Wednesday, March 14, 2007

Di Ujung Perubahan


ku tanamkan di dalamnya mutiara
hingga tiba saat ia dapat menyinari tanpa mentari
dan berjalan di malam hari tanpa rembulan
(la tahzan)

Menyoal Moral Akademisi

Oleh: Heriyanto


Perguruan tinggi, saat ini, berada pada situasi yang cukup dilematis. Pada satu sisi, perguruan tinggi mestilah menjadi penjaga moral (moral oracle). Di sana tempat manusia-manusia yang bepikir secara mendalam untuk mencari akar-akar kebenaran dan membangun tatanan masyarakat yang baik. Namun di sisi lain perguruan tinggi dihadapkan pada situasi dunia yang sekarang sudah begitu berubah, di mana globalisasi dan liberalisasi ekonomi sudah begitu dahsyatnya. Perguruan tinggi pun kemudian mesti menyesuaikan dirinya dengan situasi tersebut jika tidak ingin tertinggal.

Ini analogi tentang aliran sungai. Jika kebetulan kita berada di sungai yang deras alirannya, tentu ada dua kemungkinan, akan ikut arus atau kita bertahan dan jika bisa melawan arusnya dengan sebuah konsekuensi butuh tenaga yang besar. Barangkali karena kuat arusnya sehingga lebih banyak yang terbawa arus itu.

Sama halnya dengan perguruan tinggi yang kini dihadapkan pada sebuah arus besar dunia yang lebih kuat terutama pada globalisasi dan pasar bebas. Kecenderungannya, perguruan tinggi lebih banyak ikut arus pada tren global. Katakanlah, lebih condong meniru capaian perguruan tinggi di negara maju dan kemudian mengadopsinya sambil mengabaikan persoalan konteks lokal. Sebut saja misalnya gagasan universitas Enterpreneur, Universitas Abad 21 dan sebagainya. Belakangan malah ada pemikiran untuk mengubah universitas menjadi multiversitas yang dianggap sebagai bentuk pendidikan tinggi pada masa pascamodernitas dan globalisasi. Mereka ingin memenangkan kompetisi di tengah globalisasi. Di Indonesia Beberapa perguruan tinggi --sebut saja misalnya UI dan UGM-- sudah berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara.

Perguruan tinggi dibuat seperti perusahaan, dengan hitung-hitungan keuntungan sebanyak-banyaknya. Perangkap ekonomi pun hadir, yaitu ketika pendidikan tinggi menjadi bagian dari sebuah sistem komersial dan ekonomi, yang menjadikannya sebagai sebuah komoditi untuk diperjualbelikan. Perguruan tinggi pun kemudian menjadi semacam lembaga yang sudah disetting untuk menghasilkan lulusan yang siap pakai sebagai sumber daya produksi, siap menjadi pekerja, atau menjadi sekrup-sekrup industri.

Sementara itu mahasiswa dibebankan biaya kuliah yang tinggi dan bagi mereka yang kurang mampu akan sulit untuk bisa kuliah di sana. Hal ini berimbas pada proses perkuliahan di kelas. Nilai-nilai moral pun tidak lagi menjadi hal utama yang diajarkan di kampus karena dianggap tidak ada relevansinya dengan dunia kerja.

Dengan kondisi ini, boleh-boleh saja bukan, jika kita mempertanyakan apakah perguruan tinggi masih mampu menjaga perannya sebagai penjaga moral? Atau jangan-jangan justru telah kehilangan peran pokoknya itu? Tak jarang ada kritik dari berbagai pihak pada institusi perguruan tinggi, namun sebagian besar para akademisi di dalamnya tampaknya tidak mempersoalkan hal ini.

Hal lain yang membuat peran sebagai penjaga moral semakin menghilang adalah bertautnya relasi pendidikan tinggi dengan relasi kekuasaan. Terjadi simbiosis yang saling menguntungkan antara akademisi dan penguasa. Dalam kekuasaan politik, tak jarang para pemegang kekuasaan dan partai politik melibatkan juga kaum akademisi dari perguruan tinggi untuk masuk dan menempati jabatan stuktural di dalamnya. Tidak sedikit bukan, elit penguasa adalah akademisi kampus? Banyak pula di antara akademisi yang mencoba meraih peruntungan dalam dunia politik. Mereka yang sering “berganti baju”, kadang ikut berpolitik, dan ketika kalah, mereka mengenakan kembali baju akademisinya.

Adalah hal yang tidak bisa disangkal bahwa perguruan tinggi mempunyai satu kekuatan yang begitu besar, baik soal daya manusianya, kemampuan posisi tawar, kemampuan analisisnya dan lain sebagainya. Sementara kekuasaan menjanjikan kemakmuran, kemewahan dan uang. Hal inilah yang kemudian banyak dimanfaatkan oknum-oknum yang punya kepentingan terhadapnya.

Jika kemudian ini terus berlangsung, kaum intelektual hanya akan menjadi bagian dari kepentingan kekuasaan dan ekonomi sementara otonomi dirinya sebagai sebuah kekuatan yang punya peran dalam perubahan bangsa ke arah yang lebih baik hilang begitu saja. Kemampuan menganalisis persoalan pun lumpuh dan tumpul setelah bersentuhan dengan kekuasaan. Dan adalah lebih berbahaya ketika kaum intelektual tidak lagi berhasrat berbicara bagaimana mengembangkan pengetahuan, apalagi masalah rakyat jelata, melainkan hanya berbicara soal kekuasaan dan keuntungan ekonomi.

Akhir-akhir ini semakin banyak berita di koran, banyak kaum intelektual yang ternyata ketika masuk ke ranah kekuasaan dan kemudian bersentuhan dengan peluang-peluang empuk, akhirnya terbawa arus. Banyak juga para akademisi yang kemudian melakukan kecurangan, korupsi, dan sebagainya. Padahal dari mereka-merekalah seharusnya kita belajar soal moral dan moralitas.

Beberapa hari yang lalu di koran ini Mohd Rif’at, dosen saya di FKIP Untan, menulis bagaimana membangun masyarakat melalui perguruan tinggi. Terlepas dari beberapa bagian tulisan beliau yang sulit saya pahami, ada satu pesan yang bagi saya menarik untuk dibahas yaitu soal asas moral yang seharusnya memengaruhi sikap formal perguruan tinggi antaralain: kebijaksanaan, signifikansi, tidak mempunyai kepentingan yang dapat berbenturan, dan menyandarkan diri pada kekuatan menilai tanpa mempunyai ikatan primordial, baik secara sosial maupun politis dalam pengambilan keputusan. Menurutnya, sikap moral pimpinan perguruan tinggi semestinya konsisten dengan asas-asas moral ini.

Namun dunia ini mungkin sudah ditakdirkan dengan banyak masalah, demikian juga pada perguruan tinggi: Antara das sollen (apa yang seharusnya terjadi) dan das sein (kenyataan yang terjadi) tidak sambung. Ternyata dalam kenyataannya pada lingkungan pimpinan perguruan tinggi kebijaksanaan justru hilang; perguruan tinggi punya kepentingan dengan kekuasaan dan ekonomi; sementara kekuatan menilai lumpuh karena rasa primordialisme merasuk juga pada struktur perguruan tinggi. Lantas di manakah perguruan tinggi meletakkan asas moralnya? Moral pun kemudian hanya disimpan di laci-laci meja belajar. Siapa yang peduli? []

Kerudung Putih Itu

Oleh Heriyanto

Hari begitu panas ketika di suatu siang Afrizal bertemu seorang Gadis Berkerudung di depan masjid Kampus Margaraya Hijau, kampus terbesar di kota Hijau. Afrizal mematung saja. Termangu. Ia mengenal benar gadis itu, namun biasanya dalam penampilan berbeda. Kontras sekali dengan saat itu. Gadis berkerudung itu adalah Nur Dian Sari, teman kampusnya.
Sudah beberapa bulan ini Afrizal tak pergi ke kampus. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di sebuah lembaga Non Government Organisation dan juga di sekolah alternatif untuk anak-anak jalanan. Selama waktu itu ia tidak pernah bertemu lagi dengan gadis itu.
Soal kerudung itu Afrizal benar-benar serius. ”Sejak kapan kau berkerudung?” tanya Afrizal. ”Untuk apa kau tanya itu bila engkau hanya ingin mendikteku?”
” Waktu itu begitu penting Nur. Dari mengetahuinya aku bisa merangkai kaitan antara dulu, sekarang dan bagaimana dengan masa depan.”
”Sebuah perbuatan selalu ada kaitannya dengan motivasi. Dan dengan mengetahui motivasi itu aku bisa mereka-reka sesuatu kesimpulan tentangmu.”
”Kau ingat Afrizal, di suatu sore 3 bulan lalu, ketika itu aku sempat bilang bahwa aku ingin berubah? Mulai saat itulah keputusan itu ku ambil.”
Keduanya terdiam. Bergelut dengan pikirannya masing-masing, yang menelisik dari satu waktu ke waktu lain, dari satu kejadian ke kejadian lain.
Semua terasa begitu cepat. ”Iya tentu saja aku ingat. Kau mengalami masa sulit itu. Kau selalu gelisah, dan kemudian mengalihkan kegelisahan mu itu pada berbagai hal. Termasuk hura-hura.”
”Tapi yang aku dapatkan hanya kekecewan Zal.”
Di balik segala perubahan Nur Dian Sari, ada yang tidak bisa disangkal Afrizal.
”Kau tampak lebih cantik sekarang Nur. Jauh lebih cantik dari yang biasa ku lihat.” Afrizal memandang gadis berkerudung itu. Ada semacam garis rapi yang tampak menghias wajahnya. ”Keserasian. Itu mungkin yang membuat ia kelihatan cantik. Tepatnya lebih cantik. Karena kerudung ataukah karena memang wajahnya yang sudah anggun?
”Tapi aku rasa kedua-duanya. Kerudung putih itu semakin membuat ia enak dipandang,” guman Afrizal dalam hati.
Jika wanita lain yang memakainya Afrizal tak yakin akan bisa secantik itu. Sebenarnya Afrizal ingin mengatakan bahwa kecantikan yang sebenarnya bukan pada kerudungnya namun pada orangnya.
Berulangkali ia yakinkan. ”Benar. Memang benar apa yang ku pikirkan itu.”
Tapi Nur berulangkali menyangkalnya. ”Ah kau terlalu membesarkannya, Zal,” sanggahnya. ”Hanya perasaanmu saja. Sesekali jangan melihat sesuatu dengan perasaan”.
”Aku merasa biasa-biasa saja kok. Sama seperti kemaren.”
”Tapi aku yang melihatnya. Aku yang memperhatikannya. Dan seseorang tak bisa sepenuhnya melihat keburukan atau kebaikannya sendiri. Orang lainlah yang lebih bisa melihatnya.”
Afrizal sebenarnya tak ingin berdebat soal yang remeh temeh itu. Ia tak ingin besar-besarkan. Tapi karena Nur selalu menyangkal, ia jadi ingin terus menyakinkannya. Namun kini pikirannya melebar tak hanya soal kecantikan kerudung Nur, tetapi soal lain.
Mengapa seorang wanita muslimah mesti mengenakan kerudung? Mengapa aurat mesti ditutup? Dan sampai seberapa dosakah bila seorang wanita tidak mengenakan kerudung? Dan mengapa sampai Nur memutuskan untuk berkerudung. Di saat cuaca panas begini tentu ia akan begitu tersiksa. Dan Afrizal tak ingin Nur berkesusahan. Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggunung di kepalanya.
”Bukan kerudungnya yang penting Zal, tetapi bagaimana seorang muslimah itu bisa menjaga kehormatannya.” Kalimat Nur meluncur dari bibir manisnya, menjawab pertanyaan Afrizal yang begitu gencar.
Suasana menjadi sedikit panas. Angin kering menerpa keduanya dan sesekali menggoyang ujung kerudung putih Nur Dian Sari.
”Tapi betul bukan, kerudung yang kau pakai itu bagus?
”Zal, soal ini tidak begitu aku perhatikan. Yang penting adalah, dengan kerudung itu seorang muslimah bisa menjaga kehormatannya.”
”Kerudung itu soal fisik. Soal syariah yang memang diatur dalam agama. Namun sebenarnya bukan pada kerudungnya substansi mengapa seorang muslimah diwajibkan memakai kerudung.”
”Kau tahu Zal? Aku memakai kerudung karena aku ingin mengubah diriku. Bukan pada penampilanku. Tetapi lebih dari itu aku hanya ingin belajar bagaimana menjadi seorang muslimah yang baik. Jelas aku masih belajar, aku belum sepenuhnya menjadi muslimah yang baik.”
”Zal, memakai kerudung atau tidak, seseorang tetap bisa menjadi cantik. Seorang Dian Sastro, ia begitu cantik tanpa kerudung, juga Marshanda tetap memikat tanpa dibalut kain di kepalanya.”
”Namun soal kehormatan beda, Zal. Soal menjalankan agama juga berbeda. Mengenakan kerudung membuat seorang muslimah, setidaknya, telah berusaha untuk menjaga kehormatannya. ”
”Aku tak berkata bahwa mereka yang tak berkerudung itu tak bisa menjaga kehormatannya. Tidak. Bukan seperti itu. Namun orang yang berkerudung telah bergelut dengan sebuah pilihan. Kita bisa memilih apa yang mau kita lakukan. Sementara berkerudung adalah sebuah pilihan dari berbagai macam pilihan. Dan aku sudah memilihnya. Ketika itu aku terikat oleh suatu tali yang membuat aku tak seperti Dian Sastro atau Marshanda.”
”Apakah engkau mengira ketika memutuskan berkerudung tidak ada pengorbanannya? Zal, memakai kerudung itu mudah. Tinggal ke pasar, cari kerudung yang paling indah. Paling hanya butuh waktu sebentar untuk belajar memakainya. Mudah kan?”
”Tetapi tidak seperti itu Zal. Ketika seorang wanita memutuskan memakai kerudung, ia juga menerima berbagai macam implikasi. Sikapnya, tutur katanya, dan ibadahnya. Bahkan dalam soal pergaulan. Memilih menutup auratnya berarti mengorbankan penampilan yang urakan, merelakan kebebasannya berarti merelakan dirinya diatur oleh boleh dan tidak, dalam batas syariah. Dan itu lebih dalam maknanya.”
”Wanita tentu ingin terlihat cantik. Namun untuk seperti itu seorang wanita tak perlu memaksakan diri. Tidak perlu buka-bukaan atau bergaya yang tak etis. Kecantikan itu bisa datang tanpa itu.”
”Iya aku mengerti, namun bukan berarti engkau harus menjadi orang lain dengan kerudung itu bukan. Engkau adalah Nur Dian Sari yang selama ini aku kenal. Seorang periang, supel, mudah bergaul dengan siapapun, dan ..... ”
”Afrizal, Afrizal. Kau tak akan bisa mengerti bagaimana hatiku ini. Bagaimana saat aku memutuskan untuk berkerudung. Aku ingin berubah. Dan tentu ingin menjadi orang yang lebih baik itu tak mudah.”
”Aku masih dibayang-bayangi diriku yang kemarin. Tapi setiap orang pasti punya sisi gelap masa lalunya bukan? Apakah bila dulunya seorang penjahat tak bisa menjadi orang baik? Masa lalu bukan menjadi penghalang seseorang menapak kehidupan lebih baik, Zal.”
”Tampaknya manusia itu lebih mampu memahami sesuatu yang terlihat di luarnya saja. Sama seperti engkau Zal.”
Bukan begitu Nur. Aku mengerti bahwa engkau ingin berubah. Aku mendukungmu. Namun memahami keputusanmu juga tak bisa serta merta aku dapatkan. Hanya saja aku masih merasakan bahwa engkau tetap Nur yang kemaren, bukan yang sekarang.
”Semua akan bisa berjalan dengan normal seiring perjalan waktu Zal. Soal cantik atau tidak, tidak begitu penting bagiku sekarang. Aku hanya ingin merasakan diriku cantik di hadapan Tuhan. Semua itu akan kekal, Zal, sementara apa sekarang ada pada diriku, aku bersyukur pada Tuhan. Karena semua yang kita miliki harus kita syukuri.”
”Akan sangat lelah bila engkau selalu memikirkan apa yang engkau ingin dapatkan sementara yang engkau miliki tak kau syukuri.”
Izzatul pergi meninggalkan Afrizal yang masih termangu. Tapi ada satu kesimpulan yang Afrizal dapatkan. ”Engkau memang cantik Nur. Dan kecantikan itu bertambah, bukan lagi soal kerudung, tapi soal hatimu.”

