Oleh Heriyanto
Pak Suto bukan seorang Muslim, ia seorang Kristen yang taat. Namun ia punya anak asuh seorang Muslim. Diangkatnya si anak itu karena keluarganya kurang mampu dan disekolahkannya mulai SMP sampai SMA. Tidak hanya sampai di situ, setelah si anak itu lulus SMA, Pak Suto juga mencarikannya pekerjaan. Saat si anak itu menikah, dia membuatkannya resepsi pernikahan yang meriah. Kini si anak asuh itu sudah punya seorang anak dan tinggal di rumah suaminya yang pegawai negeri.
Soal keyakinan tetap menjadi urusan pribadi masing-masing. Si anak tetap menjalankan salat, sementara Pak Suto ke Gereja. Saat Idul Fitri si anak itu pulang ke rumah orang tuanya merayakannya di sana. Sementara saat Natal si anak itu membantu Pak Suto, mulai dari menyiapkan makanan sampai membersihkan rumah. Walau bukan seagama, namun Pak Suto mampu melalui sekat-sekat yang bagi sebagian orang menjadi tembok pemisah yang begitu tebal untuk saling menolong.
Cerita ini memang benar-benar terjadi. Saya mengenal dekat Pak Suto dan anak asuhnya itu. Pak Suto tinggal di Sungai Durian, Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Pontianak.
Ada satu contoh lagi yang cukup menarik sebagai perbandingan. Pada Natal tahun ini, di Jakarta dan di beberapa daerah lain kita mendengar bahwa ormas-ormas Islam turut mengamankan perayaan Natal. Misalnya saja seperti yang dilakukan Banser Nahdatul Ulama (NU) yang mengerahkan anggotanya, turut menjaga beberapa gereja dan mengamankan perayaan Natal.
Dalam hati saya menggumam, inilah yang disebut toleransi. Dua contoh di atas sungguh hal yang sangat menyejukkan. Sejuk, karena dalam beberapa tahun kita selalu menerima kabar buruk: tentang bom bunuh diri, bom natal, pembakaran gereja, pembunuhan orang-orang karena agama, dan sebagainya. Kerukunan umat beragama tercoreng dan ini menjadi trauma bagi kita semua.
Apa yang dilakukan Pak Suto dan Banser NU menjadi contoh yang mampu mengajarkan kita bahwa damai dan kasih sayang itu begitu menyejukkan. Mereka bisa memaknai apa itu toleransi. Toleransi memang tidak cukup hanya diucapkan saja, juga tidak cukup hanya menjadi wacana. Namun toleransi membutuhkan perbuatan, juga ketulusan.
Toleransi menjadi kata yang sungguh bersahabat untuk didengar. Bersahabat, karena kata ini bila mewujud dalam kehidupan masyarakat dengan beragam agama akan menciptakan keharmonisan dan perdamaian. Dan bersahabat pula bila kata itu membuat kami, kita dan kalian tidak saling mencurigai, atau bahkan mendendam. Tidak saling memusuhi apalagi membunuh. Tidak pula membuat kita merasa menjadi yang paling benar dan menganggap yang lain itu perlu dimusnahkan. Kita membutuhkan kata-kata yang bisa membawa sejuk sekaligus damai yang menyeruak dalam kehidupan kita.
Sudah lama kata ini hilang. Sudah lama pula kata ini hanya ada di kamus atau menjadi bahan pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan belaka, namun menguap ketika kata ini bersinggungan kehidupan masyarakat. Kita sering tidak toleran ketika menghadapi perbedaan. Kita tidak bisa melihat ada sesuatu yang berbeda dari komunitas atau berbeda dengan ideologi yang kita anut.
Bagaimana konflik dan pertumpahan darah sering terjadi karena masalah perbedaan ini. Kekerasan demikian pula, sering menjadi-jadi karena tak ada yang mau mengalah, dan masing-masing teguh bahwa kelompoknya paling benar.
Ada Sang Liyan (the other) yang kita anggap sebagai orang yang perlu kita musuhi. Sang Liyan itu pula yang mesti kita jadikan pesaing utama, dan kemudian yang kita bicarakan adalah soal menang kalah. Kita selalu bersaing dalam memperebutkan jumlah umat. Fanatisme sempit juga telah membuat kita semakin buta akan mana yang substansif dan mana yang artifisial (hanya di kulit luarnya). Kita juga sering sempit dalam memandang persoalan yang ada dalam lingkungan kita.
Kita sering melihat bahwa suatu kelompok yang dominan tidak toleran kepada kelompok yang lebih kecil. Di Indonesia? Kita juga sering menyaksikannya. Dalam berbagai situasi ada saja kelompok-kelompok tertentu yang ingin memaksakan kehendak, paham, atau klaim kebenaran mereka pada kelompok lain.
Kini kita dapatkan pembelajaran dari dua contoh tadi. Dengan sebuah keyakinan bahwa rasa damai akan lebih nyaman dari rasa gusar, persahabatan akan lebih baik dari permusuhan, dan ikhlas akan lebih baik dari dendam. Toh surga masih tetap akan ada. Sementara keyakinan ini bila tidak diasah dengan jiwa yang penuh kesejukan akan menjadi gersang. Dan tentu akan membuat kita jauh dari surga.
Kita semestinya bisa saling berdampingan, dan itu bisa terwujud bila keegoan masing-masing sedikit ditekan. Bukankah kita bisa menjaga agar perbedaan itu sebagai rakhmat, dan bukan sebaliknya sebagai penghancur?
No comments:
Post a Comment