Oleh Heriyanto
Hari begitu panas ketika di suatu siang Afrizal bertemu seorang Gadis Berkerudung di depan masjid Kampus Margaraya Hijau, kampus terbesar di kota Hijau. Afrizal mematung saja. Termangu. Ia mengenal benar gadis itu, namun biasanya dalam penampilan berbeda. Kontras sekali dengan saat itu. Gadis berkerudung itu adalah Nur Dian Sari, teman kampusnya.
Sudah beberapa bulan ini Afrizal tak pergi ke kampus. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di sebuah lembaga Non Government Organisation dan juga di sekolah alternatif untuk anak-anak jalanan. Selama waktu itu ia tidak pernah bertemu lagi dengan gadis itu.
Soal kerudung itu Afrizal benar-benar serius. ”Sejak kapan kau berkerudung?” tanya Afrizal. ”Untuk apa kau tanya itu bila engkau hanya ingin mendikteku?”
” Waktu itu begitu penting Nur. Dari mengetahuinya aku bisa merangkai kaitan antara dulu, sekarang dan bagaimana dengan masa depan.”
”Sebuah perbuatan selalu ada kaitannya dengan motivasi. Dan dengan mengetahui motivasi itu aku bisa mereka-reka sesuatu kesimpulan tentangmu.”
”Kau ingat Afrizal, di suatu sore 3 bulan lalu, ketika itu aku sempat bilang bahwa aku ingin berubah? Mulai saat itulah keputusan itu ku ambil.”
Keduanya terdiam. Bergelut dengan pikirannya masing-masing, yang menelisik dari satu waktu ke waktu lain, dari satu kejadian ke kejadian lain.
Semua terasa begitu cepat. ”Iya tentu saja aku ingat. Kau mengalami masa sulit itu. Kau selalu gelisah, dan kemudian mengalihkan kegelisahan mu itu pada berbagai hal. Termasuk hura-hura.”
”Tapi yang aku dapatkan hanya kekecewan Zal.”
Di balik segala perubahan Nur Dian Sari, ada yang tidak bisa disangkal Afrizal.
”Kau tampak lebih cantik sekarang Nur. Jauh lebih cantik dari yang biasa ku lihat.” Afrizal memandang gadis berkerudung itu. Ada semacam garis rapi yang tampak menghias wajahnya. ”Keserasian. Itu mungkin yang membuat ia kelihatan cantik. Tepatnya lebih cantik. Karena kerudung ataukah karena memang wajahnya yang sudah anggun?
”Tapi aku rasa kedua-duanya. Kerudung putih itu semakin membuat ia enak dipandang,” guman Afrizal dalam hati.
Jika wanita lain yang memakainya Afrizal tak yakin akan bisa secantik itu. Sebenarnya Afrizal ingin mengatakan bahwa kecantikan yang sebenarnya bukan pada kerudungnya namun pada orangnya.
Berulangkali ia yakinkan. ”Benar. Memang benar apa yang ku pikirkan itu.”
Tapi Nur berulangkali menyangkalnya. ”Ah kau terlalu membesarkannya, Zal,” sanggahnya. ”Hanya perasaanmu saja. Sesekali jangan melihat sesuatu dengan perasaan”.
”Aku merasa biasa-biasa saja kok. Sama seperti kemaren.”
”Tapi aku yang melihatnya. Aku yang memperhatikannya. Dan seseorang tak bisa sepenuhnya melihat keburukan atau kebaikannya sendiri. Orang lainlah yang lebih bisa melihatnya.”
Afrizal sebenarnya tak ingin berdebat soal yang remeh temeh itu. Ia tak ingin besar-besarkan. Tapi karena Nur selalu menyangkal, ia jadi ingin terus menyakinkannya. Namun kini pikirannya melebar tak hanya soal kecantikan kerudung Nur, tetapi soal lain.
Mengapa seorang wanita muslimah mesti mengenakan kerudung? Mengapa aurat mesti ditutup? Dan sampai seberapa dosakah bila seorang wanita tidak mengenakan kerudung? Dan mengapa sampai Nur memutuskan untuk berkerudung. Di saat cuaca panas begini tentu ia akan begitu tersiksa. Dan Afrizal tak ingin Nur berkesusahan. Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggunung di kepalanya.
”Bukan kerudungnya yang penting Zal, tetapi bagaimana seorang muslimah itu bisa menjaga kehormatannya.” Kalimat Nur meluncur dari bibir manisnya, menjawab pertanyaan Afrizal yang begitu gencar.
Suasana menjadi sedikit panas. Angin kering menerpa keduanya dan sesekali menggoyang ujung kerudung putih Nur Dian Sari.
”Tapi betul bukan, kerudung yang kau pakai itu bagus?
”Zal, soal ini tidak begitu aku perhatikan. Yang penting adalah, dengan kerudung itu seorang muslimah bisa menjaga kehormatannya.”
”Kerudung itu soal fisik. Soal syariah yang memang diatur dalam agama. Namun sebenarnya bukan pada kerudungnya substansi mengapa seorang muslimah diwajibkan memakai kerudung.”
”Kau tahu Zal? Aku memakai kerudung karena aku ingin mengubah diriku. Bukan pada penampilanku. Tetapi lebih dari itu aku hanya ingin belajar bagaimana menjadi seorang muslimah yang baik. Jelas aku masih belajar, aku belum sepenuhnya menjadi muslimah yang baik.”
”Zal, memakai kerudung atau tidak, seseorang tetap bisa menjadi cantik. Seorang Dian Sastro, ia begitu cantik tanpa kerudung, juga Marshanda tetap memikat tanpa dibalut kain di kepalanya.”
”Namun soal kehormatan beda, Zal. Soal menjalankan agama juga berbeda. Mengenakan kerudung membuat seorang muslimah, setidaknya, telah berusaha untuk menjaga kehormatannya. ”
”Aku tak berkata bahwa mereka yang tak berkerudung itu tak bisa menjaga kehormatannya. Tidak. Bukan seperti itu. Namun orang yang berkerudung telah bergelut dengan sebuah pilihan. Kita bisa memilih apa yang mau kita lakukan. Sementara berkerudung adalah sebuah pilihan dari berbagai macam pilihan. Dan aku sudah memilihnya. Ketika itu aku terikat oleh suatu tali yang membuat aku tak seperti Dian Sastro atau Marshanda.”
”Apakah engkau mengira ketika memutuskan berkerudung tidak ada pengorbanannya? Zal, memakai kerudung itu mudah. Tinggal ke pasar, cari kerudung yang paling indah. Paling hanya butuh waktu sebentar untuk belajar memakainya. Mudah kan?”
”Tetapi tidak seperti itu Zal. Ketika seorang wanita memutuskan memakai kerudung, ia juga menerima berbagai macam implikasi. Sikapnya, tutur katanya, dan ibadahnya. Bahkan dalam soal pergaulan. Memilih menutup auratnya berarti mengorbankan penampilan yang urakan, merelakan kebebasannya berarti merelakan dirinya diatur oleh boleh dan tidak, dalam batas syariah. Dan itu lebih dalam maknanya.”
”Wanita tentu ingin terlihat cantik. Namun untuk seperti itu seorang wanita tak perlu memaksakan diri. Tidak perlu buka-bukaan atau bergaya yang tak etis. Kecantikan itu bisa datang tanpa itu.”
”Iya aku mengerti, namun bukan berarti engkau harus menjadi orang lain dengan kerudung itu bukan. Engkau adalah Nur Dian Sari yang selama ini aku kenal. Seorang periang, supel, mudah bergaul dengan siapapun, dan ..... ”
”Afrizal, Afrizal. Kau tak akan bisa mengerti bagaimana hatiku ini. Bagaimana saat aku memutuskan untuk berkerudung. Aku ingin berubah. Dan tentu ingin menjadi orang yang lebih baik itu tak mudah.”
”Aku masih dibayang-bayangi diriku yang kemarin. Tapi setiap orang pasti punya sisi gelap masa lalunya bukan? Apakah bila dulunya seorang penjahat tak bisa menjadi orang baik? Masa lalu bukan menjadi penghalang seseorang menapak kehidupan lebih baik, Zal.”
”Tampaknya manusia itu lebih mampu memahami sesuatu yang terlihat di luarnya saja. Sama seperti engkau Zal.”
Bukan begitu Nur. Aku mengerti bahwa engkau ingin berubah. Aku mendukungmu. Namun memahami keputusanmu juga tak bisa serta merta aku dapatkan. Hanya saja aku masih merasakan bahwa engkau tetap Nur yang kemaren, bukan yang sekarang.
”Semua akan bisa berjalan dengan normal seiring perjalan waktu Zal. Soal cantik atau tidak, tidak begitu penting bagiku sekarang. Aku hanya ingin merasakan diriku cantik di hadapan Tuhan. Semua itu akan kekal, Zal, sementara apa sekarang ada pada diriku, aku bersyukur pada Tuhan. Karena semua yang kita miliki harus kita syukuri.”
”Akan sangat lelah bila engkau selalu memikirkan apa yang engkau ingin dapatkan sementara yang engkau miliki tak kau syukuri.”
Izzatul pergi meninggalkan Afrizal yang masih termangu. Tapi ada satu kesimpulan yang Afrizal dapatkan. ”Engkau memang cantik Nur. Dan kecantikan itu bertambah, bukan lagi soal kerudung, tapi soal hatimu.”
Pontianak, Juli 2006.
No comments:
Post a Comment