oleh: Heriyanto dan Dedy Armayadi
Sanusi membuka kotak koloni lebah madu itu. Sambil mengibas-ngibaskan potongan karung goni yang berasap, tanpa rasa takut ia mengangkat sarang lebah. Begitu keluar dari kotak, sebagian lebah-lebah pun beterbangan. “Jangan ditepis,” serunya ketika lebah-lebah itu mengarah ke wajah kami yang akan mengambil gambar.
Sarang itu tampak hitam dipenuhi lebah. Pada beberapa tempat yang tak dihinggapi lebah terlihat madu yang berwarna kecoklatan. Hanya dibagian atas sarang saja yang terlihat putih dengan lubang-lubang kosong. “Kalau sarangnya sudah membungkus madunya, itu berarti boleh dipanen,” jelas Sanusi seraya menunjuk sarang yang diangkatnya itu.
Kemudian Sanusi mematahkan sedikit sarang berisikan madu, lalu ia berikan kepada kami. “Ayo dimakan,” serunya. Dan kami pun merasakan madu itu.
Bagaimana rasanya ? “Ehm..., manis seperti paras Dian Sastro,” kata Dedy bercanda. Kami pun tergela.
***
Sanusi adalah seorang peternak lebah madu “Istana Lebah”, Sungai Kunyit, Kabupaten Pontianak. Ia membudidayakan lebah di halaman rumah dan di ke-bunnya. Kotak-kotak berukuran kurang lebih 60 cm x 40 cm berisi koloni-koloni lebah dari jenis lokal (Avis cerana) ia letakkan di 4 titik rumahnya yang berada di Jalan Manunggal XIII No 1 RT 01 RW 02 Sungai Kunyit. “Sebagian saya taruh kotak di kebun,” ungkap Sanusi yang saat ini memiliki 25 kotak koloni lebah, di mana dalam satu koloni berisikan sekitar 10.000-20.000 lebah.
Pria yang juga guru di sebuah Sekolah Dasar Negeri Sungai Kunyit ini menggeluti budidaya lebah madu sejak tahun 1983. Kemampuannya membudidayakan lebah datang dari orangtuanya. Orang-tuanya sendiri adalah perintis usaha perlebahan madu di daerahnya.
Menurut Departemen Kehutanan (2001), di Indonesia usaha perlebahan madu meliputi tiga jenis lebah, yaitu budidaya lebah jenis lokal (Apis cerana), jenis lebah Eropa (Apis mellifera), dan pemungutan madu lebah hutan (Apis dorsata).
Di Kalbar, yang lebih banyak adalah pemungutan madu lebah hutan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan, seperti masyarakat di kawasan Taman Nasional Danau Sentarum, Kapuas Hulu. Sementara budidaya lebah madu seperti yang dilakukan Sanusi tidak terlampau banyak.
Menurut Sanusi lebah yang dapat dibudidayakan di Kalbar hanya jenis Apis cerana. Sedangkan lebah jenis lebah Eropa sulit dibudidayakan di Kalbar. “Saya pernah mencoba membawa dan mengem-bangkan beberapa koloni lebah madu itu dari Jawa, namun hasilnya gagal. Le-bahnya tidak mampu menyesuaikan de-ngan kondisi di sini,” kata Sanusi.
Dalam pengembangan lebah madu, Sanusi mengakui terdapat beberapa kendala. Misalnya saja ketika tanaman bunga atau pohon yang menjadi pakan lebah mulai berkurang. “Madu ada, jika ada bunga, “ kata Sanusi.
Dahulu sekitar tahun 1980-an sampai 1990-an, banyak sekali pohon rambai di sekitar rumahnya. Waktu itu boleh dibilang masa jaya-jayanya mendapatkan madu. “Sayangnya rambai saat itu tidak laku dijual dan kurang menghasilkan, sehingga orangtua saya menebangi pohon-pohon itu. Sejak saat itulah madu tak banyak lagi,” kata Sanusi. Kini, di sekitar rumahnya hanya terdapat buah kelapa. Madu yang dihasilkan tak lagi banyak.