Pontianak, Juli 2006.

Foto-foto Narsis

Momen istimewa terkadang hadir tanpa kesengajaan dan dalam waktu singkat yang seakan dikejar oleh batas waktu. Sungguh menwan bila momen itu bisa diabadikan oleh kamera. Seperti foto ini. Di situ kami tertawa lepas, saat secara singkat dalam hitungan detik, kamera Pak Timbul Mujadi, fotografer Pontianak Post merekamnya. Dalam hari-hari yang dipenuhi rutinitas, sejenak canda dan tawa adalah sesuatu yang menyejukkan. Dari sebelah kiri: Pipit, Mbak Mel, Syahriani, dan Dina. Lihat, saya paling ganteng di antara mereka bukan? He..he..he.. Foto ini diambil saat liburan, 24 Desember 2006 di pantai pasir panjang….






Kalo yang berikut ini dua orang yang sedang asik makan. Tuh liat aja, di tangan Aini (kanan) ada kue. Kebetulan saat itu ada teman yang berulang tahun. Si Heni kayaknya ngiler tuh lihat makannya. Kasih dong!!







Nah yang ini waktu aku masih jadi pembalap. Pernah dapat juara ketika melintasi benua Afrika dan Asia dalam lomba antar orang-orang narsistis. Aku pemenangnya. Tau gak kenapa? Karena aku dinilai paling narsistis he..he







Mau tahu model-model keluaran Paris? Ini dia orang-orangnya. Dari kiri: Deman, si aktivis tua yang sekarang aktif di LPS AIR; Taji yang sekarang jadi wartawan di harian Equator; dan Saya si model berbakat; terakhir Juni si ketua GMNI.






Nah ini teman saya yang sudah jadi Sarjana. Syahrial namanya. Pintar dan cerdas. Sering jadi sasaran kalo saya gak paham dengan materi kuliah. Posenya di Parkiran FKIP




Wah kumpulan bidadari ya!! Di tengah itu adikku yang paling caem. Baru SMP. Anaknya suka ngambek. Paling manja dengan abang!

