Oleh: Heriyanto
SEDIKIT perenungan barangkali sangat dibutuhkan akhir-akhir ini. Suatu sore, saat gerimis hujan datang, dalam beberapa waktu saya berdiam diri. Pikiran ini menerawang. Berbagai persoalan di negeri ini menelisik satu persatu; dan akhirnya tiba pada suatu kata: Gusti Ora Sare.
Gusti ora sare jika diterjemahkan artinya Tuhan tidak tidur. Berarti pula bahwa Tuhan itu melek: Dia selalu sadar dan eksis. Belakangan kata ini sering muncul ketika banyak orang mengalami kebuntuan akan berbagai persoalan. Banyak orang yang melakukan korupsi namun tidak terjerat hukum; pembabat hutan bisa menikmati hasil jarahannya dengan nyaman; orang yang berkuasa tidak ingat dengan amanahnya; penegak hukum melanggar hukum; atau para penjahat hidup dengan bebasnya. Kebuntuan itu lantas mewujud dalam keputusasaan. Dan atas keputusasaan itu kemudian muncul: biarlah semua berperilaku seenaknya, ingat Tuhan itu ada; Biar Tuhan yang akan menghukum. Barangkali itulah terjemahan sederhana Gusti Ora Sare. Di langit dunia yang terbuka ini, kita hanya menjalani sebuah mekanisme yang sudah digerakkan oleh 'tangan' Yang Kuasa.
Ketika bencana menderu-deru, kita pun juga berujar, Gusti ora sare: Tuhan tidak tidur. Jika diibaratkan mangkuk dan manusia berada dalam mangkuk itu, maka datangnya bencana dengan mudahnya seperti air yang ditumpahkan ke dalam mangkuk itu. Kita tinggal berharap, Tuhan akan menyelamatkan kita. Di sini Gusti ora sare lebih bermakna sebagai sebuah pengakuan bahwa Tuhanlah Maha Kuasa atas mahkluknya.
Manusia tidak mampu menolak bencana. Apa ada orang yang mampu menolak banjir, gempa, atau tsunami? Wahai banjir, wahai tsunami, wahai gempa, jangan datang ke tanah kami! Tentu saja manusia tidak berdaya untuk itu. Berbagai bencana bisa datang suatu waktu, saat kita tidur atau terjaga.
Hidup di negeri dengan sistem yang sudah amburadul tentu bukan pilihan. Begitu pula hidup di negeri bencana. Dan karena itu bukan pilihan, kita tidak bisa menolak ketika suatu waktu tiba-tiba hal itu datang. Lantas, jika begitu apa yang bisa dilakukan manusia?
Adalah penting kemampuan manusia untuk memahami alam ini dan gejala-gejala akan datangnya bencana. Early Warning System atau sistem peringatan dini sangat diperlukan dalam hal ini. Ketika kita tidak mampu menolak bencana, prediksi akan datangnya bencana setidaknya akan membantu kita dalam mempersiapkan segala kondisi dalam menghadapinya dan mengurangi segala dampak mengerikan ketika bencana itu datang: korban jiwa, harta benda, dsb.
Persoalannya, selama ini kita baru bersibuk setelah bencana datang. Kita sibuk mengumpulkan sumbangan di jalan, kita ribut soal tim penanganan korban, koordinasi yang kurang baik antar instansi yang terkait, dsb. Pokoknya sibuk sana sini. Dan itu terjadi setiap kalinya. Karena saking seringnya hal itu terjadi sehingga sepertinya menjadi normal saja. Tetapi apakah kita mau seperti keledai yang berkali-kali terperosok lubang yang sama? Tentu saja sudah cukup berbagai bencana yang sudah terjadi itu menjadi pelajaran. Jika tidak, ya sudah, Gusti Ora sare.
Bila kita kemudian sadar akan peringatan ini, mungkin kita bisa berbuat sesuatu untuk mencegah bencana yang lebih dahsyat yang mungkin suatu saat akan 'bertamu' ke rumah kita? Banyak ahli yang mengatakan bahwa perubahan iklim dan cuaca belakangan ini karena semakin banyak hutan yang gundul. Pemanasan Global akibat rumah Efek Rumah Kaca adalah turunannya.
Dalam Filsafat kita mengenal kata kosmos yang berarti susunan yang teratur dari benda-benda. Pada masa kini lebih identik dengan alam semesta dan segala benda langit yang bergerak dengan teratur. Sistem alam yang kemudian terus ada itulah yang menjadi satu mekanisme tersendiri. Pandangan terhadap semesta ini, di mana segalanya secara kausal terkait dengan lainnya dikarenakan penyebab material, pernah mengantarkan Aristoteles pada teologi dan konsep Tuhan. Sebuah semesta yang dipengaruhi perubahan atau pergerakan abadi membutuhkan penyebab gerak pertama abadi yang tidak terelakkan.
Namun kosmos yang teratur ini tampaknya sudah mengarah chaos. Saat musim kering justru datang musim banjir, saat musim hujan justru beberapa daerah mengalami kekeringan. Makanya, yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengembalikan keseimbangan alam itu. Indonesia sudah digoyang dengan berbagai peringatan. Sekarang, peringatan akan tanda-tanda alam ini sudah ada, tergantung kita—manusia— untuk kemudian mengambil tindakan.
Bila secara alamiah manusia memiliki tujuan untuk memperoleh kebahagiaan, adakah alat yang bisa digunakan manusia untuk mencapai kebahagiaan? Apakah kekayaan, kehormatan, atau kejayaan? Ketika manusia tak lagi memperhatikan lagi bagaimana cara ia memperoleh kebahagiaan, maka itu akan menjadi masalah bagi manusia itu sendiri. Halal-haram, bantai. Banyak orang yang mengeruk alam secara berlebihan dan kemudian mecinderai keseimbangan alam. Banyak pejabat yang mengkorupsi dana untuk penghijauan, menilep dana pengelolaan untuk pelestarian hutan, dan sebagai.
Manusia tentu tak ingin terus menerus mengalami ketakutan dan ketidakamanan. Nah, di sinilah eksistensi sebagai manusia diuji. Mana yang akan dilakukan oleh manusia: kebajikan atau kejahatan? Manusia yang sadar akan memperbaiki diri dan memperoleh kebahagian lewat kebajikan, sementara manusia yang celaka akan terus mengulangi kesalahannya. Maka bukan kebahagiaan yang akan diperoleh, namun petaka. Bukankah Gusti ora sare? **
No comments:
Post a Comment