Oleh Heriyanto
Semua tentu menginginkan adanya perubahan yang lebih baik bagi bangsa ini. Ada sebungkah harapan, bahwa semua krisis yang melanda bangsa ini akan ”terobati”. Dari harapan-harapan ini, berbagai elemen bangsa berusaha mengadakan perubahan. Ada reformasi hukum, reformasi pendidikan, reformasi birokrasi dan sebagainya. Namun perubahan yang diharapkan masih jauh dari harapan. Jauh panggang dari api. Ada pula yang sekadar ikut-ikutan.
Melahirkan demokrasi memang bukan hal yang mudah. Demikian pula untuk mencapai perubahan ke arah lebih baik. Ada berbagai rintangan yang menghadang. Soal orang-orang lama yang masih ingin situasi seperti yang dulu. Soal sistem yang masih karut marut, dan beragam masalah lain yang belum selesai. Kaum status quo merasa tidak aman. Mereka takut dikejar-kejar akibat dosa lama mereka. Betul saja karena berubah itu sakit. Dan karena menyakitkan, tidak semua orang bisa menerimanya. Keinginan saja tidak cukup. Butuh tenaga yang lebih besar untuk mencapainya, juga butuh tenaga pendorong yang kuat.
Di alam yang mengarah demokrasi saat ini, menduga-duga dan menaruh curiga tentu boleh-boleh saja bukan? Dan tentu saja tidak ada lagi pasal karet yang bakal memenjarakan orang yang melakukannya. Karena itu saya pikir tidak ada salahnya jika kali ini saya yang menaruh curiga.
Suatu ketika ada diskusi antara beberapa teman aktivis LSM dan beberapa jurnalis lokal di Kalbar. Mengemuka sebuah kajian bagaimana membangun gerakan sosial yang lebih manjur dengan sinergisitas gerakan antara tiga komponen, yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), jurnalis, dan akademisi perguruan tinggi.
Hal ini dilandasi kenyataan bahwa setelah krisis ekonomi, Indonesia tertatih-tatih menuju perbaikan, sementara penyelenggara negara masih banyak yang integritasnya bobrok. Mereka yang justru memanfaatkan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara itu penegakan hukum yang begitu urgen masih jauh dari harapan. Karena itu, dibutuhkan komponen pendorong supaya sistem yang bekerja bisa bekerja lebih baik. Kepada tiga komponen tadilah harapan itu.
Jika sinergisitas ini dianalogikan seperti sepakbola, maka ada semacam kerjasama antara para pemainnya yang pada akhirnya bertujuan untuk menciptakan sebuah gol. Barangkali akademisi dengan kekuatan analisis, teori, dan keahlian di bidang masing-masing bisa menjadi salah satu tenaga penggerak dan pertahanan. Energi yang dimiliki para intelektual kemudian dilanjutkan oleh aktivis LSM pada bagian tengah, dan baru kemudian giring para jurnalis sebagai penyerang sehingga mampu menghasilkan gol spektakuler. Ketika tiga komponen ini bisa searah, dengan berbagai strategi yang sinergis, isu atau agenda yang dijalankan bisa mencapai target yang diharapkan. Jadilah mereka tiga pendekar.
Pemikiran tentang sinergisitas ini barangkali didasari sebuah kenyataan bahwa selama ini, gerakan-gerakan yang dibangun, baik oleh aktivis LSM, jurnalis, maupun akademisi, terkesan berjalan sendiri-sendiri. Akademisi asik masuk di dalam kampus, LSM ”perang” sendirian, dan para jurnalis malah dibiarkan tanpa teman. Padahal sebenarnya, masing-masing sudah punya satu tujuan yang hampir sama menciptakan kondisi masyarakat yang lebih baik.
Namun di antara ketiga komponen itu, yang dirasakan kurang greget aksinya adalah akademisi. Sementara yang cukup banyak bergerak justru di kalangan LSM dan jurnalis. Sebagai kekuatan analisis, akademisi perguruan tinggi masih jauh dari harapan dan cenderung menjauh. Pandangan ini berdasarkan sebuah pemikiran bahwa selama ini para akademisi lebih banyak berdiam diri. Gerakan yang dibangun oleh para aktivis LSM dan kemudian diteruskan oleh jurnalis kebanyakan patah ditengah jalan ketika tidak ada kekuatan peyokong dari kaum akademisi. Jika pun ada nama-nama akademisi yang bisa diandalkan, itu tidak lebih dari hitungan jari. Dengan tidaknya sinergisnya gerakan itu, misalnya tidak adanya sebuah gerakan bersama yang terencana dan punya strategi jitu, gerakan sosial yang dibangun pun tak punya kekuatan yang menggigit.
Padahal tidak ada lembaga yang melebihi perguruan tinggi untuk soal banyaknya akademisi dan cerdik pandai di dalamnya. Perguruan tinggi bolehlah disebut sebagai sarangnya kaum intelektual. Tidak sedikit yang bergelar doktor dan profesor di dalamnya. Mereka berasal dari berbagai disiplin ilmu dengan tingkat kepakaran masing-masing. Ada yang ahli politik, ahli pertanian, ahli kehutanan ahli hukum, dan sebagainya. Idealnya, dengan situasi ini ada satu kekautan besar dalam soal pemikiran atau pemecahan masalah-masalah yang sedang mendera bangsa ini. Jika kaitannya dengan soal reproduksi ilmu pengetahuan, perguruan tinggi itu seyogyanya ini adalah makanan sehari-hari. Tentu ini dengan satu pemikiran, dengan semakin banyaknya penguasaan atas berbagai macam teori-teori yang bisa menjadi landasan untuk pemecahan masalah yang dihadapi bangsa.
Umpan matang dari para akademisi sangat dibutuhkan dalam membangun gerakan-gerakan kebudayaan misalnya, atau gerakan-gerakan intelektual. Sebagaimana juga kita ketahui bahwa selama ini akademisi belum menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya.
Persoalannya para penguasa sering merayu kaum intelektual itu untuk mengegolkan kebijakan-kebijakannya. Kaum intelektual menjadi alat legitimasi kekuasaan, supaya apa yang mereka lakukan itu bisa diterima oleh masyarakat luas. Saya masih ingat ketika kebijakan kenaikan BBM diputuskan oleh pemerintahan SBY, sebagian kaum akademis dengan teori-teorinya kemudian menjadi pemikir utama untuk pengambilan kebijakan itu. Kemudian disajikan pula argumentasi-argumenasi ilmiah yang meyakinkan bahwa kebijakan pemerintah itu adalah keharusan.
Barangkali masih ingat dengan LPEM UI melakukan propagandanya dengan menurunkan berbagai hasil kajian. Ternyata kemudian hasil kajian dan analisi itu bertolak belakang. Sebut saja misalnya soal angka kemiskinan dan pengangguran. Disebutkan ketika awal kenaikan BBM dengan berbagai argumentasi dijelaskan bahwa kenaikan BBM bisa menurunkan angka pengangguran, namun setelah beberapa waktu, angka kemiskinan ternyata semakin meningkat. Tidak seperti yang diprediki oleh akademisi yang menjadi arsitek kebijakan pemerintah tersebut. Di sinilah kecurigaan saya muncul.
Namun demikian saya coba menepis kecurigaan itu dan berbaik sangka, ”Bukankah masih banyak kaum intelektual yang punya kredibilitas? Masih banyak pula kaum intelektual yang terus berjuang untuk perbaikan bangsa ini?” Namun mereka bergerak sendiri-sendiri, yang barangkali tidak cukup, karena yang dihadapi begitu besar.
Sinergisitas gerakan yang maksudkan di atas barangkali bisa menjadi satu masukan bagi tiga komponen tadi untuk terus melangkah. Dan nanti bila mereka bisa solid, akan banyak kekuatan pendukung lain yang bakal jadi sahabat! Semoga!
No comments:
Post a Comment