Tuesday, March 13, 2007

Foto Heriyanto


Ne­gara Menjadi Serigala yang Siap Me­mangsa Rakyatnya

Oleh Heriyanto

Pagi itu, Masyuri (34) baru saja datang ke tempat biasa ia berdagang. Sam­bil mengemaskan gero­bak­, jerigen bensin, dan beberapa perlengkapan tambal ban, beberapa kata meluncur dari bibirnya. "Saya tak habis pikir, mengapa saat ini beban hidupnya terasa makin berat."
Bagi Mashuri, setiap kali peme­rintah mengeluarkan kebijakan bukan se­makin mudah ia bekerja, namun pertanda usaha yang ia lakoni akan semakin sulit. Beberapa waktu lalu, misalnya, ketika pemerintah me­naikkan harga BBM, penghasilan yang ia terima semakin tidak men­cukupi­ untuk kehidupan sehari-hari. Penghasi­­lannya ini seolah tak berharga ketika berhadapan dengan kenaikkan harga-harga barang.
Hal yang sama juga diungkapkan Inah (39). “Kok, sekarang hidup makin susah ya bang, apa ada harga beras yang Rp 2.000 kaya dulu,” keluh ibu rumah tangga ini.
Inah, pasca kenaikkan BBM tahun lalu, merasakan sulitnya mengatur keuangan rumah tangga. Pendapatan yang tak kunjung berubah membuat ia harus lebih mengencangkan ikat pinggang. “Tau sorang lah, beras naik, sayur naik, bensin naik, ape lah yang tak naik? Sebelum naik jak, kita susah hidup, apa lagi sekarang ini,” kata Inah.
Dalam kondisi saat ini di mana beban hidup semakin menghimpit, keluhan-keluhan seperti ini tentu wajar muncul. Namun, baik Masyuri maupun Inah hanya bisa menerima pasrah segala kebijakan pemerintah itu dan tidak berniat untuk berunjuk rasa seperti halnya mahasiswa yang sering turun ke jalan. Baginya menolak atau tidak sama saja. Yang ia tahu saat ini harga barang semakin naik, semen­tara kebutuhan hidup makin mening­kat.
Beras misalnya, sampai berita ini diturunkan, harganya untuk kualitas rendah saja berkisar antara Rp 4.000- Rp 5000 per kilogramnya. Sementara itu harga gula sudah mendekati Rp 6.700 per kilonya. Dengan harga ba­rang yang semakin tinggi, semen­tara penghasilan yang diterima pas-pasan, bisa dipastikan hidup menjadi lebih sulit.
***
Apa yang dirasakan belakangan ini tidak lepas kaitannya dengan segala kebijakan yang telah dibuat peme­rintah. Dalam skala makro, kebijakan pusat menentukan kebijakan daerah. Kebijakan-kebijakan ini, memengaruhi sektor-sektor kehidupan yang pada akhirnya memengaruhi kebutuhan publik. Satu kebijakan ditelorkan akan punya rentetan dampak terhadap sektor-sektor publik.
Kebijakan kenaikan harga BBM, misalnya, menyebabkan inflasi tahu­nan mencapai 18 persen. Semua ba­rang kebutuhan hidup beranjak naik. Akibatnya daya beli masyarakat semakin merosot, rakyat miskin ber­tambah, jumlah pengangguran ber­tambah. Ambruknya sektor Industri te­rus menambah jumlah PHK. Semen­tara penciptaan lapangan kerja sangat rendah. Hal ini tentu memperburuk keadaan.
Tidak bisa dimungkiri, dengan berbagai kondisi ini, perbaikan Indo­ne­sia dari kondisi krisis akan sulit di­capai. Apa yang sekarang terjadi, men­jadi semacam ‘blunder’ yang bisa-bisa menggiling bangsa Indonesia.
“Kebijakan pemerintah memang tidak beranjak ke usaha untuk menga­tasinya,” kata Faisal Riza, Sekjend JARI Borneo Barat. “Dengan biaya hidup yang semakin tinggi, rakyat tidak mam­pu berpikir dan berbuat banyak, selain bagaimana memenuhi kebutuhan hidup. Rakyat sulit bergerak untuk memperbaiki hidupnya,” tambahnya.
persoalannya, dalam menyikapi permasalahan bangsa yang semakin runyam, pemerintah justru mengambil kebijakan–kebijakan publik yang cenderung meminggirkan publik. “Persoalan bangsa memang tidak sedikit, namun dalam menyikapinya pemerintah justru lebih memilih membuat kebijakan–kebijakan publik yang cenderung dirasakan merugikan kepentingan masyarakat,” ujar Sekre­taris Jendral JARI Indonesia Agus Gu­nawan Wibisono dalam seminar bedah Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah yang diadakan oleh JARI Borneo, 24 Januari lampau. Padahal Eksekutif dan Legislatif bertanggung jawab untuk membangun kelembagaan yang memungkinkan seluruh potensi bangsa bisa didaya­gunakan bagi sebesar-besarnya ke­makmuran dan kesejahteraan rakyat.
Sebelumnya, sejumlah mahasiswa di tanah air berunjuk rasa menolak kenaikkan BBM. Di Kalimantan Barat, mahasiswa melakukan aksi selama seminggu berturut-turut, baik di Kantor DPRD Provinsi, Kantor Gubernur, dan Rumah Dinas Gubernur. Akan tetapi aksi itu tidak digubris pemerintah. Setiap kali aksi, Gubernur Kalbar dan Ketua DPRD tidak mau bertemu mahasiswa. Yang berhadapan dengan mahasiswa hanya asisten atau anggota DPRD lainnya.
“Inti dari aksi unjuk rasa itu umum­nya menginginkan agar masyarakat tidak merasakan harga-harga barang, biaya transportasi, dan kebutuhan hidup yang naik, seperti dikeluhkan sekarang ini. Rupanya saat itu Gubernur Kalbar mendukung kenaikkan BBM dan anggota DPRD tidak berbuat banyak membela rakyat,” kata Suhud, dari Jaringan Mahasiswa Kalimantan Barat (JMKB).
Alasan pemerintah menaikkan BBM saat itu karena naiknya harga BBM di dunia dan jika harga BBM di tanah air tidak dinaikkan maka APBN mengalami defisit. Alasan ini terus dipertahankan pemerintah. Namun tak lama setelah kenaikkan BBM, anggota DPR RI menaikkan tunjangan operasional sebesar 10 juta dan gajinya. Terakhir yang paling menyesakkan adalah pagar kantor DPR RI dibangun dengan me­makan biaya miliaran rupiah. “Di te­ngah kesulitan masyarakat, ini adalah bentuk ketidakadilan yang diperlihatkan pe­merintah. Ini menandakan bahwa apa yang dikatakan pemerintah lebih ba­nyak karena kepentingan pribadi mereka saja,” ujar Suhud.
Sayangnya, dengan kebohongan itu, masyarakat juga tidak mampu ber­buat banyak. Kalau pun ada yang meng­kritisi, pemerintah bergeming dan ti­dak menggubrisnya. Di masa kepe­mim­pinan SBY-JK kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat terus bergulir. Be­gitu mudahnya pemerintah mengelu­arkan kebijakkan-kebijakan itu. Tidak sa­tupun masyarakat yang dapat membendung, bahkan DPR sekalipun. Kebijakan impor beras lebih mem­perlihatkan betapa pemerintahan SBY-JK memiliki kekuatan luar biasa, sebaliknya menunjukkan ketidak­berdayaan DPR. Hak angket impor beras yang diusulkan DPR kandas. Penolakan dari masyarakat juga tidak digubris.
Baru-baru ini kembali diributkan dengan rencana pemerintah yang akan menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL). Ke­naikan TDL menurut analisis Kamar Dagang dan Industri (Kadin) akan mem­buat banyak perusahaan yang gulung tikar. Akan banyak perusahaan yang belum mampu mengatasi masa­lah akibat kenaikan BBM, ambruk. Bebe­rapa pengusaha misalnya saja Sof­yan Wanandi, serta Ketua Kadin MS Hidayat, secara tegas menolak rencana kenaikan TDL ini.
Ada satu kecenderungan yang se­harusnya ini tidak boleh terjadi, antara satu BUMN dengan BUMN lainnya yang seharusnya saling sinergis ternyata saling mematikan. Kenaikan TDL de­ngan alasan BBM naik, setelah itu BUMN lain­nya, juga demikian. Padahal Indo­nesia punya gas, minyak bumi, dan sum­ber daya lainnya.
“Kemungkinan besar TDL tetap di­naikkan. DPR RI, apalagi DPRD sudah tak bisa lagi diharapkan. Tampaknya me­reka lebih senang rakyat yang memilih mereka saat pemilu hidup men­derita,” kata Suhud.
Asmaniar, Anggota DPRD Kaliman­tan Barat dari Fraksi Partai Amanat Na­sional (PAN) tidak menyangkal bahwa banyak kebijakan pemerintah yang justru memperburuk kondisi masya­rakat. DPRD sendiri diakuinya saat ini tidak bisa berbuat banyak dalam mengontrol kebijakan pemerintah Pusat karena memang ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang diputuskan tanpa harus meminta persetujuan dari DPR.
“Seluruh masyarakat Kalbar pun misalnya berdemo menolak suatu kebijakan, paling DPRD hanya melan­jutkan tuntutan itu untuk disampaikan ke pusat. Namun di sini DPRD tidak bisa mengambil keputusan yang signifikan,” jelasnya.
Asmaniar mengakui kebijakan BBM beberapa waktu lalu membuat kehidu­pan masyarakat semakin bertambah susah. “Saya akhir-akhir ini turun ke lapangan, saya melihat multiflier effect (dampak lain yang mengikutinya-red) itu begitu dahsyat, saya kira kebijakan pemerintah bukannya memberantas kemiskinan, tetapi memberantas orang miskin,” jelasnya.
“Saya ngeri membayangkan bila nantinya pemerintah jadi menaikkan tarif dasar listrik. Sekarang saja Kalbar masuk dalam urutan daerah miskin di Indonesia. Bila nantinya TDL jadi di­naikkan, dengan kondisi yang ada se­per­ti ini bisa jadi suatu saat akan ada generasi yang hilang,” tuturnya.
Kalbar sendiri telah mendapat dua musibah besar, pertama kenyataannya banyaknya PHK perusahaan kayu. Dengan tutupnya banyak perusahan kayu, ribuan pekerjanya terpaksa dirumahkan. “Ke mana mereka setelah itu. Saya kira mereka akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang baru, karena lapangan pekerjaan semakin sempit.”
Belum selesai masalah itu, kemu­dian pemerintah menaikkan harga BBM. Itu membuat penderitaan mereka semakin bertambah. Sementara itu, upaya agar rakyat tidak bergejolak dan bisa tutup mulut menerima kebijakan pemerintah ini, maka diberilah bantuan langsung tunai (BLT). “Inikan bentuk penyuapan negara terhadap rak­yat­nya,” kata Asmaniar.
Lihat saja beberapa perusahaan terancam gulung tikar atau setidaknya harus mem-PHK karyawannya, karena sulitnya untuk bisa bertahan. Con­tohnya di Kakap, dulu sebelum kenai­kan BBM, para pengumpul ikan kering mampu menghasikan 5 ton, tetapi se­jak BBM naik berkurang jauh sekali, ha­nya 200 kilogram saja. Bukan karena ti­dak ada ikan, tetapi karena tidak mam­pu melaut karena mahalnya ba­han bakar.
Perusahaaan masih beradaptasi atas kenaikan harga BBM, sementara ekonomi biaya yang tinggi masih sulit untuk dipangkas. Sehingga banyak perusahaan yang terpaksa mengurangi tenaga kerjanya untuk menyesuaikan dengan kemampuan perusahaan. “Nah ini kan akan berpengaruh juga terha­dap masyarakat secara keseluruhan. UKM misalnya, yang selama ini berjasa besar dalam menopang perekonomian di Kalbar. Dengan beban produksi besar, mereka akan sulit untuk berta­han,” jelasnya.
Menurut Jumadi SSos, MSi, dosen Magis­ter Ilmu Sosial Untan, idealnya dalam masyarakat demokratis, formu­lasi kebijakan pemerintah mesti ada partisipasi publik, mulai dari peren­canaan, implementasi, sampai pada evaluasi. Dan ini menjadi salah satu syarat adanya good governance.
Kaitan dengan kebijakan pusat, seperti misalnya kenaikan BBM, perlu ada kontrol dari rakyat. Artinya, pe­merintah tidak boleh sembarang me­mutuskan kebijakannya tanpa ada par­tisipasi rakyat. Sebelum sebuah kebi­jakan dibuat dan diputuskan perlu dia­komodir apa yang diharapkan dan ke­bu­tuhan daerah.
Dalam Undang-undang No 25 Ta­hun 2004 tentang Perencanaan Negara disebutkan bahwa dalam perencanaan pembangunan makro yang strategis perlu ada keterlibatan masyarakat didalamnya.
Persoalannya, dalam implementasi, kapasitas sebagian rakyat masih le­mah. Memang seharusnya ada pem­ba­ngunan kapasitas masyarakat. Sehingga sejak perencanaan sampai evaluasi, kontrol untuk kebijakan- kebijakan pemerintah cukup kuat.
Tetapi sayangnya, walaupun di aura politik yang serba terbuka, sesungguhnya kapasitas rakyat masih belum bergeser ke arah lebih baik. Dalam hal ini, terjadi ketimpangan yang cukup lebar antara rakyat dengan penguasa.
Reformasi lebih banyak dinikmati oleh elit-elit politik. Muatan politik dan kepentingan partai lebih kental. Misalnya pada kasus impor beras. Sehingga kemudian kepentingan yang lebih besar kalah oleh kepentingan politik sesaat.
Yang dikawatirkan, akan muncul krisis kepercayaan, di mana nantinya apapun kebijakan yang diputuskan tidak akan didukung rakyat. Padahal legitimasi pemerintah itu disandarkan suara rakyat. Sekarang ini ada semacam keje­nuhan, di mana apapun yang disua­rakan rakyat, sepertinya tidak ditang­gapi pemerintah. Sehingga rakyat sepertinya sudah apatis dengan segala kebijakan pemerintah.
Pemilu Presiden memang memba­wa konsekuensi bahwa posisi antara eksekutif dan legislatif sama kuat. Tetapi bukan berarti tidak bisa dikon­­trol. Di dalam negara demokratis dalam konteks menjalankan fungsi negara perlu ada kontrol dari rakyat. Jangan sampai seperti yang dikatakan Thomas Hobbes, dalam buku “Leviathan,” ne­gara menjadi serigala yang siap me­mangsa rakyatnya.
Turiman Faturahman SH, Akade­misi Untan, mengatakan, mengapa kebijakan-kebijakan yang dibuat cenderung membuat persoalan lain, karena dalam pengambilan keputusan itu tanpa ada data base yang valid. Kelemahan adminitrasi pemerintahan memang pada data base. Padahal data base yang valid begitu penting dalam pengambilan keputusan suatu kebija­kan. Maka jangan heran bila kebijakan yang diambil itu justru membuahkan masalah lain.
Dalam hal mekanisme konsultasi publik, adanya masyarakat hanya untuk justifikasi saja. Formalitas dan asal ada.
Ada yang disebut teori korelasi atau teori mata rantai yaitu paradigma ekonomi konsumtif. Misalnya saja PDAM akan menaikkan tarifnya, pihak pengelola berkata,” kami akan mena­ik­kan 100 persen”. Tentu kemudian akan ada resistensi (penolakan). Nah untuk mengapresiasikan penolakan itu, kemudian akan dicapai angka 20 persen, misalnya. Memang naiknya tidak sampai 100 persen, cuma 20 persen, tapi tetap naik bukan? Karena sebelumnya yang diblow up kenaik­kannya 100 persen, maka ketika cuma naik 20 persen, rakyat berpikir “Masih untung, daripada naik 100 persen.”
Ini yang namanya kamuflase kebija­kan. “Itu trik. Itulah wilayah strategi politik.” Dan sayangnya rakyat tidak me­nyadari hal itu.
Memang semestinya, ada hal yang le­bih urgen untuk diselesaikan saat ini, ya­itu pemberantasan korupsi. Ini adalah sumber masalah yang ada di in­donesia. Sementara kenaikan BBM, a­tau jika jadi TDL naik, adalah akibat da­ri korupsi yang terus menggurita. Inefesiensi Pertamina, PLN, atau insti­tusi pemerintah lainnya juga jadi se­babnya. Layak dipertanyakan, ba­gaimana mungkin pertamina bisa rugi, dan PLN bisa tekor, bila ternyata dua BMUN ini yang punya monopoli sumber daya alam.
***
Banyak pilihan kebijakan yang tidak pro rakyat. Namun DPR yang menjadi wakil rakyat dengan kenaikkan itu tidak bisa berkutik sama halnya dengan masyarakat kebanyakan. DPR yang se­mestinya mengontrol kebijakan peme­rintah ternyata tidak menjalankan fungsinya. Jika demikian siapa yang ber­tanggung jawab atas segala ma­salah ini?
Edy Suratman berpendapat, Ang­go­ta DPR RI dari daerah pemilihan Kal­bar yang seharusnya berjuang untuk daerah. “Buat apa mereka dipilih kalau bukan untuk menyalurkan aspirasi rakyat,” jelasnya.
Ketika pemerintah sampai dua kali menaikkan harga BBM, rapat Paripurna yang diusulkan oleh Fraksi Kebangkitan Bangsa batal digelar DPR karena seba­gian besar anggotanya menyetujui kenaikan BBM. Hal ini juga terulang ke­tika pemerintah mengambil kebi­ja­kan impor beras. Malah pada kasus ini berakhir tragis karena DPR mengusul­kan hak angket yang kemudian kandas. Kemana anggota DPR RI itu?
Padahal masyarakat telah membe­rikan kepercayaan kepada mereka, tak tahu mengapa malah menyakiti hati rakyat, dasar udah kepalang nyaman kali ya ?” ucap Suhud, dari Comitte Cen­tral Jaringan Mahasiswa Kaliman­tan Barat (JMKB).
***
Kini, penduduk miskin baru terus bermunculan. Kemiskinan sampai saat ini masih menjadi masalah besar di Indonesia, walaupun isu kemiskinan itu sendiri tidak selalu menjadi isu popular dalam pemerintahan kecuali setelah pencanangan Millennium Development Goals (MDGs) yang disepakati oleh negara-negara di dunia. “Dalam kehidupan bernegara pengentasan kemiskinan merupakan salah satu tugas utama pemerintah, tapi sampai saat ini masih terabaikan,” kata Dr Fariastuti, Dosen Fakultas Ekonomi Untan.
Akhir-kahir ini di beberapa daerah terjadi kasus busung lapar, balita de­ngan gizi buruk yang mencapai 1,67 ju­ta dan berbagai penyakit akibat bu­ruk­nya kualitas hidup.
Menurutnya, walaupun secara formal sudah menjadi dalam tujuan MDGs, namun paradigma pemerintah dalam pengentasan kemiskinan belum berubah secara substansial. Seperti pembangunan lainnya, program pem­be­rantasan kemiskinan masih dilak­sanakan secara parsial, jangka pendek, bersifat proyek, dan massal dalam arti mengabaikan beragamnya penyebab kemiskinan.
Bagi Fariastuti, membiarkan pen­duduk miskin tetap menjadi miskin atau lebih miskin dan munculnya penduduk miskin baru akibat kebijakan yang tidak tepat merupakan kejahatan kema­nu­sia­an bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk membuat perubahan agar kehidupan lebih baik.
Dengan menggunakan pendekatan ga­ris kemiskinan makanan dan non ma­kanan yang dikonversi dalam ru­pi­ah, jumlah penduduk yang hidup di ba­wah garis kemiskinan pada tahun 2004 ya­itu 558, 2 ribu jiwa atau sekitar 13,91 persen dari seluruh penduduk Kal­bar. Parahnya lagi, tidak adanya program pengentasan kemiskinan yang efektif dan penciptaan lapangan kerja.
Kemiskinan memiliki dimensi yang luas bukan hanya ekonomi, tetapi juga non ekonomi. Dengan menggunakan Pendekatan Indeks Pendekatan Manu­sia (IKM-human Poverty indeks), Me­nu­rut data BPS dan Bapenas pada tahun 2004, dimensi kemiskinan Kalbar dilihat dari aspek yang terkait dengan kesehatan mencakup persentase penduduk yang tidak survive sampai usia 40 tahun yaitu 18,1 %, penduduk tanpa akses air bersih 78,5 %, tidak mampu mengakses fasilitas kesehatan 50,1 %, persentase anak usia di bawah 5 tahun yang kurang gizi 33,2%, serta aspek pendidikan mencakup per­sentase penduduk dewasa buta huruf 18,1 %.
Namun menurut Dr Zulkarnaen, Ketua Program Studi Magister Ilmu Sosial, belum ada perhitungan yang pasti apakah ada korelasi antara kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dengan tingkat kemiskinan masya­rakat. Hanya saja diakuinya, selain faktor budaya, etos kerja misalnya, kemiskinan memang bisa disebabkan secara struktural, misalnya saja disebabkan oleh suatu kebijakan. Saya ambil contoh, investor sulit masuk bila suasana yang tidak kondusif, adanya ekonomi biaya tinggi, perijinan yang berbelit-belit, dan juga lemahnya penegakan hukum. Ini secara tidak langsung mempengaruhi tingkat kemiskinan. Mengapa? Ya karena seharusnya bisa menyerap tenaga kerja, tapi karena persoalan itu sehingga gagal.
***
Dalam upaya pengentasan kemis­kinan, menurut Fariastuti, pemerintah seharusnya menggunakan pendekatan berdasarkan hak. Dalam konteks anggaran pendekatan ini dapat dilihat dari besar anggaran dan proses penyusunannnya. “Misalnya alokasi anggaran 20 persen untuk pendidikan harus dipenuhi,” tambahnya.
Sekjend JARI Borneo Barat Faisal Riza, mengatakan pendekatan ini adalah ruang negosiasi antara rakyat dengan negara, maka prosesnya analisisnya diletakkan tidak dalam rangka agar tidak sekadar meributkan alokasi semata, namun lebih jauh dari itu adalah melibatkan patisipasi rakyat dalam proses perencanaan hingga penetapan anggaran.
Dan yang lebih penting adalah sejauhmana anggaran dimanfaatkan sehingga hak penduduk miskin terpe­nuhi. Doktrin negara kesejahteraan bahwa negara memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya. Namun hal ini diakui tidak mudah, ka­rena paradigma aparatur pemerintah dan sebagian masyarakat masih paradigma fisik yaitu kemajuan hanya dilihat dari fisik seperti bangunan.
Pembangunan Puskesmas, misal­nya, tidak akan berdampak optimal terhadap peningkatan kesehatan masyarakat jika tenaga medisnya jarang masuk kerja atau tidak ramah pada pasien. Pengentasan kemiskinan tidak cukup hanya dengan pemberian modal dan pendekatan fisik, jika misalnya penyebabnya karena etos kerja yang rendah dan tidak bekerja­nya mekanisme pasar.
Pedagang kaki lima (PKL) akan dipandang sebagai sumber ketidak­tertiban sehingga harus harus diter­tibkan, bukan sebagai katub pengaman di tengah kesulitan ekonomi sehingga perlu diatur dan diberdayakan. Dalam kenyataannya, proses penyusunan anggaran secara umum masih ter­ke­san lebih menekankan aspek formalitas yang selintas seakan sesuai dengan pedoman penyusunan ang­garan, padahal tidak ada perubahan secara substansial. Anggaran sebagai salah satu alat pembangunan yang paling penting hendaknya diman­faatkan untuk memberikan pelayanan warga negara secara keseluruhan dan bukan hanya untuk digunakan untuk mem­berikan kehidupan bagi seke­lom­pok orang.
Selama ini APBN/APBD lebih banyak digunakan pada hal-hal yang tidak jelas dan tidak terukur karena menekankan pada yang akan diterima dan dibelan­jakan saja. Kerangka ide anggaran berbasis hak dasar rakyat, menurut Wi­bi­sono, antaralain, mengacu pada prin­sip-prinsip hak dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), bahwa hak merupakan hal yang tak terpisahkan, dan semua orang yang lahir dengan hak yang sama.[]

Sanusi, Si Petani Lebah Kalbar

oleh: Heriyanto dan Dedy Armayadi

Sanusi membuka kotak ko­loni le­bah madu itu. Sam­bil mengibas-ngibas­kan po­to­ngan karung goni yang ber­a­sap, tanpa rasa ta­­kut ia mengangkat sarang lebah. Be­gitu ke­­luar dari kotak, sebagian le­bah-lebah pun beterbangan. “Jangan dite­pis,” se­ru­nya ketika lebah-lebah itu me­nga­rah ke wajah kami yang akan me­ngam­bil gambar.
Sa­rang itu tampak hitam dipenuhi le­bah. Pada beberapa tempat yang tak dihinggapi lebah terlihat madu yang berwarna kecoklatan. Hanya dibagian atas sarang saja yang terlihat putih de­ngan lubang-lubang kosong. “Kalau sa­rangnya sudah membungkus madunya, itu ber­arti boleh dipanen,” jelas Sanusi seraya menunjuk sarang yang diang­kat­nya itu.
Kemudian Sanusi mematahkan se­dikit sarang berisikan madu, lalu ia be­ri­kan kepada kami. “Ayo dimakan,” seru­nya. Dan kami pun merasakan madu itu.
Bagaimana rasanya ? “Ehm..., ma­nis seperti paras Dian Sastro,” kata Dedy bercanda. Kami pun tergela.
***
Sanusi adalah seorang peternak le­bah madu “Istana Lebah”, Sungai Ku­nyit, Kabupaten Pontianak. Ia membu­di­dayakan lebah di halaman rumah dan di ke-bunnya. Kotak-kotak berukuran kurang lebih 60 cm x 40 cm berisi ko­loni-koloni lebah dari jenis lokal (Avis cerana) ia letakkan di 4 titik rumahnya yang berada di Jalan Manunggal XIII No 1 RT 01 RW 02 Sungai Kunyit. “Se­ba­gi­an saya taruh kotak di kebun,” ung­kap Sanusi yang saat ini memiliki 25 kotak koloni lebah, di mana dalam satu koloni berisikan sekitar 10.000-20.000 lebah.
Pria yang juga guru di sebuah Seko­lah Dasar Negeri Sungai Kunyit ini meng­­ge­luti budidaya lebah madu sejak tahun 1983. Kemampuannya membu­di­dayakan lebah datang dari orang­tuanya. Orang-tuanya sendiri adalah pe­rintis usaha perlebahan madu di daerahnya.
Menurut Departemen Kehutanan (2001), di Indonesia usaha perlebahan madu meliputi tiga jenis lebah, yaitu bu­di­­daya lebah jenis lokal (Apis ce­ra­na), jenis lebah Eropa (Apis melli­fera), dan pemungutan madu lebah hutan (A­pis dorsata).
Di Kalbar, yang lebih banyak adalah pemungutan madu lebah hutan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hu­tan, seperti masyarakat di kawasan Ta­man Nasional Danau Sentarum, Ka­puas Hulu. Sementara budidaya lebah madu seperti yang dilakukan Sanusi ti­dak terlampau banyak.
Menurut Sanusi lebah yang dapat dibudidayakan di Kalbar hanya jenis Apis cerana. Sedangkan lebah jenis le­bah Ero­pa sulit dibudidayakan di Kal­bar. “Sa­ya pernah mencoba membawa dan mengem-bangkan beberapa koloni le­bah madu itu dari Jawa, namun hasil­nya gagal. Le-bahnya tidak mampu menyesuaikan de-ngan kondisi di sini,” kata Sanusi.
Dalam pengembangan lebah madu, Sanusi mengakui terdapat beberapa kendala. Misalnya saja ketika tanaman bunga atau pohon yang menjadi pakan lebah mulai berkurang. “Madu ada, jika ada bunga, “ kata Sanusi.
Dahulu seki­tar tahun 1980-an sampai 1990-an, ba­nyak sekali pohon rambai di sekitar ru­mahnya. Waktu itu boleh dibilang ma­sa jaya-jayanya men­dapatkan madu. “Sayangnya ram­bai saat itu tidak laku dijual dan kurang menghasilkan, sehingga orangtua saya menebangi po­hon-pohon itu. Sejak saat itulah ma­du tak banyak lagi,” kata Sanusi. Kini, di sekitar rumahnya hanya terdapat buah kelapa. Madu yang dihasilkan tak lagi banyak.
Se­lain itu, ada satu hal yang me­mang persoalan remeh, tapi sangat ber­­pe­ngaruh dalam pengembangan le­bah madu, khususnya bagi pemula. “Ba­nyak di antara pemula yang saya bi­na kemudian berhenti karena tidak ta­­han dengan sengatan lebah. Bagi orang yang sudah lama sih tidak masa­lah, karena sudah terbiasa, tetapi bagi mereka yang baru, itu sangat berat,” pa­par Sanusi.
Soal pemasaran, Sanusi tidak me­ne­mui kendala karena banyak sekali per­mintaan madu. Bahkan ia sering ke-habisan stok. Banyak pembeli yang da-tang kepadanya untuk mencari ma­du asli. “Kalau jual madu gampang, me­reka datang sendiri cari madu asli. Da­lam sebulan bisa 10 orang cari ma­du ke sini, cuma kadang stok madunya ndak ada,” ujar Sanusi.
Satu botol volume 650 ml ia jual Rp 100.000 per botol, sedangkan untuk 150 ml madu harganya Rp 30.000 per botol. Jika dibandingkan dengan harga di pa-saran, harga jual madu Sanusi ini tergolong mahal. Di pasaran, seperti yang dijual di pasar Swalayan dan mal Ma-tahari, serta di kios-kios di sekitar PSP, harga madu untuk volume 650 ml paling tinggi Rp 55.400 per botol.
Dalam sebulan paling sedikit Sanusi men­jual 2 botol madu atau mempero­leh Rp 200.000. Pada bulan Desem­ber-Januari, saat banyak bunga ber­me­­ka­ran, pendapatan madu bisa men­capai sejuta lebih.
Selain membudidayakan Lebah Ma­du, Sanusi juga sering menjadi pe­latih dan fasilitator. Dari berbagai dae­rah di Kalbar pernah datang ke tempat­nya un­tuk berlatih membudidayakan madu. “Me­reka ingin mengembangkan budi­daya lebah. Pernah datang ke sini dari Kabupaten Kapuas Hulu, Sanggau, Beng­kayang, Ketapang, Pontianak dan Sam­bas, mereka belajar bagaimana mem­budidayakan lebah madu,” kata Sanu­si yang pernah magang di Pusat Perlebahan Nasional, Parung Panjang, Bogor tahun 1996 dan di Istana Lebah Kab Batang, Semarang tahun 2001.
Setiap pelatihan pembudidayaan ma­­du, yang menjadi fassi­litator hanya Sanusi sendiri. Sedangkan peserta yang datang merupakan masyarakat dari berbagai ka­bu­paten di kalbar yang diba-wa oleh Unit Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA), atau Unit Taman Na­sional. “Kalau pulang mereka (pe­ser­ta-red) biasanya membawa 15-60 koloni lebah untuk dibudidayakan,” ung­kap Sanusi. Tapi, kendati peserta pela­tihan tersebut telah membawa koloni lebah madu, sampai sekarang tidak ter­dengar kabar bagaimana pembudi­da­yaan madu di daerah-daerah.
Selain sebagai tempat pelatihan, di lokasi pembudidayaan lebah madu Sa­nu­si juga sering menjadi tempat pene­litian mahasiswa. “Mahasiswa yang se­ring meneliti di sini dari Fakultas Kehu­tanan Untan,” ungkap Sanusi.
***
Upaya-upaya yang dilakukan oleh Sanusi ini bisa menjadi pilot projek pengembangan hasil hutan bukan kayu. Madu, di samping sumber hutan bukan kayu lainnya seperti rotan, tumbuhan obat, getah, dan lainnya, bisa menjadi alternatif sumber pendapatan ekonomi masyarakat.
Menurut data Departemen Kehuta­nan pada tahun 2001, kebutuhan madu di Indonesia diperkirakan lebih dari 2.200 ton pertahun, yaitu untuk meme­nuhi kebutuhan berbagai industri, mi­salnya, jamu, industri farmasi, kosme­tik, dan makanan dan minuman. Di ne­gara-negara maju, seperti Jepang, ting­kat konsumsi rata-rata 700 gram/orang/tahun; di negara-negara Eropa, ting­kat konsumsinya rata-rata 1.000 gram/per orang/ pertahun. Kondisi ini mem­buka peluang masyarakat dalam pe­ngusahaan madu, baik untuk kon­sum­si lokal maupun ekspor.
Sebelum pamitan pulang Sanusi se­m­­pat memberikan sebuah pesan, “U­­­­sa­­ha madu itu bisnis yang men­jan­ji­kan, apalagi saat bunga-bunga berme­ka­ran.” [].

Tuhan Tidak Tidur

Oleh: Heriyanto

SEDIKIT perenungan barangkali sangat dibutuhkan akhir-akhir ini. Suatu sore, saat gerimis hujan datang, dalam beberapa waktu saya berdiam diri. Pikiran ini menerawang. Berbagai persoalan di negeri ini menelisik satu persatu; dan akhirnya tiba pada suatu kata: Gusti Ora Sare.
Gusti ora sare jika diterjemahkan artinya Tuhan tidak tidur. Berarti pula bahwa Tuhan itu melek: Dia selalu sadar dan eksis. Belakangan kata ini sering muncul ketika banyak orang mengalami kebuntuan akan berbagai persoalan. Banyak orang yang melakukan korupsi namun tidak terjerat hukum; pembabat hutan bisa menikmati hasil jarahannya dengan nyaman; orang yang berkuasa tidak ingat dengan amanahnya; penegak hukum melanggar hukum; atau para penjahat hidup dengan bebasnya. Kebuntuan itu lantas mewujud dalam keputusasaan. Dan atas keputusasaan itu kemudian muncul: biarlah semua berperilaku seenaknya, ingat Tuhan itu ada; Biar Tuhan yang akan menghukum. Barangkali itulah terjemahan sederhana Gusti Ora Sare. Di langit dunia yang terbuka ini, kita hanya menjalani sebuah mekanisme yang sudah digerakkan oleh 'tangan' Yang Kuasa.
Ketika bencana menderu-deru, kita pun juga berujar, Gusti ora sare: Tuhan tidak tidur. Jika diibaratkan mangkuk dan manusia berada dalam mangkuk itu, maka datangnya bencana dengan mudahnya seperti air yang ditumpahkan ke dalam mangkuk itu. Kita tinggal berharap, Tuhan akan menyelamatkan kita. Di sini Gusti ora sare lebih bermakna sebagai sebuah pengakuan bahwa Tuhanlah Maha Kuasa atas mahkluknya.
Manusia tidak mampu menolak bencana. Apa ada orang yang mampu menolak banjir, gempa, atau tsunami? Wahai banjir, wahai tsunami, wahai gempa, jangan datang ke tanah kami! Tentu saja manusia tidak berdaya untuk itu. Berbagai bencana bisa datang suatu waktu, saat kita tidur atau terjaga.
Hidup di negeri dengan sistem yang sudah amburadul tentu bukan pilihan. Begitu pula hidup di negeri bencana. Dan karena itu bukan pilihan, kita tidak bisa menolak ketika suatu waktu tiba-tiba hal itu datang. Lantas, jika begitu apa yang bisa dilakukan manusia?
Adalah penting kemampuan manusia untuk memahami alam ini dan gejala-gejala akan datangnya bencana. Early Warning System atau sistem peringatan dini sangat diperlukan dalam hal ini. Ketika kita tidak mampu menolak bencana, prediksi akan datangnya bencana setidaknya akan membantu kita dalam mempersiapkan segala kondisi dalam menghadapinya dan mengurangi segala dampak mengerikan ketika bencana itu datang: korban jiwa, harta benda, dsb.
Persoalannya, selama ini kita baru bersibuk setelah bencana datang. Kita sibuk mengumpulkan sumbangan di jalan, kita ribut soal tim penanganan korban, koordinasi yang kurang baik antar instansi yang terkait, dsb. Pokoknya sibuk sana sini. Dan itu terjadi setiap kalinya. Karena saking seringnya hal itu terjadi sehingga sepertinya menjadi normal saja. Tetapi apakah kita mau seperti keledai yang berkali-kali terperosok lubang yang sama? Tentu saja sudah cukup berbagai bencana yang sudah terjadi itu menjadi pelajaran. Jika tidak, ya sudah, Gusti Ora sare.
Bila kita kemudian sadar akan peringatan ini, mungkin kita bisa berbuat sesuatu untuk mencegah bencana yang lebih dahsyat yang mungkin suatu saat akan 'bertamu' ke rumah kita? Banyak ahli yang mengatakan bahwa perubahan iklim dan cuaca belakangan ini karena semakin banyak hutan yang gundul. Pemanasan Global akibat rumah Efek Rumah Kaca adalah turunannya.
Dalam Filsafat kita mengenal kata kosmos yang berarti susunan yang teratur dari benda-benda. Pada masa kini lebih identik dengan alam semesta dan segala benda langit yang bergerak dengan teratur. Sistem alam yang kemudian terus ada itulah yang menjadi satu mekanisme tersendiri. Pandangan terhadap semesta ini, di mana segalanya secara kausal terkait dengan lainnya dikarenakan penyebab material, pernah mengantarkan Aristoteles pada teologi dan konsep Tuhan. Sebuah semesta yang dipengaruhi perubahan atau pergerakan abadi membutuhkan penyebab gerak pertama abadi yang tidak terelakkan.
Namun kosmos yang teratur ini tampaknya sudah mengarah chaos. Saat musim kering justru datang musim banjir, saat musim hujan justru beberapa daerah mengalami kekeringan. Makanya, yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengembalikan keseimbangan alam itu. Indonesia sudah digoyang dengan berbagai peringatan. Sekarang, peringatan akan tanda-tanda alam ini sudah ada, tergantung kita—manusia— untuk kemudian mengambil tindakan.
Bila secara alamiah manusia memiliki tujuan untuk memperoleh kebahagiaan, adakah alat yang bisa digunakan manusia untuk mencapai kebahagiaan? Apakah kekayaan, kehormatan, atau kejayaan? Ketika manusia tak lagi memperhatikan lagi bagaimana cara ia memperoleh kebahagiaan, maka itu akan menjadi masalah bagi manusia itu sendiri. Halal-haram, bantai. Banyak orang yang mengeruk alam secara berlebihan dan kemudian mecinderai keseimbangan alam. Banyak pejabat yang mengkorupsi dana untuk penghijauan, menilep dana pengelolaan untuk pelestarian hutan, dan sebagai.
Manusia tentu tak ingin terus menerus mengalami ketakutan dan ketidakamanan. Nah, di sinilah eksistensi sebagai manusia diuji. Mana yang akan dilakukan oleh manusia: kebajikan atau kejahatan? Manusia yang sadar akan memperbaiki diri dan memperoleh kebahagian lewat kebajikan, sementara manusia yang celaka akan terus mengulangi kesalahannya. Maka bukan kebahagiaan yang akan diperoleh, namun petaka. Bukankah Gusti ora sare? **

