Oleh Heriyanto
Ada politikus yang jadi ustadz, ada gubernur yang hobinya safari, dan ada anggota DPR yang sering bikin iklan di koran. Mereka yang mulanya jarang ke masjid sekarang malah jadi penceramah, ditambah peci plus baju koko yang membuat mereka tampak lebih alim dan bijaksana. Ada juga yang suka keliling daerah menemui kalangan bawah, pasang muka ramah dan senyum seindah-indahnya yang bisa bikin orang terpikat. Sebagian lain rajin membagi-bagikan sembako dan paling sibuk menghadiri acara-acara yang ramai massanya, diliput media dan besoknya akan terpampang di halaman koran.
Meminjam istilah Yasraf Amir Piliang perilaku ini biasa disebut Nomadisme: sesuatu yang tidak tetap, berubah-ubah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu bentuk ke bentuk lain, dari satu identitas ke identitas lain. Tentu saja perubahan ini tergantung kepentingannya. Belakangan apa yang disebutkan di atas sering muncul terutama sejak bangsa ini mulai dimabuk Pilkada.
Omong-omong soal demokrasi, apakah ini salah satu efeknya? Soalnya kita sudah terlanjur menyamakan demokrasi sama dengan pemungutan suara. Kalau sudah begitu, ini menjadi bahasan yang laris bak kacang goreng yang ujung-ujungnya tak lari dari persoalan cari-cari suara. Pokoknya kalah-kalah Indonesian Idol atau Akademi Fantasi.
Entah itu kepala desa, entah itu bupati, entah itu gubernur, sampai presiden sibuk dengan “kalkulator sosial” menghitung perkiraan dukungan. Siapa yang banyak suaranya, dia yang jadi pemenang. Tak peduli apakah dia itu moralnya paling bejat se-kabupaten, atau juara nomor wahid untuk soal korupsi se-propinsi. Menang kalah seorang kandidat sangat dimungkinkan terjadi karena kemampuannya mencitrakan diri secara baik. Citra jelek bisa saja ditutupi dengan citra baik. Walau pernah tersandung kasus korupsi, tetap saja bisa menampakkan muka lugu dan innocent (tanpa dosa) menjadi kontestan pilkada.
Kemampuan bermimikri layaknya bunglon adalah ilmu wajib dengan jumlah sks penuh.
Rakyat Indonesia yang sebagai besar tingkat kesadarannya adalah naif bakal jadi bulan-bulanan pencari suara. Diimingi macam-macam, dijanjikan ini itu, dan seterusnya. Rakyat dibuat terkesima dengan segala macam retorikanya. Di kalangan rakyat kecil si kontestan akan sering bicara soal hak-hak wong cilik, di depan masyarakat dengan latar belakang religius dia akan berubah jadi pengkhotbah, di tempat lain dia jadi santa klaus yang membagi-bagikan bingkisan. Padahal kalau sudah terpilih ya sama saja, bikin kaya diri sendiri. Janji manis akan menguap begitu saja ke udara.
Kata orang, pemilihan langsung adalah kemenangan demokrasi. Dulu waktu jaman Jenderal Soeharto berkuasa, alih-alih ada pemilihan presiden atau gubernur secara langsung, orang belum mencoblos pun, Golkar sudah dipastikan menang dan sudah siap dengan calon presidennya. Sementara MPR jadi tukang ketok palunya. Sekarang sebaliknya, tidak pas rasanya jika tidak pakai pemilihan langsung. Walau akhirnya si kaum elit itu jadi lebih banyak mengurus kampanye ketimbang memikirkan bagaimana menyejahterakan rakyatnya.
Kita ini sudah terperangkap pada demokrasi prosedural. Demokrasi jadi murah meriah yang diobral ke sana kemari. Kalau dulu pemilihan umum hanya sekali dalam 5 tahun, sekarang ini malah tidak terhitung lagi. Di desa, di kabupaten/ kota, dan di tingkat propinsi ribut-ribut pemilihan langsung. Entah berapa banyak energi dan anggaran yang mesti disediakan untuk pesta demokrasi ini. Tapi sudahlah! Demi demokrasi.
Tapi apa iya pemilihan langsung selalu bisa membawa konsekuensi terpilihnya pemimpin yang cakap dan bisa membawa perubahan? Atau salah-salah malah kita dapat pemimpin yang salah seperti Durna? Ada teman yang berceloteh, siapapun yang terpilih sama saja, karena kita memilih yang terbaik dari pilihan yang buruk. Masak iya seperti itu?
Demokrasi bisa saja seperti pisau atau bisa seperti pistol. Pisau bisa untuk mengiris bawang, tetapi bisa juga untuk membunuh. Demikian pula pada pistol, yang bisa dipakai polisi untuk menangkap penjahat. Namun pisau dan pistol bisa juga dipakai penjahat untuk merampok. Sindhunata pernah mengibaratkan kelahiran demokrasi sama sakitnya dengan proses persalinan seorang ibu. Betapa sulitnya membangun demokrasi, karena di sana beragam persoalan bakal muncul.
Bagaimanapun ketika demokrasi dijalankan banyak perubahan (baik) yang kita rasakan. Namun yang saya takutkan kita ini terperangkap dalam euforia demokrasi, sehingga melupakan substansi dari demokrasi. Kalau dengan demokrasi justru rakyat makin miskin atau dengan demokrasi kita mendapatkan pemimpin yang buruk, kita perlu menimbang ulang demokrasi kita. Boleh jadi kita merasa apa yang sudah kita lakukan sebagai bagian dari demokrasi, tetapi sebenarnya yang kita lakukan hanya di kulit luarnya saja.
Ibarat membuat pecel, inginnya kita membuat pecel yang enak dan cespleng seperti bikinan bibi-bibi yang jarang dibicarakan dalam hajatan nasional, eh jadinya malah bubur pedas. Ada yang orang yang sejak awal telah berjuang keras supaya demokrasi bisa berjalan sesuai koridornya, eh di tengah jalan ada saja orang justru memanfaatkannya untuk kepentingan diri sendiri, perut sendiri, partai sendiri.
Kalo sudah terperangkap dalam kubangan ini! Duh susahnya! Rakyat banyak yang busung lapar, eh para elit sibuk cari suara. Rakyat banyak yang kelaparan, eh dia malah enak-enak safari ke mana-mana. Isu-isu kerakyatan bergeser ke isu-isu pilkada, partai-partai politik ramai-ramai bikin hajatan khusus menyongsong Pilkada. Kita sudah berdemokrasi? Ah pusing!
No comments:
Post a Comment