Tuesday, December 13, 2011

Cerita tentang Rumah Betang di Ensaid Panjang


Rumah betang adalah rumah tradisional Suku Dayak. Rumah ini berbentuk rumah panggung dengan panjang mencapai lebih seratus meter. Jumlahnya kini kian sedikit. Yang masih bertahan pun kondisinya sudah tua, satu diantaranya di Desa Ensaid Panjang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Di masa depan cerita soal Rumah Betang barangkali hanya bisa dilihat di kartu pos dan perangko.

Oleh Heriyanto, Sintang

Hujan rintik-rintik membasahi dedaunan di sekitar rumah betang, Desa Ensaid Panjang, Kabupaten Sintang Kalimantan Barat. Hari masih pagi. Sebagian warga lebih memilih beraktivitas di dalam Betang. Ada yang mengayam, ada yang menenun, dan ada pula yang menumbuk beras.

Rumah betang adalah rumah tradisional Suku Dayak. Rumah ini berbentuk rumah panggung yang panjangnya lebih dari 100 meter. Atapnya sirap, dari kayu ulin. Betang dalam bahasa Dayak artinya Kampung.

Karena ini rumah panggung, tentu ada tangganya. Tangga rumah betang sengaja dibuat tinggi. Ratusan tahun lalu, tinggi tangga bisa mencapai 8 meter. “Untuk melindungi penghuni dari serangan musuh,” kata Hermanus Bintang, sang ketua adat.

“Dulu saat musim kayau tuh, bisa nyampai 7-8 meter. Pake tombak pun tidak nyampai. Tangganya tinggi. Kalau sudah malam tangganya ditarik, pintunya ditutup. Supaya musuh-musuh tidak masuk,” cerita Hermanus.  

Musim kayau yang dimaksud Hermanus adalah tradisi berburu kepala manusia saat perang suku. Ini lazim terjadi di zaman dahulu, saat antar suku kerap saling menyerang. Jika bisa mendapatkan kepala manusia artinya orang tersebut dianggap kesatria. Kepala itu lantas dihadiahkan kepada keluarga sebagai bukti kemenangan dan dijadikan persembahan saat berlangsungnya upacara adat.

Tokoh masyarakat Ensaid Panjang Ringan menjelaskan, rumah betang sengaja dibangun tinggi untuk alasan keamanan. “Baik dari sesama manusia, maupun dari hewan buas,” kata Ringan. “Dulu sering terjadi perang antar suku, itu pertama. Kedua juga keamanan dari binatang buas. Karena dulu kan tempat tinggal ini memang berada di hutan-hutan lebat.”

Betang yang bentuknya memanjang juga jadi simbol kebersamaan warga Dayak. Di dalam satu rumah, bisa ada lebih dari 30 keluarga. Ratusan orang hidup bersama di bawah satu atap.

Rumah betang Ensaid Panjang dibangun pada 1986. Warga mengerjakannya secara gotong royong. Ini betang ketiga yang ditinggali Hermanus Bintang. Dua betang sebelumnya sudah lama roboh.

Menurut Bintang, jika ada betang yang roboh, maka warga akan gotong royong membangunnya kembali. Dulu, bahan bangunan diperoleh dari hutan sekitar, tapi sekarang beberapa bahan harus dibeli dari luar. “Dulu kita pakai rotan untuk mengikat kayu, tapi sekarang kita pakai paku. Cari rotan sudah susah sekarang,” ujar Hermanus Bintang.

Rumah betang Ensaid Panjang terletak di Kabupaten Sintang. Dari ibukota Provinsi Pontianak setidaknya harus menempuh perjalanan bus selama 9 jam menuju ibukota Sintang. Lantas dilanjutkan dengan ojek selama 2 jam. Siap-siaplah menemukan jalan rusak dan berlubang saat masuk ke desa ini.

Di Rumah Betang, saya berbincang dengan Sembay, tokoh masyarakat yang sudah tinggal di sana sejak lahir. Karena rumah ini bentuknya panjang, di dalam rumah terdiri dari banyak bagian. Ada dua bagian besar di dalam betang yaitu ruai dan bilik. Ruai yakni ruang terbuka, dan bilik adalah ruang tertutup. Panjang tradisional ini 130 meter dan lebar 60 meter. Di dalamnya ada 29 bilik yang dihuni 33 keluarga.

Ruai yang lapang biasanya digunakan untuk kegiatan keseharian, seperti ritual adat atau menganyam kerajinan tangan. Sementara bilik diperlakukan sebagai rumah per keluarga. Di dalam bilik ukuran 6 kali 4 meter aktivitas masak sampai tidur dilakukan di sana.

Malam hari tiba. Suasana di sekeliling rumah betang gelap gulita. Suara jangkrik terdengar makin keras. Bilik Sembay hanya diterangi lentera kecil yang tak mampu mengusir gelap. Malam itu, mesin genset terlambat dihidupkan karena menunggu bahan bakar yang belum tiba.

Sembay menjabat sebagai kepala dusun. Dia menerima saya menginap di biliknya. Bilik Sembay tak seberapa luas: ada ruang tamu, satu kamar tidur dan dapur. Luasnya tak lebih dari 24 meter persegi.

Tinggal di Rumah Betang tak membuat warga di sana terisolir. Ada radio serta TV yang suaranya menyemarakkan suasana. Ini satu-satunya televisi di sana yang diletakkan di  ruai tengah. Setiap malam, warga beramai-ramai nonton TV. Satu TV untuk ratusan orang. Acara favorit warga adalah film laga. Ada yang duduk dan ada pula yang sambil berbaring.