Membicarakan Kemiskinan

oleh: Heriyanto

Setiap negara tentu punya penduduk dengan kategori miskin, tidak terkecuali pada negara-negara maju sekalipun. Perbedaannya terletak pada penyebab, tingkat kemiskinannya dan pendekatan setiap negara itu dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan di negara itu.
Bagaimana dengan kemiskinan di Indonesia? Pasca krisis ekonomi tahun 1998, perekonomian Indonesia lumpuh sehingga memunculkan banyak penduduk miskin baru.
Bagaimana dengan Kalbar? Jika digunakan pendekatan Garis Kemiskinan makanan dan non makanan yang dikonversi dalam rupiah, jumlah penduduk yang hidup di bawah Garis Kemiskinan pada 2002 jumlah penduduk miskin Kalbar sebesar 644.200 jiwa atau 15,5 persen dari seluruh penduduk Kalbar. Sementara pada tahun 2004 yaitu 558.200 jiwa atau sekitar 13,91 persen (data BPS, 2004). Jika dibandingkan dengan daerah lain untuk tahun 2002 Kalbar ternyata menempati peringkat 30 dari 30 Provinsi di Indonesia.
Menurut Dr Fariastuti (2006), dengan menggunakan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM-Human Poverty Index) dimensi kemiskinan dilihat dari aspek yang terkait dengan kesehatan mencakup persentase penduduk yang tidak survive sampai usia 40 tahun, tidak akses pada air bersih, tidak akses pada fasilitas kesehatan dan persentase anak usia kurang dari 5 tahun yang kurang gizi serta aspek pendidikan mencakup persentase penduduk dewasa yang buta huruf.
Kemiskinan dan pengangguran ibarat dua sisi mata uang. Naiknya kemiskinan sejalan dengan bertambahnya jumlah pengangguran. Di Kalbar, banyak perusahaan yang memPHK karyawannya, terutama perusahaan kayu yang kolaps karena kekurangan bahan baku. Muncullah kemudian banyak pengangguran yang tentu saja sangat mempengaruhi tingkat kemiskinan di Kalbar. Sektor usaha yang masih bisa dijalankan oleh para pengguran itu adalah sector informal. Usaha rumah tangga (home industry), Pedagang Kaki Lima (PKL), misalnya masuk dalam kategori usaha informal.
Pada saat hantaman krisis ekonomi melanda Indonesia, sebagian besar pelaku ekonomi yang selama ini posisinya marjinal, informal, dan tidak mendapatkan fasilitas itu justru lebih mampu bertahan. Para pelaku ekonomi inilah yang sering disebut dengan ekonomi rakyat dan mampu menyelamatkan ekonomi Indonesia. De soto (1989) pernah menulis bahwa sektor informal sangat dinamis dan seringkali menjadi satu-satunya sumber bagi barang-barang dan jasa-jasa tertentu dalam lingkungan miskin. Hal ini berarti juga bahwa sector informal itu menjadi penyelamat bagi perekenomian sebuah negara yang sedang mengalami resesi.
Hal ini untuk sebagian memang benar karena informalitas ekonomi rakyat menyebabkan mereka tidak bisa mengakses lembaga keuangan formal dan terpaksa harus berhubungan dengan sumber pinjaman informal yang mengenakan bunga sangat tinggi.

Negara dan Kemiskinan Struktural
Menurut Francis Fukuyama, negara mempunyai fungsi yang beragam, mulai dari yang baik hingga yang buruk. Kekuasaan untuk memaksa yang memungkinkan mereka melindungi hak milik pribadi dan menciptakan keamanan publik, tetapi juga memungkinkan mereka mengambil hak pribadi dan melanggar hak-hak warga negaranya. Biasanya disebutkan bahwa persoalan kemiskinan karena budaya, mental, dan lemahnya kerja keras. Padahal tidak hanya itu: negara ternyata bisa menjadi penyebab terjadinya kemiskinan rakyatnya. Rakyat miskin bukan karena mereka malas, namun karena struktur kekuasaan yang ada telah membuat sebagian besar kaum miskin itu tidak mendapatkan akses dalam memberdayakan potensi yang mereka miliki. Inilah yang disebut sebagai kemiskinan struktural.
Penanganan masalah kemiskinan yang dilakukan pemerintah cenderung pragmatis jangka pendek. Pemerintah Indonesia menganggap orang miskin seperti pengemis. Sehingga yang kemudian dibuat adalah program-program bantuan layaknya sinterklas yang membagi-bagi hadiah. Muncullah program Raskin, BLT, dan sebagainya. Program-program seperti itu tentu sulit diandalkan untuk mengurangi jumlah rakyat miskin.
Sementara itu usaha informal belum dijadikan potensi daerah untuk membangun daerah. Pemerintah Indonesia banyak mencontoh negara lain, namun sayangnya lebih banyak hanya dari segi fisik saja. Misalnya para pejabat yang sering berkunjung ke negara-negara lain. Di sana mereka melihat negara yang mereka kunjungi tersebut tertata dengan rapi, indah dan menawan. Apa yang mereka lihat itu kemudian ingin diterapkan di Indonesia. Namun sayangnya yang dilakukan adalah dengan cara menggusur para PKL yang dianggap telah membuat tata kota tidak indah, tidak rapi, dan kotor. Padahal di negara lain, mereka tidak hanya menata kotanya, namun juga menyelesaikan persoalan kemiskinan di negara itu. Rakyat miskinnya diberikan akses sehingga mereka bisa membuat usaha yang layak. Dan dengan itu mereka mampu membangun usaha yang nyaman. Dan dengan itu kesejahteraan mereka meningkat. Peningkatan kesejahteraan mereka itu akan berpengaruh pada tata kota sehingga rakyat di sana bisa berdagang dengan segala usaha yang nyaman tanpa harus membuat kota menjadi tidak indah, tidak rapi dan tidak kotor.
Pertanyaannya, mengapa pemerintah di Indonesia masih menganggap rakyat miskin seperti pengemis? PKL dianggap sebagai pengganggu kebersihan tata kota dan sebagainya? Pemerintah Indonesia lebih senang membuat program-progam dengan cara pandang pragmatis, bahwa hal itu akan memberikan keuntungan. Misalnya saja pada program Raskin. Di situ mereka punya kesempatan untuk korupsi dari sistem yang mereka bangun. Contoh kasus lain sangat banyak misalnya pada program pengadaan barang dan jasa (kasus ini tidak dibahas dalam artikel ini).
Salah diagnosa para pejabat ini akan sangat berpengaruh terhadap berbagai program yang diluncurkan pemerintah. Padahal apabila kebijakan pemerintah itu tidak tepat bukannya akan mengurangi penduduk miskin, salah-salah akan menambah munculnya Orang Miskin Baru (OMB).

Belajar dari Muhammad Yunus
Muhammad Yunus adalah pendiri Grameen Bank bagi rakyat miskin di Bangladesh. Ia menerima Nobel Perdamaian 2006. Penulis membaca berbagai sumber tentang kiprah Muhammad Yunus, baik dari majalah, surat kabar, atau internet. Pemikiran-pemikiran Yunus sangat menarik untuk dibahas, dan kemudian bisa dijadikan satu referensi bagi upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Menurut hemat penulis, persoalan kemiskinan di setiap negara hampir sama. Seperti disinggung di atas, bahwa kemiskinan bisa disebabkan karena mereka tidak memperoleh akses untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki. Di sinilah gagasan yang melandasi pendirian Grameen Bank: Rakyat miskin itu menjadi miskin bukan karena tidak produktif, tetapi tidak memiliki modal. Jika kita mempekerjakan buruh yang miskin tanpa modal, mereka akan jauh lebih tidak produktif. Karena tidak produktif itu, mereka tak mampu mengumpulkan asset. Kemudian mereka terjebak di dalam lingkaran kemiskinan tanpa tahu harus berbuat apa.
Di dusun yang kumuh, Grameen Bank beroperasi dan memberikan kredit kecil kepada buruh, pengemis, dan orang-orang miskin di sana. Berbeda dengan bank-bank lain di Bangladesh yang menganggap bahwa kredit skala kecil tidak menguntungkan, Grameen Bank memiliki misi sosial: keluar dari kemiskinan. Kemiskinan ini wajib diperangi dan keluar dari kemiskinan adalah sebuah kemerdekaan. Modal kecil diberikan untuk membantu orang miskin memiliki hidup yang standard.
Selama ini bank-bank hanya mau meminjamkan uang kepada orang yang sudah punya "uang" dalam arti penghasilan dan aset. Bila kita ingin meminjam uang maka kita harus memberi jaminan, baik berupa surat motor, surat mobil, atau tanah, dan lainnya. Pendeknya kita harus punya penghasilan dulu baru bisa dipinjami uang. Artinya, hanya orang yang punya uang bisa meminjam. Lantas bagaimana dengan orang yang tak punya uang atau jaminan? Tentu saja tidak bisa meminjam ke bank. Lalu kepada siapa orang yang tidak punya uang meminjam uang? Kepada tengkulak, rentenir, dan sebagainya. Kebiasaan bank-bank ini dibalik oleh Yunus. Di Grameen Bank nasabahnya justru orang-orang miskin, terutama kaum wanita. Kiprah Yunus memberdayakan kaum papa telah dilakukannya sejak tahun 1974.
Filosofi yang dia bangun adalah bagaimana membantu kaum miskin agar bisa mengangkat derajat mereka sendiri. Dia tidak ingin memberi ikan, melainkan memberi pancing kepada kaum papa untuk mencari ikan sendiri. Tekad Yunus semakin bulat setelah mengetahui banyak orang yang untuk membiayai usaha mereka terjerat pada tengkulak. Yunus mulai mengembangkan program kredit mikro tanpa agunan untuk kaum papa yang tidak dapat mengakses pinjaman bank. Program ini menjadi semacam gugatan Yunus terhadap ketidakadilan dunia terhadap kaum miskin. Kini, bank ini memiliki 2.226 cabang di 71.371 desa. Hebatnya lagi, modal bank ini 94 persen dimiliki nasabah, yakni kaum miskin, dan sisanya dimiliki pemerintah. Bank tersebut kini mampu menyalurkan kredit puluhan juta dollar AS per bulan kepada 6,6 juta warga miskin yang menjadi peminjamnya. Sebanyak 96 persen nasabah bank ini adalah kaum perempuan.
Pinjaman tanpa agunan ini tidak dikenakan bunga dengan waktu pembayaran fleksibel. Syaratnya pinjaman harus dikembalikan dari hasil pekerjaan mereka dan bukan dari mengemis. Mereka diberikan tanda pengenal berupa pin dengan logo bank sebagai bukti bahwa ada bank yang mendukung kegiatan mereka. Bank Grameen bahkan membuat perjanjian dengan beberapa toko lokal agar meminjamkan mereka sejumlah barang, sesuai plafon utangnya, untuk dijual kembali. Bank menjamin pengembaliannya jika ternyata mereka gagal bayar.
Mereka menjual roti, permen, acar, dan mainan sembari mereka mengemis. Para pengemis, atau yang disebut struggling member terbuka untuk membuka tabungan di Grameen. Mereka juga dilindungi asuransi jika terjadi kematian. Hingga pertengahan 2005, sebanyak 31 juta taka pinjaman telah disalurkan bagi 47 ribu lebih pengemis. Sebanyak 15,4 juta di antara pinjaman itu telah dikembalikan.
Penutup
Kita bisa belajar dari Muhammad Yunus dalam perbaikan penanganan kemiskinan di Indonesia. Beberapa poin yang bisa disimpulkan: pertama, bahwa kemiskinan di Indonesia sangat dimungkinkan terjadi karena keterbatasan akses rakyat miskin dalam mengembangkan potensi yang mereka miliki secara mandiri. Pendekatan pemerintah melalui program bantuan secara fisik seringkali mengabaikan kemandirian masyarakat, sehingga justru memperlebar ketimpangan antar golongan masyarakat.
Kedua, hal yang perlu dilakukan untuk mengatasinya antara lain mengangkat derajat kaum miskin, seperti yang dilakukan Muhammad Yunus. Dia tidak ingin memberi ikan, melainkan memberi pancing kepada kaum papa untuk mencari ikan sendiri. Dengan adanya akses bagi usaha-usaha mandiri, kaum miskin itu bisa meningkatkan kesejahteraan mereka.
Ketiga, tentu saja butuh kepemimpinan yang punya sense of poor (sensitifitas terhadap kemiskinan) untuk melaksanakannya, seperti halnya Muhammad Yunus. Karena tanpa kepemimpinan seperti ini, berbagai program-program yang dilakukan pemerintah akan tetap berkutat pada cara-cara lama, sehingga kemiskinan akan sulit diatasi. **

Contextual Teaching and Learning


Oleh: Heriyanto

Kualitas kehidupan bangsa sangat ditentukan oleh faktor pendidikan. Kita tahu, jika kualitas pendidikan rendah, maka akan berakibat pada rendahnya kualitas kehidupan bangsa. Kenyataannya, pendidikan di Indonesia saat ini masih rendah, karena itu wajar saja bila kualitas kehidupan berbangsa juga masih rendah.
Hal ini berarti bahwa persoalan pendidikan itu kait mengakit. Sementara kaitan rendahnya mutu pendidikan ini, salah satunya, yaitu rendahnya mutu proses pembelajaran. Pendidikan di Indonesia cenderung sangat teoritik dan tidak terkait dengan lingkungan di mana siswa berada. Akibatnya peserta didik tidak mampu menerapkan apa yang dipelajarinya di sekolah guna memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan telah mencabut peserta didik dari lingkungannya sehingga mereka menjadi asing di dalam masyarakatnya sendiri,” tulis Heri Suderajat, mengutip penelitian Bazely.
Memang, selama ini, guru lebih banyak mengejar target yang berorientasi pada nilai ujian akhir, dengan menggunakan model konvensional yang monoton. Baik buruknya hasil belajar diukur dari tes soal pada ujian akhir nasional. Dengan standar nilai yang cukup tinggi, 4, 26, proses pembelajaran dikejar dan diarahkan supaya siswa bisa mengejar target nilai itu. Kekhawatiran banyaknya siswa yang tidak lulus menjadi pemicu lainnya. Siswa terus dipacu untuk belajar ekstra.
Akhirnya, aktivitas guru lebih dominan daripada siswa, sehingga seringkali dalam proses pembelajaran, siswa hanya menghafal ilmu pengetahuan yang disampaikan gurunya, bukan memahaminya. Proses belajar mengajar menjadi sesuatu yang membosankan dan tak menyenangkan.
Ditambah lagi, prestasi melalui proses persaingan antar murid begitu digencarkan. Perengkingan untuk menentukan murid terbaik, adalah implikasinya. Seakan-akan pendidikan hanya menjadi tempat mencari nilai tertinggi, bukan sebagai tempat belajar untuk memahami dan menemukan sendiri ilmu pengetahuan. Freire mengatakan, selama ini murid yang jenius adalah murid yang bisa ‘memfotokopi’ seluruh materi yang diberikan oleh gurunya. Guru lebih memperhatikan seorang murid dengan predikat juara kelas. Padahal ada 40-50 orang murid lain di kelas tersebut yang harus dikembangkan potensinya.
Sementara itu keberhasilan pendidikan hanya tampak dari kemampuan siswa menghafal fakta-fakta. Walaupun banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka seringkali tidak memahami secara mendalam substansi materinya.
Padahal tujuan Pendidikan Nasional seperti yang tercantum dalam UU. No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan nasional bertujuan mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia. Hal ini tertuang pada pasal 3 yang berbunyi: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam pengembangan kualitas SDM ini, peserta didik harus dikembangkan secara proporsional dari berbagai segi, baik rohani maupun jasmaninya, sesuai dengan bakat dan minatnya dan dalam konteks: sosio-budaya daerah yang mengacu pada kebudayaan nasional bangsa Indonesia yang mesti dipegang teguh dalam upaya menjaga kesatuan/ keutuhan nasional. Bukan hanya dari segi intelegensinya saja.
Sementara itu, pada pasal 5 Undang-Undang Sisdiknas juga disebutkan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu ... . Hal ini disebutkan pula dalam Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia yang berbunyi: Tujuan pendidikan yang sesuai adalah bukan menyelamatkan sistem melainkan memperkaya kehidupan banyak orang dengan menyediakan pendidikan yang lebih berkualitas, lebih efektif, lebih cepat dengan biaya yang terjangkau. Pendidikan adalah hak setiap orang. ......pendidikan tinggi dapat diakses secara sama oleh semua atas dasar kelayakan
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Ada kesadaran, apa yang dipelajari berguna bagi hidupnya nanti. Dengan begitu mereka memosisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti.
Namun, seberapapun bagusnya sebuah model pembelajaran, tidak akan bermanfaat banyak bila guru dan sekolah tidak mempraktekkannya, karena kurangnya pengetahuan tentang model pembelajaran tersebut. Menurut Profesor Djohar MS dan Professor Winarno seperti yang dikutip Paul Suparno, mutu pembelajaran pada semua jenjang pendidikan dikhawatirkan terus merosot akibat pembekalan nilai profesional pada calon guru selama pendidikan di perguruan tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Darling-Hammod dan Young tahun 2002 yang termuat dalam Educational Researcher (Kompas, 26/10/2004: hal 4) dengan tegas mengungkapkan, kebanyakan Fakultas Keguruan tidak siap menghasilkan guru yang profesional. Pengamatan yang telah dilakukan penulis ke beberapa sekolah, masih banyak guru-guru yang belum menerapkan pembelajaran kontekstual. Hasil wawancara dengan sejumlah kepala sekolah, ternyata masih banyak guru yang belum memahami apa itu pembelajaran kontekstual dan bagaimana menerapkannya dalam pembelajaran di sekolah.
Karena itu, FKIP sebagai pencetak tenaga pengajar harus mempersiapkan mahasiswanya sejak awal, agar lulusannya benar-benar siap mengajar dan tidak lagi gagap terhadap pembelajaran kontekstual. Kesiapan ini tentunya sangat diperlukan dalam proses pembelajaran di sekolah dimana mereka nantinya akan mengajar. **

Dampak Negatif Televisi bagi Pendidikan Anak

Oleh Heriyanto

Ada hal yang sangat menggelisahkan saat menyaksikan tayangan-tayangan televisi belakangan ini. Kecuali Metro TV, hampir semua stasiun-stasiun televisi, kini banyak menayangkan acara-acara (terutama sinetron) yang cenderung mengarah pada tayangan berbau kekerasan dan sadisme, pornografi, mistik (klenik), dan kemewahan (hedonisme). Tayangan-tayangan tersebut terus berlomba demi rating tanpa memperhatikan dampak bagi pemirsanya.
Nampaknya kegelisahan itu akan semakin bertambah karena tayangan seperti itu tidak hanya ditonton orang dewasa saja tapi juga anak-anak. Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, misalnya, mencatat, saat ini rata-rata anak usia sekolah dasar menonton televisi antara 30 hingga 35 jam setiap minggu. Artinya pada hari-hari biasa mereka menonton tayangan televisi lebih dari empat hingga lima jam sehari. Sementara di hari Minggu bisa tujuh sampai delapan jam.
Jika rata-rata 4 jam sehari, berarti setahun sekitar 1.400 jam, atau 18.000 jam sampai seorang anak lulus SLTA. Padahal waktu yang dilewatkan anak-anak mulai dari TK sampai SLTA hanya 13.000 jam. Ini berarti anak-anak meluangkan lebih banyak waktu untuk menonton televisi daripada untuk kegiatan apa pun, kecuali tidur (Pikiran Rakyat, 29 April 2004).
Lebih mengkhawatirkan, kebanyakan orang tua tidak sadar akan kebebasan media yang kurang baik atas anak-anak. Anak-anak tidak diawasi dengan baik saat menonton televisi. Dengan kondisi ini menjadi sebuah pertanyaan, bagaimana dampak tayangan televisi yang tidak mendidik bagi perkembangan anak-anak kelak?
Kita memang tidak bisa menyamaratakan semua program televisi berdampak buruk bagi anak. Tentu ada sisi baiknya juga, misalnya penyerapan informasi yang tidak didapat di sekolah atau di rumah. Namun disisi lain banyak lho dampak buruk yang diakibatkan oleh tayangan televisi itu.
Sudah banyak survei-survei yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana tayangan televisi dan pola menontonnya di kalangan anak-anak. Sebuah survei yang pernah dilakukan harian Los Angeles Times membuktikan, 4 dari 5 orang Amerika menganggap kekerasan di televisi mirip dengan dunia nyata. Oleh sebab itu sangat berbahaya kalau anak-anak sering menonton tayangan TV yang mengandung unsur kekerasan. Kekerasan di TV membuat anak menganggap kekerasan adalah jalan untuk menyelesaikan masalah (Era Muslim, 27/07/2004).
Padahal di televisi kita, suguhan tayangan kekerasan dan kriminal dikemas sedemikian rupa dalam program acara seperti patroli, buser, TKP dan sebagainya, dengan mudah bisa di tonton oleh anak-anak.
Sementara itu sebuah penelitian di Texas, Amerika Serikat, yang dilakukan selama lebih dari tiga tahun terhadap 200 anak usia 2-7 tahun menemukan bahwa anak-anak yang banyak menonton program hiburan dan kartun terbukti memperoleh nilai yang lebih rendah dibanding anak yang sedikit saja menghabiskan waktunya untuk menonton tayangan yang sama (KCM, 11/08/2005).
Persoalan gaya hidup dan kemewahan juga patut dikritisi. Banyak sinetron yang menampilkan kehidupan yang serba mudah. Tanpa bekerja orang bisa hidup mewah. Anak-anak sekolahan dengan dandanan yang aneh-aneh selalu dipajang sebagai pemikat. Sikap terhadap guru, orangtua, maupun sesama teman juga sangat tidak mendidik. Dikawatirkan anak-anak sekolahan meniru gaya, sikap, serta apa yang mereka lihat di sinetron-sinetron yang berlimpah kemewahan itu.
Peranan Orangtua
Memang televisi bisa memberikan dampak yang kurang baik bagi anak. Namun melarang anak sama sekali untuk menonton televisi juga kurang baik. Yang lebih bijaksana adalah dengan mengontrol tayangan televisi yang ditonton anak-anak. Setidaknya memberikan pemahaman kepada anak mana yang bisa mereka tonton dan mana yang tidak boleh.
Orang tua perlu mendampingi anak-anaknya saat menonton televisi. Orangtua juga perlu memberikan berbagai pengertian mengapa anak-anaknya perlu mengurangi menonton televisi secara berlebihan. Selain sarana membangun komunikasi dengan anak, hal ini bisa mengurangi dampak negatif televisi bagi anak. Kebiasaan mengonsumsi televisi secara sehat ini mesti dimulai sejak anak di usia dini.
Perlu dipahami bahwa tempat pendidikan paling utama adalah dalam keluarga, dimana orangtua adalah yang paling bertanggungjawab di dalamnya. Kenapa mesti orangtua? Karena orangtua yang bisa mengawasi anaknya lebih lama. Orangtua paling dekat dengan si anak. Dalam keluargalah anak bertumbuh kembang. Membiarkan anak menonton televisi secara berlebihan berarti membiarkan tumbuh kembang anak terganggu.
Banyak menonton televisi juga bisa mengakibatkan jam belajar anak terganggu. Kewajiban orangtua juga untuk memantau kegiatan belajar anak di rumah.
Perkembangan si anak tentu tidak bisa terlalu dibebankan pada sekolah. Dalam kesehariaannya, guru di sekolah tidak akan bisa mengantikan peran orangtua. Karena itu menjadi suatu keharusan bagi orangtua untuk tetap memperhatikan si anak selama di rumah.
J Drost SJ, seorang ahli pendidikan dari IKIP Sanata Dharma pernah menulis dalam buku Reformasi Pengajaran: Salah Asuhan Orantua? Bahwa tujuan pendidikan ialah membantu anak menjadi dewasa mandiri dalam kehidupan bermasyarakat. Dan orang itu adalah orang yang mengetahui akan dirinya, baik keunggulannya maupun kelemahannya, yang bertanggungjawab dan penuh perhatian terhadap sesama. “Penanaman nilai-nilai dalam pembentukan watak merupakan proses informal. Tidak ada pendidikan formal. Jadi seluruh pembentukan moral manusia muda hanya lewat interaksi informal antara dia dan lingkungan hidup manusia muda itu. Maka pendidik utama adalah orangtua (J Drost SJ, 2000)”. **

Menghibur Diri Sampai Mati

Oleh: Heriyanto
Televisi telah menjadi semacam sihir elektronik yang menyedot perhatian banyak orang. Televisi telah menjadi “Tuhan”. Bayangkan, betapa kita saat ini tidak bisa lepas dari benda bergambar ini. Selama 24 jam televisi hadir dan bisa dengan mudah masuk ke ruang-ruang keluarga, membawa tontonan kekerasan, mistik, dan berbagai acara yang tidak mendidik untuk ditonton tidak hanya orangtua tetapi juga anak-anak.
Namun kita (mungkin) tak menyadari bahwa selama ini kita belum mampu memanfaatkan televisi dengan baik. Alih-alih memanfaatkannya, kita justru menjadi korban. Korban yang selama waktu tak pernah menyadari bahwa ia adalah korban. Kita dihadapkan pada sebuah realitas, bahwa, pertama stasiun televisi semakin banyak dan dengan aneka program acara yang masuk ke ruang-ruang kelurga tanpa batas. Anak-anak dengan mudah bisa menonton suatu mata acara kendati pun itu tidak diperuntukkan buat mereka. Kedua, tampaknya perhatian anak-anak memang lebih besar pada televisi dibandingkan dengan waktu yang mereka habiskan untuk belajar. Tidak hanya prestasi anak yang dikhawatirkan menurun, tetapi juga ketidakmampuan orangtua dalam mengarahkan anak-anak mereka. Ketiga, ada sebuah kekhawatiran bahwa televisi berdampak pada perilaku, sikap, penampilan, dan pada akhirnya membuat masa kanak-kanak hilang.
Ariel Heryanto dalam rubrik Asal Usul Kompas pada 3 Desember 2006 pernah membuat sebuah anekdot. Katanya, seluruh jagat raya ini seakan-akan hanya sebuah mata acara televisi. Kita tidak bisa keluar darinya meskipun sudah memastikan pesawat televisi. Ternyata televisi tidak hanya menyampaikan rekaman atau laporan peristiwa yang sebelumnya terjadi. Justru sebaliknya, kehidupan nyata sehari-harinya dirancang, ditata, dan dijalani layaknya tayangan televisi yang pernah mereka tonton. Kita berkata, bersikap, dan berperilaku sesuai dengan acara televise yang kita tonton.
Semakin banyak acara televisi tidak lagi memperhatikan soal etika dan semakin banyak pula yang tidak bersahabat bagi anak. Di beberapa tempat ramai diberitakan bahwa seorang anak tewas setelah di-smackdown temannya. Rupanya si teman tadi meniru tayangan SmackDown di televisi. Sayangnya, hal ini selalu terulang, dan baru disadari dampaknya setelah korban berjatuhan.
Batasan seperti dalam Undang-undang penyiaran tidak dipatuhi. Ada aturan, namun diabaikan. Selama ini program acara yang dibuat production house itu keluar begitu saja tanpa mampu dibendung. Dan kita memang tidak berharap banyak pada lembaga seperti KPI.
Pada dasarnya televisi sebagaimana media lain secara garis besar punya 4 fungsi: pendidikan, sosial control, informasi, dan entertainment (baca: hiburan). Namun tampaknya fungsi terakhirlah yang dominan. Media televisi telah menjadi media bisnis raksasa sebagai saluran untuk meraih profit sebesar-besarnya.
Televisi ada karena di sana ada banyak keuntungan, dan keuntungan itu ada karena kita menjadi penikmat televisi yang paling setia. Bagi televisi rating adalah segala-galanya. Rating dihitung dari banyaknya orang yang menonton. Semakin banyak orang yang menonton semakin banyak keuntungan yang diperoleh, karena para pemasang iklan akan rela membayar mahal untuk program acara televisi yang punya rating tinggi, tak peduli acara itu mendidik atau tidak.

Kritikan Neil Postman
Tidak ada yang lebih menentang televisi selain Neil Postman, salah Seorang Filsuf Komunikasi dan Pendidikan Terbesar. Ia mengibaratkan televisi sebagai sihir elektronik. Neil Postman mengatakan bahwa kita menghibur diri sampai mati. “Kita belum mati namun kita akan memiliki otak yang hampa,” demikian kata-katanya yang saya ambil dalam buku 50 Pemikir Paling Berpengaruh terhadap Pendidikan. Jawaban ini merefleksikan “dunia” televisi yang serba cepat namun berpengaruh sangat hebat pada kehidupan kita. Televisi telah mengubah cara pikir, cara belajar, dan mengungkapkan diri kita.
Bagi Postman, sistem komunikasi elektronik modern yang membuat waktu dan jarak tidak lagi berarti merupakan pengganti yang buruk bagi abad eksposisi yang meliputi cara berpikir, metode belajar, dan sarana pengungkapan. Pendidikan sedang bergeser dari mengajar sebagai proses dialog menuju mengajar sebagai sebagai proses kegiatan hiburan.
Pada satu sisi televisi dapat sebagai sumber informasi yang mengandung daya tarik yang besar dan sumber pengalaman belajar yang utama. Namun perlu dicatat, hal ini terlaksana bila program acaranya secara substansif disusun dengan baik. Postman juga sering mengingatkan lewat tulisan-tulisannya, dan mendesak dunia pendidikan untuk sadar akan hilangnya masa kanak-kanak. Baginya, jika kita terus terjebak dalam teknologi, termasuk televisi, masa kanak-kanak sebagai struktur sosial akan hilang. Televisi telah menghilangkan perbedaan masa remaja dan anak-anak. Apalagi bila kemudian televisi membuat anak-anak berperilaku, berpenampilan, dan bergaya seperti orang dewasa. Sementara itu orang tua malah menjadi kekanak-kanakan.
Institusi sosial yang menurutnya mampu dan cukup kuat untuk menahan hilangnya masa kanak-kanak adalah keluarga dan sekolah. Sekolah harus mampu membuat anak tetap bisa menikmati masa kanak-kanaknya. Dan dari semua itu peran keluarga juga sangat besar. Dari keluarga anak-anak melalui proses kanak-kanak dan kemudian menuju kedewasaan. Namun tidak bisa dipaksakan kedewasaan itu muncul dengan sebuah tekanan. Biarkan anak-anak menikmati masa kanak-kanak mereka.
Di kampung, saya benar-benar merasakan menjadi seorang anak. Televisi waktu itu hanya ada TVRI. Saya tidak menghabiskan waktu untuk menonton televisi, walau memang ada waktu-waktu tertentu saya tetap menonton televisi. Keseharian saya dihabiskan dengan berbagai macam permainan tradisional yang sangat langka ditemukan untuk saat ini. Misalnya membuat mobil-mobilan dari kulit jeruk, membuat kelayang, atau mencari belut.
Ada sebuah kenyataan yang barangkali akan sangat menentukan bagaimana seorang anak ke depan, yaitu budaya instant. Tampaknya seorang anak kini dapat dengan mudah memiliki barang yang mereka inginkan. Televisi telah mengajarkan kepada anak untuk memilih mainan yang begitu gencar diiklankan, demikian pula dengan aneka makanan yang begitu menggiurkan. Anak-anak tak lagi mau bersusah untuk membuat mainan mereka sendiri, seperti ketika saya masih kecil.
Padahal anak-anak jaman sekarang akan menjadi penerus untuk masa mendatang. Jika kemudian muncul nilai-nilai baru, apakah akan menggeser nilai-nilai lama. Saya kira hal ini perlu menjadi perhatian keluarga dan sekolah. Dua institusi ini yang masih mampu untuk mengarahkan anak untuk masa depannya. Dan dengan begitu kita akan sadar bahwa sekolah perlu ada semacam evaluasi ulang. Sehingga kita tidak berpikiran, jangan-jangan sekolah menjadi pengesah dari kemusnahan masa kanak-kanak dengan berbagai tekanannya.
Saya kira kita juga sepakat bahwa televisi tetap dibutuhkan dan bisa menjadi sumber informasi. Namun di sudut lain kita juga mesti waspada, karena di sana ada sisi gelap yang bisa-bisa membawa kita pada kehancuran generasi penerus bangsa. Karena kita tahu bahwa televisi adalah sebuah industri yang keberlangsungannya sangat ditentukan oleh para penontonnya, maka untuk mengantisipasi pengaruh televisi bagi anak-anak adalah dengan mengontrol tayangan mana yang bisa mereka tonton dan mana yang tidak. Dan semua itu sangat ditentukan dalam sebuah keluarga. **

Simbol dan Citra

Oleh: Heriyanto

Ini pekerjaan yang sering dilakukan pejabat: hadir da­lam suatu acara-acara simbolis untuk merayakan cit­ra. Dulu kita sering melihat di televisi senyum Pak Harto mengembang dalam suatu acara simbolis pem­bukaan panen raya atau acara simbolis lain. Para pejabat lain pun ikut mendampingi. Di samping Pak Harto hadir beberapa menteri dan gu­bernur tempat acara itu berlangsung. Para pengganti Pak Harto pun mela­ku­­kan hal yang sama: meresmikan secara sim­bolis penanaman pohon untuk peng­hijauan, acara simbolis bersih-bersih sampah, acara simbolis pengentasan ke­mis­kinan, dan sebagainya.
Belakangan ini ketika Pilkada sedang ha­ngat-hangatnya, acara-acara simbolis itu semakin marak. Pelakunya, para kon­testan Pilkada. Jadilah para calon pe­ja­bat itu tukang potong tumpeng, pemu­tus pita, pemencet sirine atau pemukul gong. Fenomena lain adalah maraknya politikus yang jadi us­tadz, gubernur yang hobi safari, dan ada anggota DPR yang sering bikin iklan di koran. Sebagian lain rajin mem­ba­­gi-bagikan sembako dan paling sibuk menghadiri acara-aca­­­ra yang ramai massanya, diliput media dan besoknya akan terpampang di halaman koran.
Melihat fenomena ini saya teringat istilah yang cantik da­­­ri Yasraf A Piliang (2005): nomadisme politik. Istilah da­lam buku Transpolitika ini bisa diartikan kecendrungan po­­litik yang tidak tetap, perilaku aktor-aktor politik yang be­­rubah-ubah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu ben­­tuk ke bentuk lain, dari satu identitas ke identitas lain. Ten­­tu saja perubahan ini tergantung kepentingannya.
Sampai di sini ada dua kata kunci yang akan kita bahas. Per­­tama, soal citra pejabat di depan publik. Kedua soal ke­­mampuan media massa dalam menyampaikan realitas. Per­ta­nyaannya, apa itu citra? Dan apakah media mampu meng­gambarkan realitas secara penuh?
Perlu kita pahami bahwa apa yang kita ketahui soal per­kembangan dunia di luar lingkungan terdekat kita se­ba­gian besarnya adalah konstruksi atau ben­t­ukan dari media (koran, radio, in­ter­net, atau televisi) yang kita baca, de­ngar, atau tonton. Walaupun ada juga yang kita dapatkan secara langsung ber­dasarkan pengalaman sehari-hari. Gam­ba­ran kita pada sosok presiden SBY mis­al­nya, sebagian besar adalah apa yang di­sampaikan media. Atau soal remeh te­meh gaya batuknya mantan presiden Soe­harto juga kita ketahui dari media mas­sa (televisi). Coba ingat, dulu di TVRI, Pak Harto selalu mendehem se­be­lum berpidato. Kita yang di Ponti­anak ini tahu tentang kelakuan para pe­ja­bat di Jakarta, juga dari media massa. Tapi, ups. Kelakuan pe­jabat di Kalbar juga kebanyakan kita tahu dari media massa.
Dalam contoh di awal paragraf, Pak Harto juga para kon­testan calon gubernur boleh dibilang sedang mem­ba­ngun citra. Citra ini diperlukan untuk pengesahan bahwa dia layak mendapat tempat di masyarakat. Bagi calon pejabat hal ini dilakukan untuk memikat pemilihnya, bagi para me­reka yang sudah menjabat ini dilakukan agar dianggap baik, pe­dulian, dan mengerti masalah rakyat.
Barangkali betul, bahwa kita sudah dikepung dunia citra. Du­nia citra sangat didukung adanya media massa. Yang kita li­hat di media massa bisa jadi adalah representasi dari dunia rea­litas, namun boleh jadi- ini yang lebih sering- hanya meng­gambarkan ujung pendek dari realitas. Dengan me­ma­kai kajian hermeneutika, kita biasanya sering bicara soal teks dan konteks (realitas). Pertanyaan yang sering diajukan, apa­kah dunia teks itu mampu merepresentasikan sebuah rea­litas secara keseluruhan?
Di media kita mengenal istilah simulakrum. Se­der­ha­nanya, ada bagian-bagian dari realitas yang hilang, sehingga bi­sa jadi sebenarnya yang ditampilkan oleh media, hanya se­pertiga, seperenam, sepersepuluh, dan seterusnya, dari rea­litas yang ada. Dengan demikian apa yang kita pahami pun tak akan sepenuhnya sama dengan realitas yang terjadi, ter­gan­tung bagaimana media menyampaikannya.
Dalam pencitraan tertentu di situ diperlukan adanya sim­­bol, baik itu simbol-simbol agama, ideologi, etnis dan lain-lain. Di Indonesia yang paling sering dipakai adalah sim­bol-simbol keagamaan. Simbol-simbol ini mampu mem­berikan reaksi yang besar bagi penganutnya. Sensifitas ke­aga­maan memang sering dimanfaatkan dalam membangun pe­ngaruh. Makanya jangan heran bila para kontestan Pil­kada akan berubah menjadi pengkhotbah, ceramah di sana sini, meskipun mereka sebenarnya bukan seorang pen­ceramah. Dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan- dalam Islam misalnya kopiah, sarung, dan baju koko- mereka akan mencitrakan diri sebagai orang yang taat beragama. Kita dan sebagian dari kita barangkali akan terkesima dengan pe­nampilan itu.
Tujuannya jelas, siapa yang mampu menguasai dunia citra dan simbol diyakini akan mempunyai satu kekuatan, yang oleh Antonio Gramcy disebut sebagai hegemoni makna. Se­buah kekuatan yang bisa mempengaruhi orang lain namun dengan tanpa disadari karena pengaruh ini berjalan begitu halus. Anda mung­kin tidak perlu berbicara secara langsung dengan sese­o­rang namun an­da tetap da­pat mempe­nga­ru­hinya de­ngan meng­giring apa yang dipikirkannya. Hegemoni oleh Gramcy dianggap seba­gai sebuah kekuatan besar. Dengan hegemoni pikiran orang bisa diarahkan pada tujuan ter­tentu. Ini semacam bentuk ko­munikasi yang sangat modern dikembangkan oleh ber­bagai tokoh dalam mem­pe­ngaruhi kekuatan kekuatan massa. Ini sangat dimungkinkan terjadi dengan semakin ber­kem­bangnya dunia media. Namun yang sangat berbahaya bila ada manipulasi ke­nyataan yang ujung-ujung menjadi ke­bo­hongan publik.
Dalam pandangan kritis, suatu realitas tidak sepenuhnya bi­­sa tergambarkan oleh sebuah media. Sebuah pantulan dan tampilan yang diciptakan sangat baik, sehingga terkesan itu seperti alami dan menghasilkan kesan yang baik pula. Se­­orang gubernur atau calon gubernur membagikan sum­ba­­ngan ke masjid atau hajatan dengan mengundang anak ya­­­tim piatu dari suatu ke panti asuhan, misalnya. Media pun kemudian memuatnya menjadi sebuah berita.
Kita tentu sering menyaksikan di media seorang gu­ber­nur X atau pejabat Y melakukan acara simbolik, misalnya sa­­­ja penanaman pohon, acara panen raya dengan hasil per­ta­­­nian yang melimpah, atau penyematan pin anti KKN. Pa­­­ra pejabat itu ingin menampilkan sebuah citra yang baik dan kemudian dilihat oleh masyarakat. Pencitraan diri sen­di­ri oleh para pejabat melalui media massa yang ingin meng­he­­la opini publik tentang si pejabat. Simbol-simbol di­main­­kan, ucapan-ucapan manis digunakan untuk merangkul rak­­yat, dan janji-janji untuk meningkatkan kemakmuran rak­yat dilontarkan.
Di sana hadir dunia citra bahwa mereka itu orang yang baik. Di sisi lain, segala keburukan mereka akan coba sebisa mung­­kin untuk ditutupi. Itu artinya citra-citra tersebut ti­dak menggambarkan yang sesungguhnya, melainkan reduksi a­tas realitas.
David Mc Clelland menyebut tiga hasrat/ keinginan un­­tuk menilai sikap atau orang atau pihak tertentu. Dari pe­­nelitiannya dia mengenalkan istilah need for achievement (ke­inginan untuk berprestasi), need for affiliation (keinginan un­­tuk bersahabat, berkasih sayang, popular, dan disukai orang banyak), dan terakhir need for power (keinginan ber­kuasa).
Belakangan, need for power itu yang ternyata lebih ba­nyak mendominasi para pemain politik di negeri ini. Ba­ha­yanya bila mereka menghalalkan segala cara untuk meraih ja­­ba­tannya. Namun kita tidak serta merta bisa me­nge­tahuinya, karena mereka selalu mencitrakan diri dengan sa­ngat baik. Istilahnya, serigala memakai topeng domba.
Nah dengan pemahaman ini sebenarnya ada satu hal yang bisa kita waspadai, bahwa mereka yang tampil baik di media bisa jadi sebaliknya adalah orang yang senantiasa me­­lakukan kebohongan di belakangnya. Bahwa apa yang ki­ta lihat di media bisa jadi kebalikan dari kenyataan se­baliknya adalah sesuatu keniscayaan. Maka ketika nantinya ki­ta memilih, memilihlah dengan hati-hati. Bukankah dalam po­­litik yang abadi hanya kepentingan? Emangnya mau memilih serigala yang bermuka domba? Ha..ha..**