Selain itu, ada satu hal yang memang persoalan remeh, tapi sangat berpengaruh dalam pengembangan lebah madu, khususnya bagi pemula. “Banyak di antara pemula yang saya bina kemudian berhenti karena tidak tahan dengan sengatan lebah. Bagi orang yang sudah lama sih tidak masalah, karena sudah terbiasa, tetapi bagi mereka yang baru, itu sangat berat,” papar Sanusi.
Soal pemasaran, Sanusi tidak menemui kendala karena banyak sekali permintaan madu. Bahkan ia sering ke-habisan stok. Banyak pembeli yang da-tang kepadanya untuk mencari madu asli. “Kalau jual madu gampang, mereka datang sendiri cari madu asli. Dalam sebulan bisa 10 orang cari madu ke sini, cuma kadang stok madunya ndak ada,” ujar Sanusi.
Satu botol volume 650 ml ia jual Rp 100.000 per botol, sedangkan untuk 150 ml madu harganya Rp 30.000 per botol. Jika dibandingkan dengan harga di pa-saran, harga jual madu Sanusi ini tergolong mahal. Di pasaran, seperti yang dijual di pasar Swalayan dan mal Ma-tahari, serta di kios-kios di sekitar PSP, harga madu untuk volume 650 ml paling tinggi Rp 55.400 per botol.
Dalam sebulan paling sedikit Sanusi menjual 2 botol madu atau memperoleh Rp 200.000. Pada bulan Desember-Januari, saat banyak bunga bermekaran, pendapatan madu bisa mencapai sejuta lebih.
Selain membudidayakan Lebah Madu, Sanusi juga sering menjadi pelatih dan fasilitator. Dari berbagai daerah di Kalbar pernah datang ke tempatnya untuk berlatih membudidayakan madu. “Mereka ingin mengembangkan budidaya lebah. Pernah datang ke sini dari Kabupaten Kapuas Hulu, Sanggau, Bengkayang, Ketapang, Pontianak dan Sambas, mereka belajar bagaimana membudidayakan lebah madu,” kata Sanusi yang pernah magang di Pusat Perlebahan Nasional, Parung Panjang, Bogor tahun 1996 dan di Istana Lebah Kab Batang, Semarang tahun 2001.
Setiap pelatihan pembudidayaan madu, yang menjadi fassilitator hanya Sanusi sendiri. Sedangkan peserta yang datang merupakan masyarakat dari berbagai kabupaten di kalbar yang diba-wa oleh Unit Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA), atau Unit Taman Nasional. “Kalau pulang mereka (peserta-red) biasanya membawa 15-60 koloni lebah untuk dibudidayakan,” ungkap Sanusi. Tapi, kendati peserta pelatihan tersebut telah membawa koloni lebah madu, sampai sekarang tidak terdengar kabar bagaimana pembudidayaan madu di daerah-daerah.
Selain sebagai tempat pelatihan, di lokasi pembudidayaan lebah madu Sanusi juga sering menjadi tempat penelitian mahasiswa. “Mahasiswa yang sering meneliti di sini dari Fakultas Kehutanan Untan,” ungkap Sanusi.
***
Upaya-upaya yang dilakukan oleh Sanusi ini bisa menjadi pilot projek pengembangan hasil hutan bukan kayu. Madu, di samping sumber hutan bukan kayu lainnya seperti rotan, tumbuhan obat, getah, dan lainnya, bisa menjadi alternatif sumber pendapatan ekonomi masyarakat.
Menurut data Departemen Kehutanan pada tahun 2001, kebutuhan madu di Indonesia diperkirakan lebih dari 2.200 ton pertahun, yaitu untuk memenuhi kebutuhan berbagai industri, misalnya, jamu, industri farmasi, kosmetik, dan makanan dan minuman. Di negara-negara maju, seperti Jepang, tingkat konsumsi rata-rata 700 gram/orang/tahun; di negara-negara Eropa, tingkat konsumsinya rata-rata 1.000 gram/per orang/ pertahun. Kondisi ini membuka peluang masyarakat dalam pengusahaan madu, baik untuk konsumsi lokal maupun ekspor.
Sebelum pamitan pulang Sanusi sempat memberikan sebuah pesan, “Usaha madu itu bisnis yang menjanjikan, apalagi saat bunga-bunga bermekaran.” [].
3 comments:
apa pk sanusi masih ternak lebah sampai sekarang..?
Berapa harga madu perliter nya ya?
Post a Comment