Monday, December 12, 2011

Ingin Melihat Bekantan, Justru Bertemu Lumba-lumba

Oleh Heriyanto, Kubu Raya

Perahu motor yang kami tumpangi berjalan pelan menyusuri sungai di kawasan hutan mangrove Desa Kubu, Kabupaten Kubu Raya. Di kanan kiri sungai terlihat pohon-pohon bakau memagari kawasan ini. Ini kawasan yang sangat indah. Daun-daun bakau terlihat hijau menyejukkan pandangan. Seringkali kami yang duduk di luar perahu harus merunduk jika tidak ingin wajah kami terkena ranting atau kayu bakau yang melintang di atas sungai.

Kami datang bertujuh. Ada Sergio dari Spanyol, Jonas dari Denmark, serta Dedy Armayadi, Supri Adi, Aline Koq, dan Pay Jarot Sujarwo dari Pontianak. Sergio dan Jonas adalah dua pemuda backpaker dari luar negeri. Keduanya ingin melihat Bekantan yang kabarnya sering ditemui di kawasan ini. Mereka penasaran seperti apa rupa Bekantan yang kabarnya hidungnya mirip orang bule itu.

Bekantan atau biasa disebut Monyet Belanda merupakan satwa endemik Pulau Kalimantan. Bekantan memiliki ciri khas hidung yang panjang dan besar dengan rambut berwarna coklat kemerahan. Dalam bahasa ilmiah, Bekantan disebut Nasalis larvatus.

Bang Bujang, lelaki yang menjadi pemandu kami mengatakan, biasanya tidak sulit menjumpai si Monyet Bule. Tapi sudah lama perahu motor bergerak, belum juga muncul batang hidung si Bekantan itu. Si Jonas masih berharap bisa bertemu dengan bekantan dan memotretnya. Tapi, kami memang benar-benar belum beruntung. Tak ada sama sekali tanda-tanda bahwa hewan itu akan muncul. Kami terus melihat ke arah dedaunan. Barangkali ada pergerakan di sana yang mungkin saja itu Bekantan yang berlari menjauh. Namun nihil.

Kami memang tak bertemu Bekantan seperti tujuan awal datang ke sana. Tapi ada hal yang membuat kami senang. Di tengah perjalanan, tiba-tiba Bang Bujang menunjuk ke samping kanan perahu. Di sana terlihat sesuatu yang muncul ke permukaan dan beberapa saat kemudian menghilang ke dalam air. Selang beberapa menit gerakan di permukaan air itu berpindah ke tempat lain. Saya dan teman-teman lain segera melihat ke arah hewan tersebut. Mesin motor mulai dipelankan. Kami mencoba memutar untuk melihat lebih dekat. “Itu di sana. Ada dua pasang,” teriak Dedy.

Kami semua langsung memandang ke arah itu. Kami belum tahu pasti hewan apakah yang kami temui itu. Namun kemungkinan adalah lumba-lumba. “Sepertinya lumba-lumba, bukan pesut. Air di sini payau. Kalau pesut mereka hidup di air tawar,” ujar Dedy.

Sergio segera menyiapkan kameranya. Begitu pula Dedy Armayadi yang segera mengeluarkan kamera selulernya. Sebaliknya Jonas yang membawa kamera panjang justru menyimpan kameranya. “Saya tidak peduli dengan memotret. Saya hanya ingin menikmati saja. Memandangi mereka,” ujar Jonas dalam bahasa Inggris.

Jonas mengaku terkesan. Ia baru pertama kali ini melihat langsung lumba-lumba di alam liar. “It’s amazing,” kata Jonas. Makanya ia hanya ingin menikmati apa yang dilihatnya itu tanpa diganggu dengan aktivitas memotret. Berbeda dengan Segio tak henti-henti memotret, meski tak mendapatkan bidikan yang bagus. “Mereka tampak malu dan selalu menjauh. Sulit sekali memotretnya,” ujar Sergio.

Menurut Dedy Armayadi, keberadaan lumba-lumba di sungai itu menandakan bahwa hutan di sana masih bagus. “Itu pertanda bahwa di sini masih banyak ikannya, dan berarti pula habitatnya masih terjaga,” ujar aktivis lingkungan yang bekerja di People Resources and Conservation Foundation ini.

Menurut warga mereka memang sering bertemu lumba-lumba di wilayah muara Kubu. Biasanya lumba-lumba itu tersangkut jaring nelayan. Tapi warga selalu melepaskannya kembali. Warga percaya bahwa keberadaan lumba-lumba itu membawa berkah. “Kalau ada lumba-lumba, di sekitarnya pasti banyak ikan,” ujar Bang Bujang.

Muara Kubu, tempat kami menemukan lumba-lumba itu, berair payau. Wilayah ini memang terletak di daerah pesisir. Sungai di daerah bakau itu terhubung dengan laut di wilayah selatan. Jadi air laut akan masuk ke sungai dan bercampur dengan air tawar dari daratan.

Hutan mangrove menjadi sangat penting keberadaannya untuk menjaga ekosistem di wilayah itu. Namun belakangan ini, hutan bakau di wilayah itu terancam oleh aktivitas penebangan yang dilakukan perusahaan. Adalah PT Kandelia alam yang memiliki konsesi selama 40 tahun untuk menebang hutan bakau seluas lebih dari 18ribu hektar di wilayah itu.

Kami mengunjungi sejumlah lokasi yang sudah ditebang oleh perusahaan. Potongan-potongan kayu bakau yang sudah ditebang ditempatkan di pinggir-pinggir sungai. “Penebangan bakau ini akan sangat mengganggu habitat lumba-lumba dan berbagai jenis hewan yang hidup di sekitar areal bakau, seperti ikan, udang dan kepiting,” ujar Dedy Armayadi. “Jika itu terjadi kita akan sulit bertemu lumba-lumba di daerah ini,” tambahnya.

Warga Desa Kubu masih berharap daerahnya tidak dirusak. Warga meminta sebagian wilayah untuk dikonservasi. “Kami minta hutan yang berada dekat wilayah desa tidak ditebang. Kami selama ini tergantung dengan hutan ini. sebagian warga berprofesi sebagai nelayan. Kalau ini ditebang, maka hilanglah penghasilan warga,” ujar Herman, pemuda desa Kubu.

“Dengan mengkonservasi hutan bakau ini juga sekaligus melindungi keberadaan lumba-lumba,” tambah Dedy Armayadi. (Heriyanto)