Sunday, December 11, 2011

Tato Dayak, Kunci Menuju Surga


Oleh Heriyanto, Kapuas Hulu 

Di sebuah rumah panjang, rumah tradisional suku Dayak, Ganim (60) membuka baju dan memperlihatkan Tato yang memenuhi hampir seluruh bagian tubuhnya, mulai punggung, dada, tangan, kaki, hingga leher. Punggung adalah bagian tubuh yang paling banyak dipenuhi tato.

Bentuk tato di tubuh Ganim beragam. Ada yang bergambar bunga, bulatan, hewan, atau symbol mata angin. Beberapa bentuk tato terlihat aneh. Misalnya saja gambar burung garuda dan di atasnya ada tulisan Singapura. Tato lain yang juga cukup unik adalah gambar pesawat terbang. “Banyak yang bertanya pada saya apa arti tato saya ini,” ujar tokoh masyarakat Dayak Iban di Desa Kelawik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat ini.

Mentato tubuh merupakan tradisi bagi sebagian besar subsuku Dayak di Kalimantan. Kayaan dan Iban adalah dua sub suku yang terkenal akan keindahan tatonya. Tapi tato bagi Orang Dayak tidak hanya sekadar untuk keindahan estetika saja, namun memiliki makna khusus. Bagi Dayak Iban tato menggambarkan strata sosial pemiliknya. Para petinggi kampung atau tokoh adat memiliki tato khusus yang berbeda dari orang biasa.

Dari sisi mitologis, masyarakat Dayak Iban percaya Batara (Tuhan) menghendaki orang Iban bertato sebagai penanda bagi Batara untuk mengenali orang-orang Iban. “Tato itu seperti kunci bagi orang iban untuk masuk ke surga,” ujar Ganim.

Melalui kunci inilah, orang Iban bisa masuk ke dalam Surga. Ada beberapa motif tato yang merupakan representasi mahluk dari dunia sabayan (surga) yang menjaga dan memberi keselamatan bagi orang Iban, baik berupa simbol hewan maupun tumbuhan. Tato yang cukup khas adalah tato bunga terung yang merupakan kunci pada nirwana.

Namun dari sisi pemaknaan sederhana, tato bagi orang iban adalah diary hidup atau catatan perjalanan. Hal ini juga berlaku bagi Ganim. Ganim mulai mentato tubuhnya sejak ia berusia belasan tahu. Saat itu ia kerap mengembara ke berbagai tempat. Di setiap tempat yang ia kunjungi, ia akan membuat satu tato, sebagai tanda bahwa ia pernah ke tempat itu. Tato pesawat terbang misalnya, adalah saat dimana untuk pertama kalinya Ganim melihat pesawat terbang di Malaysia. Sementara tato tulisan Singapura di dadanya adalah sebuah tanda bahwa ia pernah ke Singapura. Karena itu semakin banyak orang Iban mengunjungi tempat yang baru, semakin banyak tato di tubuhnya.

Orang yang belum bertato dianggap belum dewasa. Tato menjadi menjadi tanda kejantanan bagi lelaki Iban. “Orang yang tidak bertato dianggap kurang gagah dan belum dewasa,” ujar Baro (80), warga rumah Panjang Sumpak Layang, Kapuas Hulu yang juga memiliki tato di sekujur tubuhnya. Baro bercerita, dahulu hampir semua lelaki Iban bertato. “Lelaki yang tidak bertato akan diejek warga lain dan dianggap rendah.”

Namun jaman semakin berubah. Generasi pemilik tato seperti Ganim dan Baro sudah semakin sedikit. Di Dusun Sumpak Layang hanya tersisa beberapa orang saja yang bisa menjelaskan mengenai makna tato yang ada di tubuhnya. Rata-rata sudah berusia lanjut.
Di kalangan pemuda Dayak mayoritas memang masih mentato tubuh. Namun menurut Ganim tato yang dimiliki oleh generasi muda itu sudah banyak berbeda dari yang dikenalnya dulu. “Sekarang sudah banyak yang dari luar. Bukan dari tato nenek moyang,” ujar Ganim.

Banyak pemuda Dayak yang punya tato kontemporer. Yohanes (20) misalnya, pemuda yang ditemui di Lanjak, Kapuas Hulu, dekat perbatasan Malaysia ini memiliki tato bergambar naga di punggungnya. Tato ini dibuat ketika ia pergi ke Malaysia. Dia mengaku hanya suka-suka saja membuat tato. “Saya suka karena bentuknya bagus, indah,” ujar Yohanes. Namun ketika ditanya apa makna Tatonya, pemuda ini hanya menggelengkan kepala. Sejumlah pemuda Dayak mentato tubuh mereka dengan alasan estetis saja. Ini sangat berbeda dari generasi tua seperti Ganim atau Baro.

