Friday, December 23, 2011

Bekana, Seni Bertutur yang Hampir Hilang


Tradisi seni bertutur Dayak Desa yang disebut Bekana kini terancam punah. Hanya sedikit orang tua yang masih menguasainya, sementara anak-anak lebih tertarik pada musik populer. Saya datang ke desa Ensaid Panjang, Sintang, mendengarkan orang-orang tua melantunkan Bekana yang hampir hilang.

Oleh Heriyanto, Sintang

Di sebuah rumah panjang di desa Ensaid Panjang, Sintang, Kalimantan Barat, Hermanus Bintang asyik melantunkan bait-bait Kana atau syair. Suaranya sesekali meninggi, di lain waktu merendah. Warga desa lain, yang sebagian besar orang tua, duduk mendengarkan.

Hermanus Bintang adalah satu dari sedikit orang yang masih menguasai tradisi bekana, yakni seni bertutur suku Dayak. Bentuknya berupa senandung untuk memanjatkan doa, menyampaikan sindiran dan pujian, ataupun memberi nasehat.

“Kana itu istilahnya kita mengucapkan syukur pada sang Batara, artinya kita mengucapkan syukur pada Tuhan,” ujar Hermanus Bintang.

Bekana biasa dilantunkan saat upacara adat seperti pesta panen, gunting rambut atau penyambutan tamu. Sejak dahulu kala, nenek moyang suku Dayak terbiasa dengan kesenian sastra tutur Bekana. Tapi, tidak banyak lagi yang menguasai tradisi ini. Hermanus Bintang berkata, “sekarang banyak yang malu untuk mempelajari Kana. Mereka tidak menguasai bahasa nenek moyang dulu.”

Darius Mambu, pemuda setempat mengaku tidak begitu tertarik pada Bekana yang menurutnya sulit dimengerti. “Pernah belajar dulu tapi cuma iiiii githu, pernah tuh, sambil gurau-gurau githu ya, tetapi akhirnya nggak bisa juga ya. Padahal dulu sering belajar tu, susah dimengerti bahasanya tuh.”

Bagi anak-anak muda Dayak, lagu populer lebih menarik dibanding seni Bekana. Linin Markus, tokoh masyarakat setempat, merasa prihatin soal ini. ”Kalangan muda 95 persen sudah tidak menguasai lagi, kecuali mereka yang masih ada di pelosok-pelosok yang tidak terpengaruh barang luar, seperti HP, TV. Pokoknya hiburan-hiburan dari luar-lah.”

Dedy Armayadi, penulis buku Kearifan Lokal Masyarakat Dayak mengatakan masuknya televisi atau radio berdampak besar pada kebudayaan setempat. Dulu sangat banyak orang bisa melantunkan bekana, tapi kini hanya bisa dihitung jari. “Karena ada intrusi budaya dari berbagai macam budaya yang masuk ke mereka sehingga masyarakat di sana pada umumnya lebih tertarik pada budaya-budaya modern ketimbang budaya tradisional, sehingga yang menguasainya hanya terbatas di kalangan tertentu terutama orang tua yang berusia lanjut,” jelas Dedy Armayadi.

Di sebuah ruangan di Ibukota Sintang, orang-orang tua berkumpul untuk melantunkan berbagai seni tradisi lisan yang mereka kuasai. Dedy Armayadi lantas merekamnya. Ini bagian dari program pelestarian budaya Dayak, kata Dedy.

Dedy Armayadi merekam syair-syair bekana, mencatat, dan mengartikan makna yang terkandung dalam syair-syair bekana tersebut, “kemudian kita masukkan juga ke dalam buku.”

Upaya merekam tradisi Bekana menggunakan teknologi video atau audio diharapkan bisa melestarikan tradisi itu untuk generasi mendatang. Paling tidak, generasi Dayak di masa mendatang masih bisa menjalin keterikatan dengan seni bertutur kuno itu melalui pemutar musik.

No comments: