Oleh Heriyanto
Membicarakan pemberantasan buta huruf, saya teringat pernyataan Ny Saheen Attiq-ur Rahman --seorang aktivis yang telah bergelut puluhan tahun dalam gerakan pemberantasan buta huruf di kalangan perempuan miskin di Pakistan-- di Harian Kompas 28 Januari 2005 lalu. Ia berkata, “Sebelum berbicara masalah pemberantasan buta huruf, pikirkan dulu bagaimana bisa menyediakan air bersih.”
Sebagian wanita Pakistan menghabiskan sebagian besar waktu dan tenaganya untuk mencari air bagi kebutuhan keluarganya. Hal ini berakibat pada sulitnya mereka menyisihkan waktu dan tenaganya untuk belajar baca tulis. Dengan menyediakan air bersih lebih dahulu, barulah mereka (kaum wanita) bisa menyisihkan waktu dan tenaga untuk belajar baca tulis.
Saya menangkap makna lebih dari pernyataan itu. Bahwa, ada hal yang perlu didahulukan pemenuhannya, sebelum berbicara masalah pemberantasan buta huruf. Dalam konteks Indonesia, pernyataan Saheen memang tidak bisa mentah-mentah kita pakai. Tidak perlu diperdebatkan melimpahnya sumber daya air di Indonesia. Tapi, konteks air bagi penduduk Pakistan bisa disamakan dengan konteks berbeda yang ada di negara-negara berkembang: kelaparan, kemiskinan, sulitnya akses pendidikan, PHK, dan sebagainya.
Pemahaman tentang Buta Huruf
Berbicara masalah buta huruf, hampir semua orang cenderung memahaminya (melulu) berkenaan dengan kemampuan baca tulis huruf latin. Kemampuan ini penting untuk menyerap berbagai informasi yang diperlukan agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Tujuan akhirnya adalah peningkatan kemakmuran hidup. Dengan angka buta huruf tinggi, maka akan semakin sulit tercapai kemakmuran hidup itu. Karena itu, buta huruf perlu diberantas. Pemerintah pun membuat berbagai program. Misalnya, kerjasama antara Depdiknas Kalbar dan FKIP Untan yang “menerjunkan” para mahasiswa untuk mengajar baca tulis di daerah-daerah yang masih terdapat buta huruf di sana.
Namun dalam prakteknya, hal ini menjadi sangat teknis sekali. “Tidak bisa baca tulis, maka harus diajari baca tulis.” Padahal, berbicara masalah buta huruf, tidak sekadar pada persoalan kemampuan baca tulis belaka, melainkan juga berbagai hal lain yang menjadi penyebabnya, misalnya lingkaran kemiskinan dan sulitnya akses pendidikan bagi kaum miskin. Bisa dipahami bahwa mereka yang buta huruf kebanyakan keluarga miskin yang sulit mengakses pendidikan. Dan ini akan menjadi semacam siklus, yang akan terus berulang.
Kita sepakat bahwa pemberantasan buta huruf adalah hal yang penting. Namun memahami secara mendalam berbagai persoalan lain tersebut jauh lebih penting. Apa yang dikatakan Saheen benar, selama penghambatnya masih belum diatasi, buta huruf juga akan sulit diatasi.
Saya kira lucu, bila mereka yang sudah tua--yang sangat tidak familiar dengan huruf-- itu diajari baca tulis, sementara mereka harus memikirkan bagaimana mengisi perut mereka esok. Dan diantara mereka ada yang mesti bekerja ekstra, pagi, siang, bahkan sampai malam. Pertanyaannya, “Dengan kondisi itu, mampukah mereka menguasai baca tulis?” Bukankah memori mereka sudah sangat sulit untuk menghafal huruf-huruf alphabet itu. Jauh berbeda dengan anak SD yang memang daya serapnya masih sangat kuat.
Atau, katakanlah mereka bisa baca tulis walaupun terbata-bata, namun apa pentingnya kemampuan itu bagi mereka di usia tua. Toh mereka akan terbentur pada persoalan bagaimana bisa bertahan hidup.
Dengan melihat lebih dalam persoalan buta huruf, kita seharusnya tidak memandangnya secara pragmatis jangka pendek. Apalagi jika lebih sebagai proyek dan “pemadam kebakaran”. Proyek selesai, program pun selesai. Kelompok-kelompok baca tulis yang didirikan pun ikut bubar juga. Selesaikah dengan itu semua?
Fokus pada Anak Usia Sekolah
Ada sebuah harapan, generasi kini lebih baik dari generasi sebelumnya, generasi orangtua. Dan generasi berikutnya lebih baik dari generasi kini. Maka itu, saya mengusulkan, program pemberantasan buta huruf lebih ditekankan bagi peningkatan mutu anak-anak usia sekolah.
Banyak anak-anak yang kini tidak mampu mengenyam pendidikan karena masalah kemiskinan. Negara yang berpikiran ke depan, akan menyediakan fasilitas pendidikan lebih memadai yang bisa dengan mudah diakses anak-anak miskin itu. Dengan ini kita bisa memutus siklus buta huruf.
Metodenya tidak berarti harus sama dengan sekolah formal. Bisa disesuaikan dengan kondisi lingkungan anak-anak itu. Di lingkungan pemulung misalnya, programnya berbeda dengan anak-anak nelayan, demikian pula sebaliknya.
Mereka tidak hanya diajari membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan lain lain yang dapat berguna untuk masa depannya.
Sasarannya tidak untuk saat ini, tetapi lima, sepuluh, atau dua puluh tahun mendatang, Indonesia bisa bebas buta huruf dan juga punya SDM yang berkualitas.
Sementara bagi mereka yang sudah tua, lebih baik difasilitasi agar mampu memberdayakan segala potensi yang mereka miliki, bukan sekadar diajari baca tulis belaka. Juga memberikan pemahaman kepada mereka akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya.
Terakhir, semua pihak mesti menyamakan persepsi bahwa masalah buta huruf adalah masalah bersama. Karena itu, pemecahannya bukan hanya urusan pemerintah saja, tapi kita semua.
*) Relawan di Sekolah Anak Merdeka Waduk Permai
No comments:
Post a Comment