Oleh: Heriyanto
Ini pekerjaan yang sering dilakukan pejabat: hadir dalam suatu acara-acara simbolis untuk merayakan citra. Dulu kita sering melihat di televisi senyum Pak Harto mengembang dalam suatu acara simbolis pembukaan panen raya atau acara simbolis lain. Para pejabat lain pun ikut mendampingi. Di samping Pak Harto hadir beberapa menteri dan gubernur tempat acara itu berlangsung. Para pengganti Pak Harto pun melakukan hal yang sama: meresmikan secara simbolis penanaman pohon untuk penghijauan, acara simbolis bersih-bersih sampah, acara simbolis pengentasan kemiskinan, dan sebagainya.
Belakangan ini ketika Pilkada sedang hangat-hangatnya, acara-acara simbolis itu semakin marak. Pelakunya, para kontestan Pilkada. Jadilah para calon pejabat itu tukang potong tumpeng, pemutus pita, pemencet sirine atau pemukul gong. Fenomena lain adalah maraknya politikus yang jadi ustadz, gubernur yang hobi safari, dan ada anggota DPR yang sering bikin iklan di koran. Sebagian lain rajin membagi-bagikan sembako dan paling sibuk menghadiri acara-acara yang ramai massanya, diliput media dan besoknya akan terpampang di halaman koran.
Melihat fenomena ini saya teringat istilah yang cantik dari Yasraf A Piliang (2005): nomadisme politik. Istilah dalam buku Transpolitika ini bisa diartikan kecendrungan politik yang tidak tetap, perilaku aktor-aktor politik yang berubah-ubah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu bentuk ke bentuk lain, dari satu identitas ke identitas lain. Tentu saja perubahan ini tergantung kepentingannya.
Sampai di sini ada dua kata kunci yang akan kita bahas. Pertama, soal citra pejabat di depan publik. Kedua soal kemampuan media massa dalam menyampaikan realitas. Pertanyaannya, apa itu citra? Dan apakah media mampu menggambarkan realitas secara penuh?
Perlu kita pahami bahwa apa yang kita ketahui soal perkembangan dunia di luar lingkungan terdekat kita sebagian besarnya adalah konstruksi atau bentukan dari media (koran, radio, internet, atau televisi) yang kita baca, dengar, atau tonton. Walaupun ada juga yang kita dapatkan secara langsung berdasarkan pengalaman sehari-hari. Gambaran kita pada sosok presiden SBY misalnya, sebagian besar adalah apa yang disampaikan media. Atau soal remeh temeh gaya batuknya mantan presiden Soeharto juga kita ketahui dari media massa (televisi). Coba ingat, dulu di TVRI, Pak Harto selalu mendehem sebelum berpidato. Kita yang di Pontianak ini tahu tentang kelakuan para pejabat di Jakarta, juga dari media massa. Tapi, ups. Kelakuan pejabat di Kalbar juga kebanyakan kita tahu dari media massa.
Dalam contoh di awal paragraf, Pak Harto juga para kontestan calon gubernur boleh dibilang sedang membangun citra. Citra ini diperlukan untuk pengesahan bahwa dia layak mendapat tempat di masyarakat. Bagi calon pejabat hal ini dilakukan untuk memikat pemilihnya, bagi para mereka yang sudah menjabat ini dilakukan agar dianggap baik, pedulian, dan mengerti masalah rakyat.
Barangkali betul, bahwa kita sudah dikepung dunia citra. Dunia citra sangat didukung adanya media massa. Yang kita lihat di media massa bisa jadi adalah representasi dari dunia realitas, namun boleh jadi- ini yang lebih sering- hanya menggambarkan ujung pendek dari realitas. Dengan memakai kajian hermeneutika, kita biasanya sering bicara soal teks dan konteks (realitas). Pertanyaan yang sering diajukan, apakah dunia teks itu mampu merepresentasikan sebuah realitas secara keseluruhan?
Di media kita mengenal istilah simulakrum. Sederhananya, ada bagian-bagian dari realitas yang hilang, sehingga bisa jadi sebenarnya yang ditampilkan oleh media, hanya sepertiga, seperenam, sepersepuluh, dan seterusnya, dari realitas yang ada. Dengan demikian apa yang kita pahami pun tak akan sepenuhnya sama dengan realitas yang terjadi, tergantung bagaimana media menyampaikannya.
Dalam pencitraan tertentu di situ diperlukan adanya simbol, baik itu simbol-simbol agama, ideologi, etnis dan lain-lain. Di Indonesia yang paling sering dipakai adalah simbol-simbol keagamaan. Simbol-simbol ini mampu memberikan reaksi yang besar bagi penganutnya. Sensifitas keagamaan memang sering dimanfaatkan dalam membangun pengaruh. Makanya jangan heran bila para kontestan Pilkada akan berubah menjadi pengkhotbah, ceramah di sana sini, meskipun mereka sebenarnya bukan seorang penceramah. Dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan- dalam Islam misalnya kopiah, sarung, dan baju koko- mereka akan mencitrakan diri sebagai orang yang taat beragama. Kita dan sebagian dari kita barangkali akan terkesima dengan penampilan itu.
Tujuannya jelas, siapa yang mampu menguasai dunia citra dan simbol diyakini akan mempunyai satu kekuatan, yang oleh Antonio Gramcy disebut sebagai hegemoni makna. Sebuah kekuatan yang bisa mempengaruhi orang lain namun dengan tanpa disadari karena pengaruh ini berjalan begitu halus. Anda mungkin tidak perlu berbicara secara langsung dengan seseorang namun anda tetap dapat mempengaruhinya dengan menggiring apa yang dipikirkannya. Hegemoni oleh Gramcy dianggap sebagai sebuah kekuatan besar. Dengan hegemoni pikiran orang bisa diarahkan pada tujuan tertentu. Ini semacam bentuk komunikasi yang sangat modern dikembangkan oleh berbagai tokoh dalam mempengaruhi kekuatan kekuatan massa. Ini sangat dimungkinkan terjadi dengan semakin berkembangnya dunia media. Namun yang sangat berbahaya bila ada manipulasi kenyataan yang ujung-ujung menjadi kebohongan publik.
Dalam pandangan kritis, suatu realitas tidak sepenuhnya bisa tergambarkan oleh sebuah media. Sebuah pantulan dan tampilan yang diciptakan sangat baik, sehingga terkesan itu seperti alami dan menghasilkan kesan yang baik pula. Seorang gubernur atau calon gubernur membagikan sumbangan ke masjid atau hajatan dengan mengundang anak yatim piatu dari suatu ke panti asuhan, misalnya. Media pun kemudian memuatnya menjadi sebuah berita.
Kita tentu sering menyaksikan di media seorang gubernur X atau pejabat Y melakukan acara simbolik, misalnya saja penanaman pohon, acara panen raya dengan hasil pertanian yang melimpah, atau penyematan pin anti KKN. Para pejabat itu ingin menampilkan sebuah citra yang baik dan kemudian dilihat oleh masyarakat. Pencitraan diri sendiri oleh para pejabat melalui media massa yang ingin menghela opini publik tentang si pejabat. Simbol-simbol dimainkan, ucapan-ucapan manis digunakan untuk merangkul rakyat, dan janji-janji untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dilontarkan.
Di sana hadir dunia citra bahwa mereka itu orang yang baik. Di sisi lain, segala keburukan mereka akan coba sebisa mungkin untuk ditutupi. Itu artinya citra-citra tersebut tidak menggambarkan yang sesungguhnya, melainkan reduksi atas realitas.
David Mc Clelland menyebut tiga hasrat/ keinginan untuk menilai sikap atau orang atau pihak tertentu. Dari penelitiannya dia mengenalkan istilah need for achievement (keinginan untuk berprestasi), need for affiliation (keinginan untuk bersahabat, berkasih sayang, popular, dan disukai orang banyak), dan terakhir need for power (keinginan berkuasa).
Belakangan, need for power itu yang ternyata lebih banyak mendominasi para pemain politik di negeri ini. Bahayanya bila mereka menghalalkan segala cara untuk meraih jabatannya. Namun kita tidak serta merta bisa mengetahuinya, karena mereka selalu mencitrakan diri dengan sangat baik. Istilahnya, serigala memakai topeng domba.
Nah dengan pemahaman ini sebenarnya ada satu hal yang bisa kita waspadai, bahwa mereka yang tampil baik di media bisa jadi sebaliknya adalah orang yang senantiasa melakukan kebohongan di belakangnya. Bahwa apa yang kita lihat di media bisa jadi kebalikan dari kenyataan sebaliknya adalah sesuatu keniscayaan. Maka ketika nantinya kita memilih, memilihlah dengan hati-hati. Bukankah dalam politik yang abadi hanya kepentingan? Emangnya mau memilih serigala yang bermuka domba? Ha..ha..**
No comments:
Post a Comment