa. Hidup jauh dari keluarga, membuat kedekatan emosi antar warga Indonesia itu begitu erat. “Di sini khan kita jauh dari keluarga. Makanya dengan teman-teman sesama warga Indonesia jadi kerasa kayak keluarga sendiri,” ujar Agus, salah seorang diantaranya. Diantara mereka ada yang sudah bertahun-tahun tidak pulang ke Indonesia. Inilah yang kerap mengingatkan mereka akan suasana lebaran di kampung halaman.

Tapi tak ada yang lebih mengingatkan suasana lebaran di Indonesia dibanding menikmati makanannya. Opor ayam, dendeng, rendang, ketupat, lontong, dan berbagai pasukannya sudah terhidang dengan manis di meja. Saatnya, serbu!! Kami bersama-sama menikmati berbagai menu Indonesia itu. Sudah selesai? Belum. Masih ada menu lain yakni kue-kue dan minuman yang enak. Ah mumpung gratis, kapan lagi. Setidaknya jatah uang untuk beli makanan hari ini bisa buat besok..haha..

Pulangnya saya bahkan masih sempat membawa dua bungkus makanan. Bungkus pertama berisi opor ayam, yang lainnya adalah sayur lodeh. Ah, lebaran akhirnya sampai juga di kamar. Hati saya gerimis, seperti suasana Bonn hari itu. **

No comments: