Oleh Heriyanto
Pagi itu di sebuah kantin yang terletak di bilangan Untan, saya memesan teh hangat. Pagi, tentu enak menikmati secangkir teh hangat, pikir saya. Sambil membaca koran Kompas, saya menyeruput teh itu. Namun, saya mendapati rasa berbeda, teh itu terasa payau. Manisnya teh bercampur dengan rasa asin. Ternyata tidak hanya saat berwudu atau mandi saja saya merasakan air payau, tetapi juga merembet ke minuman kegemaran saya. Air teh itu tidak saya habiskan karena rasa mual justru datang dan membuat gairah minum teh di pagi hari itu jadi sirna.
Dalam beberapa waktu belakangan memang air ledeng berubah rasanya jadi payau. Kalau teh yang saya minum itu rasanya payau, apakah ada hubungannya dengan air ledeng? Saya tidak berprasangka jelek, ya barangkali di kantin itu untuk memasak atau mencuci menggunakan air ledeng. Tapi walau kecewa, saya jadi terinspirasi untuk membuat tulisan ini.
Saya teringat satu buku yang saya baca beberapa hari sebelumnya berjudul Titik Balik Peradaban yang ditulis Fritjof Capra. Di dalam buku itu ada satu tulisan menarik yang mengupas tentang sisi gelap pertumbuhan. Saya coba untuk mengulasnya sesuai pemahaman saya, yang kemudian coba saya kaitkan dengan pengalaman saya di atas.
Begini, pertumbuhan teknologi dalam rangka mengejar produktivitas telah menyebabkan suatu lingkungan di mana kehidupan menjadi tidak sehat. Kaum industrialis memprogandakan kemajuan-kemajuan dan kemakmuran namun sisi-sisi gelapnya dikesampingkan. Kerusakan ekologis belakangan ini sudah begitu nampak di depan mata. Banjir, tercemarnya air, krisis air, polusi udara, dan sebagainya. Capra sendiri, lebih banyak memberikan contoh bagaimana bahaya nuklir bagi kehidupan manusia. Dan bahkan mengancam eksistensi manusia, bila skala bencana yang terjadi begitu besar. Di Indonesia, contoh yang paling nampak adalah bencana lumpur panas di Jawa Timur karena hasrat si pengusaha mendapatkan untung besar dan melupakan adanya peluang terjadi bencana.
Menurut Capra, hal ini ada juga hubungan dengan pandangan yang dianut oleh para ilmuwan yang secara runtut lebih menekankan pikiran dan pandangan yang mekanistik ala Descartes dan Newtonian. Bahwa dunia materi dipandang sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah yang dirakit menjadi sebuah mesin raksasa. Lebih ringkasnya, hewan, tumbuhan dan segala yang ada di alam sekitar kita ini adalah mesin. Dan manusia juga dipandang sebagai mesin produksi. Mesin-mesin inilah yang dipandang sebagai aset produksi yang bisa menghasilkan keuntungan ekonomis.
Ketika produksi dikejar dan konsumsi semakin meningkat, teknologi juga semakin ditingkatkan. Namun hal ini mengakibatkan telah membuat ketidakseimbangan di alam ini, karena eksploitasi alam secara berlebihan. Dalam sebuah sistem alam, bila ada satu kerusakan pada komponen A bisa saja berakibat pada komponen B, komponen B mempengaruhi komponen C, dan seterusnya. Pernahkah merenungkan bahwa apa yang telah manusia perbuat terhadap dunia ini sudah begitu berlebihan? Sayangnya sisi negatifnya ini tidak mendapatkan proporsi yang cukup untuk dibahas atau mendapatkan perhatian.
Lantas apa ada hubungannya pengalaman saya di atas dengan apa yang ditulis oleh Fijrof Capra? Deman Huri pernah menulis dalam koran ini tentang krisis air. Saya coba melengkapi argumentasi Demanhuri, namun dalam kajian yang lebih singkat seperti yang diulas Fritjof Capra. Ini secara tidak langsung adalah fenomena sisi gelap pertumbuhan yang di kejar-kejar oleh pemerintah selama ini.
Laju kerusakan hutan yang tinggi membawa dampak signifikan terhadap berkurangnya pepohonan sebagai pengikat air. Lantai hutan yang terbuka, membuat titik air langsung meluncur ke sungai, lantas ke laut. Erosi yang terjadi karena tanah yang dibawa oleh air yang mengalir membuat sedimentasi. Sungai pun menjadi dangkal. Pada musim kemarau, volume air berkurang karena sudah terlepas ke laut lepas pada musim penghujan. Karenanya terjadi intrusi air laut. Air sungai yang tawar kemudian berubah menjadi air asin, yang kemudian karena sulitnya air, terpaksa dikonsumsi, termasuk untuk membuat teh yang saya minum itu. Ini hanya bagian kecil saja dari keseluruhan ketidakseimbangan alam.
Nafsu dan keserakahan untuk menguasai alam ini telah membuat sebagian orang-orang bermodal melupakan kelestarian alam, melupakan bencana, melupakan bagaimana nasib anak cucu nanti. Tidak hanya soal ekologis, karena mengejar pertumbuhan ekonomi telah mengakibatkan adanya kesenjangan yang begitu besar antara kaya dan miskin. Pada satu sisi ada manusia-manusia nan kaya dengan harta yang melimpah ruah, namun di sisi lain lebih banyak manusia yang kelaparan karena kemiskinan yang luar biasa. Ada orang yang dengan mesin-mesin produksinya mampu meraup keuntungan berlipat-lipat, namun sebaliknya lebih banyak manusia yang dirugikan.
Titik Balik Pemikiran
Kini, kita dihadapkan pada sebuah realitas bahwa alam telah menjadi seperti sekarang ini. Tinggal bagaimana harus melakukan pemikiran ulang cara pandang pemanfaatan dan pengelolaan alam dan lingkungan. Tentu bukan hal yang mudah. Apalagi saat ini tampaknya para pemikir besar pun sepertinya tidak lagi mampu memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia ini.
Barangkali seperti yang dikatakan Dr Aswandi suatu ketika saat saya coba berdiskusi dengan beliau, ”dasarnya ada di hati manusia yang perlu dibersihkan”. Teknologi tetap akan berkembang, namun harus disertai peningkatan moralitas, etika dan keimanan para pemegang teknologi itu.
Soal teh berasa payau? Terus terang, saya tidak ingin terus-menerus meminumnya. Belum lagi jika air di sungai kapuas tercemar oleh berbagai macam bahan kimia. Duh, semakin mual rasanya. Tentu anda juga tidak mau bukan?
No comments:
Post a Comment