Oleh Heriyanto
Perang di mana-mana akan menghasilkan tangisan, penderitaan, horor, dan buih kekalutan. Kepala tertunduk lesu, darah berceceran di mana-mana, gedung-gedung hancur dalam hitungan detik, dan suara teriakan-teriakan bernada pilu yang mengisi ruang-ruang kehidupan manusia. Anak-anak, ibu-ibu, dan orang-orangtua yang akhirnya paling banyak jadi korbannya. Bara dendam, dan kebencian pun menjadi sambungan ceritanya.
Sepertinya antara hidup dan kematian itu begitu tipis sekali bedanya. Siapa yang akan mampu merasakan pilu yang dialami oleh seorang ibu yang kehilangan 3, 4, atau 5 anak, serta suaminya sekaligus? Ibu itu adalah korban. Dan sebagaimana korban-korban lain, dialah yang menerima penderitaan atas apa yang tidak ia lakukan. Barangkali ia hanya mampu memprotes lewat tangisan.
Kematian boleh jadi merupakan sesuatu yang mahal dan sakral, akan tetapi bisa, boleh jadi, disebabkan oleh alasan yang banal, ringan. Inilah kematian yang sia-sia, kematian yang menyakitkan, tetapi oleh peristiwa yang sangat sederhana dan biasa. Inilah banalitas kematian — seperti disebutkan Yasraf A Piliang dalam bukunya Transpolitika—dalam konteks industri persenjataan global (war machine) yang keberlanjutan industrinya hanya dimungkinkan bila selalu ada kebutuhan pemusnahan, artinya selalu ada produksi kematian.
Perang sama saja dari dahulu, sejak zaman pra sejarah hingga saat ini; sejak masa barbarian hingga masa ketika orang menyebut-nyebut dan mengangung-agungkan demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Ceritanya sama, gerakannya sama, motifnya sama, dan korbannya juga sama. Bedanya, hanya dengan cara apa manusia versus manusia itu saling bunuh. Makin pintar manusia, makin canggih teknologi yang dipakai untuk membunuh. Kemampuan senjata yang terus disempurnakan, jarak jelajah rudah-rudal Katyusha yang terus ditingkatkan, dan penggunaan senjata anti rudal yang terus berkembang. Pun itu masih ditambah mereka yang sembunyi-sembunyi mengembangkan senjata pemusnah massal. Ribut-ribut soal senjata nuklir dan pemusnah massal sekaligus menandakan bahwa bayang-bayang horor mengerikan tentang kematian masih akan terus menghantui umat manusia di bumi ini.
Kini untuk memusnahkan musuh tak lagi harus berhadapan-hadapan, juga tak perlu kebal-kebalan kulit atau mengandalkan tiupan mantra-mantra magis, cukup berada di ruang monitor, dengan mengatur kode-kode tertentu, mencari target, menguncinya dan kemudian memencet tombol. Meluncurlah, kemudian, rudal-rudal jelajah jarak jauh. Moncong rudal itu tidak akan memilih sasaran, juga tidak menghindari anak-anak kecil yang sedang bermain, masjid ketika orang sedang beribadah, jembatan saat orang lewat, atau ketika orangtua menggendong anaknya. Semua sama saja di hadapan moncong rudal itu.
Sejak dahulu kala ketika masa barbarian hingga sekarang ini, perang terus mewarnai kehidupan manusia. Tampaknya perebutan kekuasaan, harta, dan kejayaan, menjadi penyebabnya. Faktor geopolitik dan ideologi menjadi sebab lain. Ada semacam jiwa keserakah manusia yang senantiasa menjadi semacam pembakar bagi manusia untuk menguasai manusia lainnya. Bagi Thomas Hobbes inilah yang disebut Leviathan, sosok monster yang menakutkan dan menyeramkan.
Kekayaan, kehidupan yang lebih baik dan impian untuk menjadi superior dari bangsa yang lainnya membuat mereka tak segan untuk membawa senjata. Apa yang disebut dengan gold, glory, dan gospel, misalnya, pernah menjadi semacam penyemangat bagi bangsa-bangsa Eropa untuk menjelahi dunia dan kemudian melakukan ekspansinya, menguasai negara-negara lain.
Tapi orang boleh mengatakan apapun soal perang, orang boleh berdemo, dan orang orang boleh tidak setuju. Namun faktanya perang tetap saja terjadi. Mengapa? Karena ada yang diuntungkan dari perang itu. Semua yang dilakukan oleh manusia ada kaitannya dengan motif. Demikian pula ketika Hesbollah menyandera 2 tentara Israel dan kemudian Perdana Menteri Israel Ehud Olmert yang berang atas tindakan itu selanjutnya memuntahkan rudal-rudal Israel ke Lebanon. Pun demikian dengan George W Bush yang dengan serta merta dan senang hati membela dan membantu Israel. Masih adakah keikhlasan? Mungkin ada tapi kadarnya yang semakin menipis. Yang jelas ada motif, sekenario, dan sesuatu di balik itu. Apakah orang dengan tega membunuh manusia lain tanpa ada dorongan apapun?
Saya kira, selain bentuk harga diri, ada yang diuntungkan dari sebuah perang yang sedang berkecamuk. Apapun namanya, bagi mereka yang terlibat perang akan selalu membutuhkan persenjataan. Membutuhkan amunisi, membutuhkan tank-tank, dan juga membutuhkan pesawat-pesawat yang kian hari menjadi sangat canggih.
Siapa yang akan diuntungkan? Jelas yang memproduksinya. Orang akan dengan serta merta mampu menjawab siapa sebenarnya yang mampu memproduksinya. Amerika punya pabrik senjata, bahkan terbesar di dunia. Untuk apa diproduksi jika hanya menjadi pajangan? Bisnis senjata di Amerika sama saja seperti bisnis roti, bisnis baju, atau produk lainnya, yang tentu saja tujuannya memperoleh keuntungan. Dan untuk laku, harus ada yang membelinya. Dan bukankah tidak ada satu negara pun yang tidak butuh senjata?
Dengan mudah ciptakan saja isu terorisme, misalnya, atau buat saja ketegangan di berbagai kawasan, akan ada sejuta alasan untuk kemudian memuntahkan sebagian amunisi itu. Semakin banyak senjata yang diperlukan akan semakin banyak senjata yang dibeli. Dan setiap orang membeli di situ ada uang, dan keuntungan. Dan di situlah kepentingan bisnisnya muncul. Siapa yang peduli dengan jatuhnya korban ketika bisnis, uang, dan keuntungan yang berbicara?
Bagi Pilliang, rezim kebenaran (seperti misalnya rezim Bush), yang memproduksi imajinasi tentang sebuah tata dunia baru yang demokratis, aman, dan manusiawi, yang harus dibebaskan dari ancaman, khususnya terorisme. Rezim kebenaran itu dengan kekuasaan yang dimilikinya mendefinisikan apa yang disebut demokratis, damai, manusiawi, dan teroris itu, sambil secara apik menyembunyikan relasi kekuasaan, berupa kehendak untuk secara sepihak menguasai dunia itu sendiri berserta sumber-sumber kekayaannya. Pertanyaan saya, setelah Afghanistan, Irag, dan terakhir Lebanon, negara mana lagi yang akan jadi korbannya?
Penulis, Mantan Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Universitas Tanjungpura
No comments:
Post a Comment