Sunday, December 11, 2011

The Story Of Tatung

Pagi itu, lebih dari 700 Tatung melakukan arak-arakan mengitari jalan-jalan utama di pusat Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Warga Tionghoa percaya, Tatung bisa membersihkan kota dari segala marabahaya dan mendatangkan rezeki. Meski memiliki keistimewaan, hidup sebagai Tatung tidaklah enak untuk dijalani. Tapi mereka tak bisa menolak apa yang sudah diwajibkan pada mereka.

Oleh: Heriyanto, Singkawang

Sebelum melakukan arak-arakan, para Tatung berdoa di kelenteng mereka masing-masing. Bau setanggi atau dupa menyeruak di sekitar kelenteng. Lilin-lilin besar berwarna merah, menyala sepanjang hari.

Suara lonceng terdengar dari sebuah kelenteng tua di pinggiran Kota Singkawang. Lim Kia Hin, 60 tahun, pemukul lonceng itu baru selesai berdoa. Lelaki setengah baya itu mengenakan jubah layaknya jenderal perang, lengkap dengan bendera di punggung dan pedang di tangan. Jubahnya berwarna hijau cerah, dengan tambahan warna merah di beberapa bagian.

Lim Kia Hin adalah satu dari ratusan Tatung yang ada di Singkawang. Tatung atau biasanya disebut loya adalah orang yang dipercaya bisa membersihkan kota dari segala marabahaya. Lim Kia Hin sudah 41 tahun jadi Tatung. Setiap perayaan Cap Go Meh, dia turut berkeliling kota untuk membersihkan jalan-jalan dari roh-roh jahat. “Ini sudah jadi jalan hidup saya. Saya mendapatkan tugas untuk mendoakan keselamatan manusia, supaya lepas dari segala musibah,” ujar Lim Kia Hin, yang tidak lancar berbahasa Indonesia itu.

Cap Go Meh dirayakan pada hari ke-15 setelah tahun baru Imlek. Perayaan Cap Go Meh dimaknai sebagai hari pembersihan kampung halaman dari kekuatan jahat. Pada hari itu, kata Lim Kia Hin, para Tatung menuju altar, mendoakan seisi kota mendapat rejeki berlimpah. “Semoga semuanya sehat, semua petani mendapatkan panen melimpah, pedagang untung, pokoknya semoga semua mendapatkan rejeki. Semoga tahun ini lebih baguslah,” katanya.

Hari masih pagi. Lim Kia Hin bergegas menuju pusat kota, tempat berlangsungnya puncak perayaan Cap Go Meh Singkawang. Tandu untuk tempat duduk Lim Kia Hin telah siap, dipanggul puluhan anak buahnya. Sebuah truk juga disewa untuk mengangkut segala perlengkapan ritual.

Suara tetabuhan dibunyikan di sepanjang jalan hingga mereka sampai di jalan Dipenogoro, titik temu para Tatung yang berpawai hari itu. Lim Kia Hin membaur dalam barisan ratusan Tatung. Warna-warni jubah mereka tampak mencolok, meski dilihat dari kejauhan. Barisan ini tampak seperti pasukan yang siap berperang. 

Di sebuah lapangan para Tatung melakukan ritual khusus untuk memanggil Dewa Dewi. Satu demi satu Tatung mulai kerasukan. Mereka menari di atas tandu. Ada pula yang berdiri di atas pedang atau paku. Meski berdiri di atas benda tajam, kaki mereka sama sekali tak terluka. Tanpa rasa sakit, para Tatung menusuk tubuh, tangan, dan wajah mereka dengan pedang atau benda tajam lainnya.

Di pusat kota, puluhan ribu orang sudah memadati jalan. Mereka menunggu pawai Tatung yang akan melewati jalan-jalan utama di Kota Seribu Kelenteng itu.  Meski matahari terik, puluhan ribu penonton bertahan di kiri kanan jalan, menikmati atraksi para Tatung. Tio Hong Ngo, 55 tahun, tak henti-henti memandangi atraksi para Tatung. Perempuan asal Pontianak ini datang bersama 5 orang keluarganya. “Setiap tahun saya selalu datang ke sini (Singkawang). Ini khan tradisi leluhur. Jadi harus dilestarikan,” ujarnya.   

Tak semua orang bisa menjadi Tatung. Kebanyakan kemampuan ini diturunkan dari orangtua. Liu Ket Fui, 32 tahun, dari perkumpulan Elang Putih mengatakan kemampuannya menjadi Tatung didapatkan dari orangtuanya. Lima orang saudaranya juga menjadi Tatung. Saat umurnya 12 tahun, Liu Ket Fui mulai sering mengalami kerasukan. Sebagaimana Tatung lainnya, dia memiliki banyak keistimewaan seperti bisa mengobati penyakit dan kebal terhadap senjata tajam.  

Tapi jika pun boleh memilih, Liu Ket Fui mengaku tak ingin menjadi Tatung. “Jadi Tatung itu berat. Setiap Jumat harus puasa. Kita tak boleh makan daging. Juga tidak boleh melakukan perbuatan tercela,” kata Liu Ket Fui. Kemampuan menjadi Tatung baginya merupakan sebuah takdir. Kemampuan itu datang dengan sendirinya. Jika menolak, banyak hal buruk yang akan menimpa. “Kalau kita menghindar, kita bisa gila, lupa ingatan. Biasanya kepala pusing dan hidup tidak tenang.”  

Usia Tatung beragam. Ada yang Tua, namun ada juga yang muda. Antoni, 21 tahun, tergolong Tatung generasi muda. Ia menjadi Tatung saat berumur 12 tahun. Kemampuan Antoni diwariskan dari ayahnya. Empat saudara laki-lakinya juga Tatung. Rumah orangtua Antoni terlihat sempit diisi oleh belasan anggota keluarga. Di sebelah kanan rumah ada kelenteng kecil.

Sehari-hari, Antoni bekerja sebagai tukang gigi, membantu ayahnya. Remaja ini sebetulnya bangga jadi Tatung, karena tak semua orang bisa. Tapi ini sekaligus jadi beban, kata dia. “Ya sebenarnya kita tidak inginkan seterusnya menjadi Tatung. Namun ini wajib. Dari tulang kita, dari keturunan kita, semua ada Tatung. Jadi mau nggak mau lah. Kalau boleh memilih, kita usaha saja, daripada menjadi Tatung, itu khan resikonya berat,” ujarnya.

Antoni menunjukkan bekas tusukan di pipinya yang mulai pulih. Resiko tertusuk atau terluka menanti tiap kali Tatung melakukan atraksi. Karenanya, beberapa hari sebelum atraksi para Tatung pantang makan daging. Untuk membersihkan diri agar para dewa mau datang dan masuk ke tubuh mereka.

“Bisa saja saat atraksi Roh-nya pergi, kita bisa terluka. Mungkin kita kurang bersih, ada yang nggak makan vegetarian. Soalnya Dia khan barang suci, kalau Dia masukin kita, maka kita harus bersih,” kata Antoni. Saat kerasukan para Tatung tidak sadarkan diri. “Saat sadar, baru badan terasa capek. Kadang pusing. Luka tusukan 3 hari baru pulih,” tambahnya.

Para Tatung tidak hanya berasal dari kalangan Tionghoa, namun juga dari suku lain seperti Dayak atau Jawa, meski Cap Go Meh adalah perayaan masyarakat Tionghoa. Ini adalah pertanda kentalnya pembauran, kata Amen dari perkumpulan Tua Pekong Singkawang. “Budaya kita ini tidak membeda-bedakan suku. Kalau memang ada suku lain yang mau ikut, ya silahkan. Ada Jawa, Dayak, dan Melayu. Hanya ikut meramaikan saja,” ujar Amen saat ditemui di kelentengnya.