Suasana kekeluargaan begitu terlihat. Kalau ada jadwal gotong royong esok harinya, langsung bisa disampaikan saat itu juga saat menonton televisi.

Sembay bekerja sebagai petani, sama seperti kebanyakan warga Betang. Lahan yang mereka garap adalah tanah adat yang dimiliki secara bersama-sama. Penghasilan tambahan datang dari pekerjaan menyadap karet.

Para lelaki di Betang punya kebiasaan berburu di hutan. Seperti yang dilakukan oleh Raden, tetangga Sembay. Saat ditemui, Raden tengah membuat peluru dari timah. “Untuk nembak babi hutan,” katanya sembari memukul-mukul timah menjadi bulatan kecil.  Senjata yang digunakan adalah senapan lantak. Senjata ini dirakit sendiri.

Sementara para perempuannya menenun kain tenun ikat di waktu senggang.  Seperti yang biasa dilakukan Adriani, Istri Sembay. Membuat kain tenun tenun ikat bukanlah perkara mudah. Adriani bercerita, butuh waktu sekitar 3 bulan untuk menyelesaikan satu buah kain ukuran besar. “Lama bikinnya.  Bisa sampai tiga bulan. Nyusunnya yang susah,” kata Adriani yang saat itu sedang menyiapkan alat tenunnya.  

Sekarang coba perhatikan di penjuru Pulau Kalimantan. Rumah Betang nyaris tak terlihat lagi, jumlahnya kian sedikit. Ciri khas Suku Dayak ini terancam punah dimakan zaman.

Rumah Betang Ensaid Panjang adalah satu dari sedikit rumah betang yang masih bertahan di Kalimantan Barat dan satu-satunya yang masih berdiri di Kabupaten Sintang.

Giring Melabo adalah peneliti di Institute Dayakologi yang pernah melakukan penelitian tentang Rumah Betang. Ia menemukan, jumlah rumah betang di penjuru Kalimantan Barat kini tak lebih dari 27 buah, “Padahal dulu ada ribuan rumah betang,” katanya. Salah satu penyebabnya, kata Giring, adalah penggusuran di era 1960-an.

“Alasannya katanya kurang sehat bagi orang Dayak. Selain itu juga dianggap menumbuhkan nilai-nilai komunalisme yang bisa berkembang ke komunisme, padahal sebenarnya tidak seperti itu,” ujar Giring Melabo.

Penggusuran ini sedikit banyak mengubah tatanan kehidupan masyarakat Dayak. Apalagi kemudian masyarakat Dayak banyak yang membangun rumah tunggal, tak lagi tinggal bersama keluarga besarnya.

“Ini  kemudian mengakibatkan nilai solidaritas, nilai kebersamaan masyarakat Dayak mulai terkikis, individualisme sedikit banyak mulai merambahi Dayak,” tambah Giring.

Banyak juga rumah betang yang roboh dimakan umur. Linin Markus, warga Desa Sungai Pukat bercerita, dulu di desanya ada rumah betang, tapi kini roboh setelah ditinggal pergi penghuninya. “Di desa saya dulu ada betang juga, bahkan lebih panjang dari betang Ensaid Panjang. Tapi sudah lama roboh. Kita sudah buat rumah masing-masing,” cerita Linin Markus.

Matheus, kerabat Sembay, dulu juga tinggal di rumah betang Ensaid Panjang. Tapi setelah menikah, ia hijrah ke Kabupaten Sekadau, sekitar 3 jam dari kampung halamannya, dan membangun rumah tunggal. “Saya kawin dengan orang sana, jadi tinggal di sana.”


Ancaman terhadap keberadaan rumah betang juga datang dari luar. Ekspansi kebun kelapa sawit, misalnya, yang telah menyulap hutan di lingkaran luar desa menjadi tinggal kenangan. Padahal hutan sudah bertahun-tahun memberikan mata pencaharian bagi warga.

“Yang dulunya masih hutan lebat untuk kebutuhan masyarakat tetapi sekarang sudah menjadi hutan sawit. Gimana kita mau bikin sirap? Gimana kita mau bikin anyaman? Kayu dan rotan sudah habis,” ujar Sembay.

Karenanya warga Desa Ensaid Panjang menolak keras masuknya kelapa sawit ke daerah mereka. Aktivitas membabat hutan selalu dihalang-halangi. Sebab memangkas hutan berarti mencerabut akar budaya masyarakat betang, kata Ringan, tokoh masyarakat Ensaid Panjang. “Supaya masyarakat yang mendiami rumah betang ini tidak tercerabut dari akar budayanya. Karena memang hutan tidak mungkin dipisahkan dari rumah betang.”

Dedy Armayadi, dari PRCF Indonesia, lembaga yang konsen dalam konservasi dan pemberdayaan masyarakat  Dayak mengingatkan, rumah betang Ensaid Panjang sudah 20 tahun lebih ditetapkan pemerintah sebagai cagar budaya. “Tahun 1982, pemerintah Kabupaten Sintang menjadikan rumah betang ini sebagai cagar budaya. Setelah ditetapkan ternyata perhatian pemerintah tidak berlanjut.”

Sembay khawatir, simbol kebersamaan yang diusung rumah betang bakal hilang ditelan waktu. “Kita kan punya anak cucu, tanah itu kan bukan tambah luas, justru makin sempit. Kehidupan ini kan bukan hanya untuk hari ini,” sesalnya.

Kalau tak ada aksi apa pun, bisa jadi anak cucu Sembay dan warga Dayak lainnya hanya bisa memandang Rumah Betang dari selembar kartu pos atau perangko. (*)




No comments: