Oleh Heriyanto
Kini anda tak perlu susah-payah sekadar untuk belanja satu dua ons cabe, ikan teri, atau ikan asin di tempat yang nyaman, bersih, dan sejuk. Anda tinggal pergi ke hipermart. Tak perlu berdesak-desakan, menginjak tanah becek, dan mencium bau busuk menyengat seperti yang biasa kita temui di pasar-pasar tradisional. Bahkan Anda bisa sekaligus menonton film “King Kong” di bioskop sambil makan popcorn. Jika duit Anda masih cukup, Anda bisa menikmati ayam goreng Amrik.
Dunia memang begitu cepat berubah. Sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu hal di atas belum Anda bayangkan, tentu. Ada pergeseran pola hidup manusia yang mengikuti pola zamannya. Dahulu, telpon selular adalah barang mewah yang hanya dimiliki golongan menengah ke atas. Bagi mereka yang hidupnya pas-pasan, jangankan untuk membelinya, membayangkan saja tidak. Tapi kini, barang itu dengan mudah bisa kita temui. Tukang sapu atau tukang becak bisa saja memilikinya. Bagaimana dengan produk lain semisal komputer atau televisi? Sama saja.
Memang, saat ini berbagai produk luar negeri sudah begitu dahsyat membanjiri negeri ini: mulai dari produk-produk elektronik, alat rumah tangga, makanan, hingga yang paling kecil sekalipun. Kecanggihan teknologi juga membuat dunia semakin kecil. Bayangkan saja, kita bisa ngobrol dengan orang lain yang berjarak berkilo-kilo meter dari kita, sambil menyaksikan siaran langsung sepakbola dari Inggris; Mengklik winamp untuk mendengarkan suara Bon Jovi, Britney Spears, atau Greenday sambil membalas email ke teman; Atau duduk sebentar mendownload berbagai informasi dari penjuru dunia lewat search engine google. Produk-produk luar itu kita nikmati dan menjadi bagian hidup sebagian dari kita saat ini.
Hidup tampaknya menjadi lebih praktis dan ekonomis. Nyaman. Barangkali itu yang sering kita rasakan dengan adanya berbagai produk itu. Sebagian pekerjaan kita juga menjadi termudahkan. Tapi benarkah dengan itu berarti kita sudah lebih maju dibandingkan dengan dahulu? Atau apakah itu menandakan keberhasilan pembangunan saat ini, dan berarti pula kita siap menyongsong globalisasi?
Pertanyaan ini barangkali wajib diajukan, mengingat saat ini bangsa Indonesia memang sedang berada dalam persimpangan jalan antara mengikuti derasnya arus pasar bebas atau menolaknya. Tapi melihat berbagai kebijakan pemerintah saat ini, tampaknya Indonesia cenderung mengarah pada pasar bebas itu.
Namun yang membuat kita sedih adalah kenyataan bahwa bangsa kita lebih sebagai bangsa pengimpor alias konsumen yang baik. Sementara kemampuan produksi nyaris tak terdengar. Kita sering bangga bila bisa mengonsumsi barang luar negeri. Melihat kenyataan ini dengan nada pesimis kita bisa berujar, akankah kita mampu menahan derasnya arus globalisasi? Di mana kita dihadapkan pada keharusan mampu bersaing dengan bangsa lain. Mampukah?
Ketika pemerintahan Orde Baru memakai gagasan Walt Whitman Rostow tentang Tahap Tinggal Landas, kenyataannya tahapan yang dimimpikan itu justru tak pernah tercapai, kecuali menyisakan berbagai persoalan di negeri ini semisal utang yang menumpuk yang membuat Indonesia semakin terpuruk. Sama halnya bagaimana resep ekonomi yang disarankan IMF ternyata tidak mampu “mengobati” krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Maka dari itu, menjadi pelajaran bagi bangsa ini ketika dihadapkan pada pilihan untuk memasuki kancah ekonomi pasar bebas.
Mempertanyakan Pertumbuhan Ekonomi
Sekedar bercerita, pada pertengahan September lalu saya menerima postingan sebuah email dari salah satu anggota diskusi di milist mediacare. Intinya, dia mempertanyakan kembali basis pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang kita anut dalam tiga dasawarsa terakhir, sebagaimana pernah ditanyakan oleh EF Schumacher dalam buku "Kecil itu Indah". Menurutnya jika renungkan kembali pembangunan dan pertumbuhan ekonomi itu sebenarnya menimbulkan lebih banyak problem ketimbang solusi: tentang ketimpangan, utang negerimiskin, involusi pertanian, global warming, krisis energi dan seterusnya.
"Mengambil antara lain filosofi Buddha dan kesederhanaan Gandhi,Schumacher mengajukan pertanyaan paling elementer: benarkahkita memerlukan pertumbuhan dan "kemajuan"? Jika membungkus makanandengan daun pisang lebih sederhana dan ramah lingkungan, haruskah kitamemproduksi plastik hanya untuk menunjukkan kita lebih maju dan modern? Demikian pula kritik tentang istilah "ekonomis" yang secara umum dipandang sebagai dogma. Segala hal cenderung diukur nilai ekonominya, sehingga "tidak ekonomis" adalah sebuah dosa, bahkan jika itu artinya mencerabut manusia dari kemanusiaannya dan harmoninya dengan alam." Demikian saya kutip dari milist itu.
Lupakan Saja Pasar Bebas
Saya tidak bisa membayangkan bila suatu saat rakyat Indonesia hanya bisa diam termangu di negeri sendiri. Terpinggirkan dan kalah oleh bangsa luar di negeri sendiri. Mau menjual cabe sudah tidak laku, mau jual beras harganya sudah begitu rendah, atau ingin berjualan di pasar tradisional sudah tak mampu bersaing dengan hipermat. Sementara berbagai subsidi dicabut. Lantas kita tinggal menerima kemiskinan yang semakin dahsyat mendera, sementara ada sebagian kecil orang yang akan menuai keuntungan berlipat-lipat.
Barangkali pendapat Ben Perkasa Drajat boleh dijadikan renungan. “Pasar” memang memegang peran penting di arena globalisasi. Namun mengapa mesti takut dibilang “anti pasar”, jika “pasar” ternyata tidak peduli pada hajat hidup kita. Bagi sebagian kaum kapitalis, yang penting bagaimana memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Hancurnya ekonomi suatu negara bahkan ekonomi regional dan global tidak dipedulikan.
Karena itu butuh keberanian seperti Iran untuk menjadi diri sendiri tanpa harus merasa didikte negara lain. Bukankah mengikuti sistem ekonomi pasar juga belum tentu akan membawa kebaikan? Maka lebih baik, seperti dikatakan Sukarno, agar kita bisa berdiri di kaki sendiri.
Apa yang dilakukan petani anti WTO adalah sebagian usaha perlawanan. Lupakan pasar bebas bila itu hanya akan membuat kita menjadi bangsa “terjajah”. Dan yang perlu dipikirkan adalah bagaimana agar SDM Indonesia bangga terhadap bangsanya sendiri dan tak perlu tergantung dengan bangsa lain untuk bisa sejahtera.**
No comments:
Post a Comment