Mayoritas penduduk Singkawang adalah Tionghoa, sisanya adalah Melayu, Dayak, suku pendatang seperti Jawa. Orang Tionghoa mendirikan kelenteng hampir di setiap sudut kota. Karena itulah Singkawang disebut Kota Seribu Kelenteng.

Satu buah kelenteng dijaga satu Tatung. Tak heran, banyak sekali Tatung di Singkawang. Tahun ini, ada 700 lebih Tatung yang ikut arak-arakan. Satu Tatung mempunyai sedikitnya 10 orang. Jadi sedikitnya 7000 orang yang mengikuti arak-arakan.

Tradisi Tatung sempat dilarang pada masa pemerintahan Orde Baru. Mereka menjalankan ritual secara sembunyi-sembunyi. Tatung tak bebas berkeliling kota. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, tradisi ini kembali diperbolehkan. Sejak itu, perayaan Cap Go Meh di Singkawang kembali dimeriahkan oleh kehadiran para Tatung.

Tidak mudah mewawancari para Tatung. Kebanyakan Tatung, terutama yang lanjut usia, tidak lancar berbahasa Indonesia. Begitu juga Tatung Loli. Beruntung, istrinya, Yulia, bisa berbahasa Indonesia. Saat itu dia sedang menyiapkan makanan selamatan untuk suaminya yang telah selesai mengikuti pawai.

Menurut Yulia, selain menjadi Tatung, suaminya tak punya kerjaan tetap. Uang baru ada kalau ada orang yang datang sembahyang, lalu memberikan imbalan. Sebagai ucapan terimakasih atas pengobatan yang diberikan.

Pekerjaan sebagai Tatung hanya datang sekali setahun, tiap kali Cap Go Meh datang. Selebihnya, tak banyak kegiatan berarti atau pemasukan yang besar. Jo No Sen dari Perkumpulan Tatung Ular Putih mengatakan kebanyakan Tatung memang hidup miskin. Sumber pendapatan mereka utamanya dari orang-orang yang berobat atau minta didoakan. ”Rata-rata Tatung dari golongan ekonomi lemah. Menjadi Tatung memang tak bisa diandalkan. Mereka biasanya punya kerjaan sampingan,” ujar Jo No Sen.

Tiap kali Cap Go Meh tiba para Tatung mengumpulkan sumbangan dari donatur. Tanpa sumbangan mereka tak bisa membeli berbagai perlengkapan ritual, seperti lilin, tandu, atau dupa. Menurut Jo No Sen, biaya pawai cukup besar. Kelompoknya misalnya, menghabiskan sekitar 10 juta rupiah. 

“Karena semua khan perlu dibayar. Contohnya untuk bayar orang yang bawa tandu. Sewa mobil, atau beli perlengkapan sembahyang. Tapi kalau dapat dananya sedikit ya terpaksa gotong royong, seadanya,” ceritanya.

Beruntung ada uang lelah sebesar 2,5 juta menanti para Tatung yang ikut pawai. Sekretaris Panitia Bong Cin Nen mengatakan dana ini didapat dari pemerintah kota Singkawang, sumbangan warga, dan sponsor. “Para Tatung itu kan unsur terpenting dalam perayaan Cap Go Meh. Tanpa mereka acara juga tak akan menarik. Karena itu tidak ada salahnya memberi apresiasi,” ujar Bon Cin Nen.

Tentu saja uang itu tak cukup menutupi biaya yang dikeluarkan. Tetapi setidaknya uang ini bisa digunakan untuk membayar anak buah yang memikul tandu. Tentu saja uang bukanlah alasan mereka untuk ikut pawai. “Tanpa uang itu pun kami tetap harus mendoakan seisi kota,” ujar Liu Ket Fui.

Kehidupan yang dijalani para Tatung menampakkan kesederhanaaan hidup. Mereka tak boleh tamak dengan harta dunia. Juga tak boleh melanggar pantangan-pantangan. “Hidup harus bersih, supaya hati jadi damai,” ujar Liu Ket Fui. **  




No comments: