Oleh: Heriyanto
Membicarakan hukum alam adalah membicarakan tentang hukum
kausalitas (sebab akibat). Kita boleh membuka kembali lebar-lebar buku logika.
Filosof Yunani Leucipos sekitar abad kelima pernah berkata: nihil fit sine causa (tidak ada satu
peristiwa pun yang tidak mempunyai sebab). Kausalitas adalah terjemahan empiris dari modus ponen dalam logika
Aristotelian yang berbunyi jika a maka b.
Kini 15 abad setelah ucapan Leucipos, kita
terkesiap ketika bencana datang secara bertubi-tubi layaknya hamtaman badai
pekat yang terus menggulung-gulung. Di tengah harapan akan sejuta kebaikan pada
tahun 2007, kita justru menerima berita-berita yang menyedihkan. Belum selesai satu bencana tertangani, di daerah lain sudah muncul bencana
lain. Terakhir, banjir melanda beberapa daerah di Indonesia, seperti Sambas dan
Jakarta.
Mengacu pada Leucipos, kita bisa bertanya,
bencana tentu tidak datang sama sekali lepas dari suatu sebab tertentu, bukan? Berbagai
jawaban bisa saja diberikan. Ada yang lebih suka menjawab dari persoalan
teologis, namun ada juga yang melihat dari kacamata logika (baca: sebab
akibat). Jawaban teologis sering berbeda dari jawaban logika, terutama pada
sebab suatu peristiwa terjadi dan bagaimana sebuah peristiwa itu dijelaskan.
Pak ustadz biasanya akan menjawab, bencana
datang karena kemurkaan Tuhan pada manusia. Mengapa? Karena manusia telah
banyak melakukan maksiat dan melanggar aturan-aturan Tuhan. Itulah teguran
Tuhan pada manusia.
Sementara dalam logika, sebab sebagai sesuatu
yang melahirkan akibat dibedakan menjadi dua: sebab yang mesti (necessary
causa) dan sebab yang menjadikan (sufficient causa). Oksigen, misalnya,
merupakan sebab adanya kebakaran. Tanpa adanya oksigen tidak mungkin kebakaran
bisa terjadi, namun adanya oksigen tidak harus menimbulkan kebakaran. Ini yang
disebut sebab yang mesti. Nah, kompor meledak adalah sebab yang menjadikan
(sufficient causa) satu rumah terbakar (cermati buku Logika, Mundiri, 2003).
Untuk itu barangkali perlu ada satu garis
lurus yang bisa menghubungkan antara dosa yang diperbuat manusia, datangnya
bencana alam, dan kemurkaan Tuhan. Inilah yang saya coba bahas dalam tulisan
ini. Dalam hal ini yang pertama perlu kita lihat adalah hubungan antara manusia
dan alam. Pertanyaan kuncinya, bagaimana manusia memandang dan memperlakukan
alam ini?
Ignas Kleden (1987) pernah mengulas persoalan
ini. Menurutnya manusia itu tidak terikat dengan lingkungan. Manusia itu
bersifat labil. Bila ikan punya habitat khusus di air, burung punya alam yang
cocok baginya, dan orang utan yang jelas hidupnya hutan, sementara manusia pada
dasarnya tidak punya tempat hidup spesifik seperti hewan tersebut. Maka manusia
perlu membangun tempat hidupnya. Hutan, sungai, atau pantai, bisa berubah
menjadi tempat tinggal manusia, hingga mengalami perkembangannya.
Bila hewan memiliki insting yang kuat yang
bisa membantunya memahami gejala alam, manusia hampir sama sekali tidak
memilikinya. Hewan mampu memanfaatkan alam, demikian pula pada manusia.
Perbedaannya, jika hewan memanfaatkan alam secukupnya, manusia sering
berlebihan karena memandang alam sebagai pemberian dan disediakan bagi manusia.
Ada yang kemudian mengeruk kekayaan alam ini sebanyak-banyaknya. Jumlah manusia
semakin bertambah, demikian pula kebutuhannya; dan alam pun semakin berubah. Sayangnya,
peningkatan jumlah dan kebutuhan manusia ini tidak disertai dengan peningkatan
kesadaran untuk menjaga alam lingkungannya.
Dalam buku Titik Balik Peradaban yang ditulis
Fritjof Capra (1994) dijelaskan bahwa pengembangan teknologi dalam rangka
mengejar produktivitas telah menyebabkan kerusakan ekologis. Menurut Capra, hal
ini ada hubungan dengan pandangan yang dianut oleh para ilmuwan yang secara
runtut lebih menekankan pikiran dan pandangan yang mekanistik ala Descartes dan
Newtonian. Bahwa dunia materi dipandang sebagai kumpulan objek-objek yang
terpisah yang dirakit menjadi sebuah mesin raksasa. Lebih ringkasnya, hewan,
tumbuhan dan segala yang ada di alam sekitar kita ini adalah mesin-mesin yang
bisa menghasilkan keuntungan ekonomis.
Ketika produksi dikejar dan konsumsi semakin
meningkat, teknologi juga semakin ditingkatkan. Namun hal ini mengakibatkan
ketidakseimbangan di alam ini, karena eksploitasi alam secara berlebihan.
Dalam sebuah
sistem alam, bila ada satu kerusakan pada komponen A bisa saja berakibat pada
komponen B, komponen B mempengaruhi komponen C, dan seterusnya. Kita bisa
bertanya, mengapa banjir bisa terjadi? Karena air sungai meluap. Kenapa air
sungai meluap? Karena air hujan yang turun tak mampu diserap oleh pepohonan. Mengapa
tak mampu diserap? Sebagian besar pepohonan telah ditebang. Mengapa ditebang?
Untuk dijual kayunya atau dibuat villa? Kenapa demikian? Untuk makan dan gaya
hidup... Karena kebutuhan manusia semakin meningkat...Karena tak puas dengan
sedikit harta...dst. Setiap sebab merupakan akibat dari sebab yang
mendahuluinya.
Namun karena time of respons antara munculnya sebab dan akibat
mengambil jarak yang lama sehingga manusia seringkali lalai. Orang baru sadar
ketika banjir besar menghantam, padahal manusia sendirilah penciptanya. Nafsu
dan keserakahan untuk menguasai alam ini telah membuat sebagian manusia
melupakan kelestarian alam, melupakan bencana, melupakan bagaimana nasib anak
cucu nanti. Karena ”maksiat” manusia inilah, mungkin
Tuhan ”murka”.
Murka di sini bisa diterjemahkan sebagai
peringatan bagi manusia. Bukannya Tuhan itu maha pemurah? Jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan teologis tentu saja mengandalkan keyakinan masing-masing
orang. Tiap orang punya tingkatan tertentu dalam meyakininya tergantung
religiusitasnya.
Akan sulit, tentu, menentukan necessary causa
dan sufficient causa dari pernyataan teologis. Namun yang jelas hukum sebab
akibat adalah hukum Tuhan. Dan itu berarti teguran Tuhan via bencana yang terus
mendera bangsa ini perlu segera kita sadari.
Kita tentu tidak ingin bangsa ini akan musnah
suatu saat nanti karena bencana alam sudah begitu dahsyatnya? Kesadaran akan
adanya hukum sebab akibat ini seharusnya membuat kita bisa lebih arif dalam
memperlakukan alam. Itu artinya kepintaran manusia perlu disertai kearifan;
tindakan manusia perlu disertai tanggungjawab dan etika; dan satu lagi:
keimanan. Pertanyaan terakhir: Siapakah yang dapat melawan hukum Tuhan?
No comments:
Post a Comment