Lingkungan yang lebih modern memberikan pilihan-pilihan bagi pemuda Dayak untuk mentato atau tidak tubuh mereka. Generasi Dayak yang memperoleh pendidikan tinggi cenderung memiliki pandangan yang berbeda dari generasi tua. Banyak yang berpandangan tato bukanlah suatu keharusan. Bahkan tato dianggap merugikan, terutama ketika mereka akan mendaftar di militer atau program kedinasan. Hendrikus (23) mahasiswa di Universitas Tanjungpura mengaku tak memiliki tato di tubuhnya. “Ayah dan kakek saya punya tato, tetapi saya tak harus mengikuti mereka. Tato di badan akan membuat saya kesulitan mendaftar sebagai tentara atau pegawai negeri,” ujar Hendrikus. Apalagi dalam pergaulan sehari-hari di kota, orang bertato selalu dikaitkan dengan premanisme. “Anggapan orang jadi negatif,” tambah Hendrikus. 

Tato tidak hanya didominasi kaum lelaki. Sejumlah perempuan Iban juga mentato tubuh mereka. Seperti yang dimiliki Seruni (70). Penghuni rumah panjang Sumpak Layang ini memiliki Tato yang melingkar di lengan dan kakinya. Ada persyaratan khusus bagi perempuan untuk bisa memiliki tato. Mereka haruslah memiliki kemampuan khusus, seperti menganyam, menenun, atau menari. Tato berfungsi sebagai penambah kecantikan dan menjadi daya pikat bagi kaum lelaki. Semacam make up untuk wanita jaman sekarang. “Dulu ketika muda, banyak sekali lelaki yang suka pada saya,” ujar Seruni.

Dayak Kayaan juga punya tradisi tato pada perempuan. Tato pada perempuan Kayaan sangat halus dan indah. Namun kini sangat sedikit perempuan kayaan yang mentato tubuhnya. Di Desa Tanjung Karang, Kapuas Hulu, yang mayoritas Dayak Kayaan misalnya, hanya tersisa tak lebih dari dua orang saja yang masih bertato. Mereka sudah berusia diatas 80 tahun. “Dalam beberapa tahun mendatang mungkin kita tidak melihat lagi perempuan Kayaan yang mentato tubuh mereka,” ujar Yuliantini, pemerhati tato, yang kini tengah berusaha mendokumentasikan jenis-jenis Tato di Kapuas Hulu ini. Ketika ditanyakan pada sejumlah perempuan muda Kayaan, rata-rata mereka mengatakan tidak ingin mentato tubuh mereka karena merasa malu.

Orang yang ahli dalam membuat tato tradisional Dayak juga semakin sedikit. Surau (78) adalah satu diantara yang sedikit itu. Surau adalah pembuat tato terakhir di desa Tematuk, Kecamatan Lanjak, Kapuas Hulu. Surau masih menerima bila ada orang yang hendak membuat tato padanya. Tapi kini sudah tidak banyak orang yang membuat tato. Dalam sebulan hanya sekitar 2 orang saja yang membuat tato, sudah jauh berkurang dibanding 20 tahun yang lalu. “Yang banyak bikin tato justru orang dari luar. Ada dari Pontianak, Malaysia, bahkan dari luar negeri. Kalau orang Dayak sendiri sangat kurang,” ujar Surau.

Dalam pembuatan Tato, Surau masih menggunakan alat tradisional. Teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan jarum. Ada 4 buah mata jarum yang ia gunakan. Jarum ini dipasang di sebuah kayu kecil. Cara kerjanya seperti bentuk palu, yang ditatahkan dikulit yang sudah digambar motif. Untuk pewarna Surau menggunakan jelaga yang disebut Arang Lambu. Arang ini didapatkan dari arang lentera. Sebuah lentera yang menyala diletakkan di dalam ember. Diatas ember diletakkan piring berisi air. Jelaga hitam yang tertinggal dipantat piring itulah yang digunakan sebagai pewarna. Karena itu tato Iban hanya satu warna saja: hitam.

Menurut Surau tak ada upacara atau jampi-jampi khusus saat ia membuat tato. Bagi orang yang ditato, yang dibutuhkan tentu saja kemampuan menahan rasa sakit. Beberapa bagian tubuh seperti di leher dan dengkul akan terasa sangat sakit ketika ditato. “Akan banyak darah yang keluar saat ditato,” ujar Surau.

Tidak ada biaya khusus untuk membuat sebuah tato. Surau bercerita, dulu, mereka menerapkan system gotong royong. Saling mentato bergantian. Tapi sekarang tidak ada sistem gotong royong lagi. “Tak banyak yang bisa mentato lagi,” ujar Surau. Orang yang hendak mentato bisa membayar dengan uang. Namun Surau tak mematok harga.

Surau kuatir tidak ada lagi orang yang punya kemampuan membuat tato Dayak setelahnya. Dari 8 anaknya tidak ada yang mau belajar membuat tato. “Saya tidak tahu mengapa tidak ada anak saya yang tertarik belajar tato. Semuanya rata-rata sekolah tinggi,” ujar Surau. (**)

1 comment:

Honey said...

tapi saya tidak ingin ditato ahahaha