Tuesday, April 17, 2012

Hutan Ditebang, Bencana Datang


Ribuan hektar kelapa di Desa Seruat Dua, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat mati secara misterius. Dugaan sementara, penyebabnya adalah serangan hama kumbang badak. Namun warga desa lebih yakin, air laut yang merangsek masuk ke wilayah desa-lah biang kerok semuanya.

Oleh Heriyanto, Kubu Raya

Pagi masih berkabut di Desa Seruat Dua, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Syamsudin Punna, 35 tahun, sudah siap dengan berbagai perlengkapan. Sebuah perahu motor tertambat di sungai kecil di depan rumahnya. Warga Desa Seruat Dua itu hendak menuju kebun kelapa miliknya yang bisa dijangkau dengan perahu.
Perahu bergerak dengan pelan. Suara mesin perahu menderu. Tak sampai 10 menit, terlihat di sepanjang pinggir sungai, batang-batang pohon kelapa berdiri menjulang, sama sekali tak berdaun. Tampak seperti hamparan tiang bendera. “Ini kebun kelapa milik keluarga kami. Lihat saja, kini jadi begini. Habis, mati semua,” ujar Syamsudin sembari menunjuk ke arah batang-batang kelapa yang sudah mati itu.

Saturday, April 7, 2012

Tentang Kain Tenun Ikat yang Terancam Hilang

Kain tenun ikat adalah kain tradisional Suku Dayak yang terkenal memiliki keindahan motif dan warna. Kain ini biasa dipergunakan dalam acara-acara adat. Namun kain yang  pembuatannya memakan waktu berbulan-bulan ini terancam punah karena jumlah penenunnya kian sedikit. Saya datang ke Kabupaten Sintang, wilayah yang terkenal akan keindahan kain tenun ikatnya itu, bertemu dengan para penenun.

Oleh Heriyanto, Sintang

Adriani, 42 tahun, dengen teliti memilah-milah benang berdasarkan warna yang dia gantung di ruang tamu rumahnya. Adriani lantas menuju ke beranda dan menyiapkan sebuah alat dari kayu. Sembari duduk mulailah ia memainkan kedua tangannya. Bunyi kayu yang saling beradu pun terdengar dengan pola tertentu. 

Adriani adalah satu dari sedikit perempuan Dayak yang masih menguasai pembuatan kain tenun ikat. Perempuan ini bercerita soal sulitnya membuat kain khas Suku Dayak ini. Mulai dari menyiapkan bahan baku, membuat motif, mewarnai benang, sampai menenunnya.

No Field of Dream

By Heriyanto


Semunjan, Sarawak, Malaysia-- We were lost. All the road looked same, with oil-palm trees standing on either side of each path. It felt like we were in a labyrinth, and our driver, Mazlan, seemed as confused as we were. He said he was once a worker here, but that was about a decade ago. I haven’t been here for long time,” he said.

We made a few more rounds on what looked like same roads, and stopped several people to ask for directions. But it may have been sheer luck that we were able to finally reach our destination: a small  hut with walls of plywood and galvanized iron. It happened to be at the and of the plantation and close to a lush forest.

Some people were relaxing in front of the hut. They looked worried when we approached, and most stayed silent ever after I introduce myself as a journalist from Indonesia. But one of them immediately piped up upon learning where I was. “You came from Indonesia?” said the wiry man who we shall call Mardi. “I came from Indonesia, too, from Kapuas Hulu (in West Kalimantan). But I haven’t been home for a long time.”

Thursday, April 5, 2012

Kereta Cepat yang Nyaman di Jerman


Oleh Heriyanto, Jerman

Pesawat yang saya tumpangi, Qatar Airways, mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Frankfurt. Saya hendak menuju Bonn, sebuah kota kecil di Jerman . Frankfurt dan Bonn berjarak 131 kilometer. Ini sama dengan jarak Pontianak-Mempawah yang bisa ditempuh dalam waktu 2 jam lebih dengan rata-rata kecepatan 60 km/ jam.

Oleh seorang staff Friedrich Ebert Stiftung, lembaga yang membiayai perjalanan saya, saya hanya dibekali sebuah nomor tiket kereta atau didalam bahasa Jerman disebut Auftragsnummer, yang dikirim via email. Setelah nanti sampai di Frankfurt saya diminta menekan nomor tersebut ke sebuah mesin pencetak tiket (DB machines) yang banyak tersedia di bandara.

Jurnalisme Warga


Oleh Heriyanto

Kita tentu sering menyaksikan sebuah berita yang dilaporkan bukan oleh wartawan, tetapi oleh warga biasa. Yang terbaru misalnya berita robohnya Jembatan Tenggarong di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Video yang untuk pertama kali disiarkan oleh TVOne misalnya merupakan hasil rekaman warga yang kebetulan berada di lokasi tersebut. Peristiwa runtuhnya Jembatan Tenggarong berlangsung dengan sangat singkat, sekitar 30 detik saja. Dengan peristiwa secepat itu, kecil kemungkinan ada wartawan yang berada di lokasi persis saat peristiwa itu terjadi.

Peristiwa lain misalnya bencana tsunami di Aceh, tsunami di Jepang, banjir bandang di Wasior, Papua, serta sejumlah bencana lainnya. Rekaman gambar atau foto saat terjadinya bencana itu justru diambil oleh warga yang sekaligus korban dari bencana itu. Mereka adalah orang-orang yang berada di lokasi kejadian dan kemudian berinisiatif untuk mengambil video atau foto dengan alat-alat yang mereka milik, terutama dengan menggunakan handphone.

Wednesday, April 4, 2012

Kwetiaw Con Hoi Cin yang Lezat


Oleh Heriyanto, Pontianak

Dengan cekatan Con Hoi Cin menggongseng mie putih di sebuah wajan. Garam, micin, dan berbagai bumbu ia campur ke dalam masakan. Terakhir, kecap ia tambahkan dan diaduk dengan cepat. Tak lama, beberapa porsi kwetiaw dihidangkan dan diantar ke pemesannya. Dan hap, kwetiaw itu langsung disantap. 

Tak sulit menemukan warung kwetiaw Con Hoi Cin yang terletak di pinggir Jalan Imam Bonjol, tepat di samping kiri Gang Tanjung Harapan Pontianak. Jalan Imam Bonjol sangat padat karena menjadi jalan utama menuju ke Pusat Kota.  Strategis karena orang dari berbagai tempat kerap mampir ke tempat ini.

Indonesia Mini di Malaysia

Oleh Heriyanto, Kuala Lumpur

Daerah Chow Kit Road di Kuala Lumpur, Malaysia terkenal sebagai Indonesia Mini. Setiap libur tiba, terutama hari Minggu, kawasan ini dipenuhi ribuan TKI yang datang dari berbagai wilayah di Malaysia. Para TKI yang berasal dari berbagai latar belakang kerjaan, seperti pembantu rumah tangga, buruh bangunan atau karyawan pabrik tersebut kerap kongkow-kongkow di kawasan ini. Ada yang berpasang-pasangan, ada juga yang rombongan. Jadi jangan heran jika mendengar orang bercakap-cakap dalam bahasa Jawa, Aceh atau Lombok di sana.

Kawasan Chow Kit memang menawarkan nuansa Indonesia. Di sejumlah pojok  jalan terdapat beberapa gerai makanan asli Indonesia. Ada makanan Jawa, Melayu, atau Padang. Mau beli mi ayam, bakso, atau sate? Semua tersedia di sana. Bagi mereka yang sudah lama tidak pulang ke Indonesia, berbagai menu makanan ini tentu bisa mengobati rasa kangen akan masakan Indonesia.

Tuesday, April 3, 2012

Cerita tentang Sekolah di Pedalaman


Oleh Heriyanto, Kapuas Hulu

Lidia Lahe berkali-kali melongok keluar pintu. Tapi yang ditunggu-tunggu tak juga datang. Padahal pagi itu jam sudah menunjukkan pukul 7.30. Perempuan muda itu lantas keluar ruang kelas dan berdiri di jalan masuk menuju sekolahan. ”Beginilah di sini. Guru harus sabar menunggu murid datang,” kata Lidia tentang siswanya yang sering terlambat masuk sekolah, awal Maret lalu.

Tak berapa lama beberapa anak yang ditunggu nongol dari ujung jalan. Lidia meminta mereka untuk langsung masuk kelas. Anak-anak berseragam pramuka dan kebanyakan tak bersepatu itu bergegas masuk ke ruangan. ”Kalau tidak kita suruh masuk, bisa-bisa mereka malah bermain di halaman,” tambah Lidia yang masih menunggu beberapa siswa lain-- yang tak beberapa lama kemudian muncul. 

Sunday, January 8, 2012

Menyusuri Hutan Bakau, Memetakan Kawasan


Oleh Heriyanto, Kubu Raya

Selama seharian kami melakukan pemetaan wilayah di hutan bakau Kubu yang akan dijadikan hutan konservasi. Ada puluhan orang yang ikut dalam pemetaan ini. Sebagian besar adalah warga Desa Kubu dan sisanya aktivis Perkumpulan Penggiat Konservasi dan Pengembangan Komunitas Mandiri (Pervasi). Kami menggunakan empat buah perahu motor kecil. Satu perahu bisa menampung lima hingga enam orang.

Perahu motor berjalan pelan menyusuri sungai-sungai, mengelilingi hutan yang hendak diselamatkan. Kadang kami masuk ke sungai besar dan terkadang masuk ke anak-anak sungai. Di beberapa tempat perahu tersangkut kayu-kayu bakau yang hanyut. Motoris harus pandai mengelakkan perahu.

Sunday, January 1, 2012

Menjelajahi Jantung Borneo

Oleh Heriyanto

Cahaya matahari hampir saja tak mampu menembus celah-celah pohon di tengah hutan belantara Kalimantan yang lebat. Begitu lebatnya, dari bawah hanya bisa terlihat cahaya tak utuh menerobos kanopi dan membentuk sorot seperti cahaya senter, namun melemah hingga tak mampu menyentuh tanah.

Daun-daun membentuk gerombolan hijau, sementara itu burung-burung beterbangan di dahan-dahan pohon, saling berlomba mengeluarkan bunyi terindah. Semut-semut berkeliaran di batang pohon dan di bawah daun kering yang rontok ke tanah. Begitulah sedikit gambaran lebatnya hutan di kawasan Jantung Borneo. Sebuah warisan alam yang kini makin menipis.