LPM Untan, Dulu, Kini, dan Mendatang: Sebuah Catatan perkembangan LPM Untan

Oleh: Heriyanto

Suatu hari di penghujung April, bangunan aula di pojok utara Universitas Tanjungpura yang terletak persis di jalan Imam Bonjol, tampak ramai. Sejumlah mahasiswa hadir di dalam ruangan itu. Di dalamnya terbentang spanduk yang bertuliskan: “MUBES I LPM UNTAN: Mempertajam Profesionalitas Insan Persma Demi Percepatan Proses Transformasi”. Di pojok kanan paling bawah tertulis tanggal 25 April 1999. Bangunan yang masih satu atap dengan magister ilmu hukum untan itu menjadi saksinya. Sejak saat itu, sejarah baru perkembangan pers mahasiswa di Universitas Tanjungpura dimulai.
Hari itu, menjadi sejarah berdirinya Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Tanjungpura atau disingkat LPM Untan, lembaga pers mahasiswa pertama di Kalbar. Mursalin- kini bekerja sebagai redaktur di Harian Pontianak Post- terpilih sebagai ketua umumnya. Mursalin adalah satu dari beberapa penggerak berdirinya LPM Untan.
“Keinginan kami waktu itu, Mimbar Untan tidak hanya menerbitkan sebuah media yang ansich. Kami ingin ada sebuah institusi pers mahasiswa yang tidak hanya menerbitkan sebuah koran, tetapi juga menggalakkan berbagai aktivitas yang terkait dengan dengan pers, baik berupa diskusi, seminar, atau segala macam kegiatan yang konsen untuk membahas tentang jurnalistik yang terkait dengan dengan visi pers mahasiswa,” kata Mursalin . Beberapa nama penggerak berdirinya LPM Untan-sebelumnya bernama Mimbar Untan- antaralain Faisal Riza, Bambang, Markani, Sutarman, dan Juni Armanto. Mereka rajin menggelar diskusi rutin untuk mempersiapkan pembentukan LPM Untan.
Pada tahun 1998, kesempatan mengikuti kongres PPMI yang di Jombang, Jawa Timur, dimanfaatkan untuk melakukan studi banding ke beberapa universitas di Surabaya, Yogya, dan Bandung. Mereka mempelajari AD/ART media kampus yang mereka kunjungi. “Setelah pulang ke Kalimantan, apa yang didapatkan dari hasil studi banding itu coba untuk diterapkan pada mimbar untan. Pada mubes I, sedikit banyak juga referensinya adalah AD/ART dari pers kampus di Jawa sana,” ujar mursalin.
Satu hal yang menguntungkan saat itu adalah masa transisi antara rektor lama, Mahmud Akil, yang digantikan, purnamawati. Sehingga, ada celah-celah untuk segera membentuk lembaga pers yang dikelola langsung oleh mahasiswa. “Memang, saat itu, sulit untuk mengkritisi kebijakan rektorat. Karena itu, teman-teman tidak ingin terkungkung dalam kisaran kekuasaan rektorat. Sehingga kemudian muncul pemikiran untuk membentuk LPM,” kata Faisal Riza-kini aktif di Lembaga Studi Arus Informasi Regional Kalbar, serta JARI Borneo Barat.
Atas berbagai desakan, akhirnya rektorat menyetujui Mimbar Untan dikelola sepenuhnya oleh mahasiswa.
Pada awal kepengurusan periode pertama, banyak kendala yang dialami. Diantaranya, keaktifan pengurus untuk menulis masih sangat kurang. “Kalau sekedar untuk kumpul-kumpul sih aktif, tapi untuk menulis masih sangat kurang,” jelasnya. Namun, satu hal yang menurutnya cukup membanggakan adalah semangat pengurus untuk mengembangkan lembaga.
******
Sejarah perjalanan Pers Kampus di Untan cukup panjang. Tepat tanggal 28 Agustus 1982, Rektorat Untan melalui Humasnya menerbitkan “Suara Mahasiswa”. Keredaksianya sepenuhnya diisi oleh para dosen, yang direkrut oleh rektorat. Sementara segala pendanaan berasal dari dana kemahasiswaan yang dikelola rektorat untan.
Namun, dalam pemberitaannya cenderung berisi agenda dan kebijakan rektorat. Sementara porsi untuk kegiatan kemahasiswaan masih sangat kurang. Penampilan Suara Mahasiswa juga masih menyerupai selebaran dengan menggunakan kertas buram. Hal ini yang membuat suara mahasiswa kurang mendapat sambutan yang berarti di kalangan mahasiswa.
Akhirnya, Rabu, 1 Agustus 1984, “Suara Mahasiswa” berubah nama menjadi “Mimbar Untan”. Nama ini, kemudian, disingkat Miun. Panggilan ini pada awalnya hanya hanya berkembang pada intern institusi, akan tetapi lambat laun khalayak pembaca juga ikut menggunakan nama Miun. Sehingga sampai sekarangpun Mimbar Untan lebih akrab di panggil Miun.
Mimbar Untan, sama dengan suara mahasiswa masih dibagikan secara cuma-cuma kepada mahasiswa. Selain itu juga dibagikan kepada media kampus lain, serta institusi-insitusi lokal maupun nasional.
Sejak awal miun terbit hingga tahun 1990 hanya 8 halaman saja, dan durasi terbitnya dua mingguan. Memasuki awal era tahun 1990-an, Miun menambah halaman dari 8 halaman menjadi 12 halaman. Pada tahun 1992, karena keredaksian mengalami kendala masalah sumber daya manusia, dibawah Suradi Suwinangun, Miun merekrut mahasiswa untuk menjadi repoter. Masuknya mahasiswa menjadi awak redaksi, juga membawa perubahan pada terbitan miun, baik isi maupun corak tulisannya. Sementara itu, untuk lay out juga mengalami perubahan. Salah satu pemikiran penggantian itu adalah, banyaknya kiriman media kampus dari seluruh Indonesia yang cukup siginifikan untuk untuk mendorong media kampus untuk menjadi media yang lebih baik. Salah satu media yang sangat berpengaruh adalah Balairung UGM. Bahkan, bisa disebut, tulisan-tulisan di Mimbar Untan berkiblat pada majalah tersebut. Dari sinilah, kekritisan pemberitaannya mulai tampak. Tidak sekedar sebagai corong rektorat.
Di tingkat nasional, Mimbar Untan ikut bergabung dalam Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), sebuah wadah perjuangan bersama antar elemen pers mahasiswa Indonesia. Sebagai utusan pertama Miun dalam kongres PPMI adalah Nur Iskandar, sekarang menjadi redaktur pelaksana harian equator.
*****
Banyak perubahan setelah Mubes Pertama LPM Untan. Yang paling menonjol adalah pada pengelolanya, tidak lagi dikelola oleh rektorat, namun sepenuhnya oleh mahasiswa. Dengan perubahan ini, secara struktural organisasi, LPM Untan telah menjadi unit kegiatan mahasiswa, yang berarti sangat otonom. Sementara pihak rektorat hanya sebagai mitra saja, bukan pada pengambil kebijakan.
Pada Februari 2005 yang lalu adalah mubes ketujuh LPM Untan. Terpilih sebagai ketua umumnya, Heriyanto, mahasiswa FKIP Untan 2002. Jumlah pengurusnya sekitar 20 orang.
Di usia yang terbilang masih sangat muda ini, LPM Untan masih perlu banyak belajar. Kendala yang dihadapi dalam kepengurusan, setiap tahun, tampaknya hampir sama, terutama masalah sumber daya manusianya. Setiap tahun, kader yang bisa direkrut dan mampu bertahan sangat sedikit. Katakanlah yang mendaftar ada 20 orang, namun yang mampu bertahan hanya 3-4 orang saja. Pada persoalan pengurus juga demikian. Karena berbagai alasan, banyak pengurus yang tidak aktif (non aktif).
Pada masalah struktural organisasi juga sering terjadi tumpang tindih. Bahkan tidak heran, dikenal istilah manajeman tusuk sate. Walau ada susunan kepengurusan, tetap saja manajemen kerjanya masih tumpang tindih. Sulit membedakan mana kerja pemimpin umum atau sekretaris, atau divisi lainnya. Kendala lainnya adalah pada percetakan. Ongkos percetakan masih relatif mahal, sementara kualitas cetakannya masih kurang baik.
Persoalan lainnya masalah Deadline. Seringkali keredaksian berulang kali melanggar deadline waktu yang telah tetapkan. Pembuatan timeline hanya ritual belaka. Sementara realisasinya memang tidak pernah ditepati.
Memang disadari, untuk membangun sebuah lembaga pers memang tidak mudah. Di Kalimantan Barat, pers kampus tidak banyak. Miun adalah satu-satunya media kampus masih bisa berdiri dan bisa menerbitkan media. Sementara untuk pers kampus lain, sulit berkembang. Dan lagi, di Kalimantan Barat, belum ada satu perguruan tinggipun yang memiliki jurusan publisistik.

Struktur kepengurusan LPM Untan
Seperti Unit Kegiatan Mahasiswa lainnya, LPM Untan terdiri atas Ketua Umum, Sekretaris Umum, dan Bendahara. Selain itu terdapat beberapa divisi, yaitu Divisi Penerbitan, Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia, Divisi Penelitian dan Pengembangan, Divisi Perusahaan, dan Divisi Penyiaran. Susunan kepengurusan ini berbeda dengan susunan keredaksian.
Setiap divisi memang memiliki program kerja tersendiri. Divisi penerbitan mengurus penerbitan majalah, tabloid, dan civitas. Majalah terbit satu kali dalam setahun, tabloid setiap enam bulan sekali, sementara civitas 1 bulan sekali.
Litbang, hanya dikhususkan untuk membuat polling yang akan dimuat dalam tabloid dan majalah. Divisi PSDM, mengadakan diklat jurnalistik tingkat dasar. Pengurus juga sering dikirim untuk mengikuti pelatihan jurnalistik di luar Kalbar. Satu hal yang menarik, LPM untan memiliki produk tidak hanya di bidang percetakan saja, tetapi juga radio, divisi penyiaran ada radio untan voice 106,4 FM yang jangkauan siarannya sudah sampai 10 km. Radio ini mengudara mulai jam 12 siang sampai pukul 12 malam.
Sampai saat ini mimbar untan masih coba untuk terus belajar. Awal Agustus 2005, LPM Untan mendapat kesempatan untuk ikut menjadi panitia kegiatan Workshop Jurnalistik Pers Mahasiswa se Kalimantan yang dilaksanakan oleh Yayasan Pantau dan Harian Equator. **