Tuesday, March 13, 2007

Bencana, Hukum Kausalitas, dan Murka Tuhan


Oleh: Heriyanto

Membicarakan hukum alam adalah membicarakan tentang hukum kausalitas (sebab akibat). Kita boleh membuka kembali lebar-lebar buku logika. Filosof Yunani Leucipos sekitar abad kelima pernah berkata: nihil fit sine causa (tidak ada satu peristiwa pun yang tidak mempunyai sebab). Kausalitas adalah terjemahan empiris dari modus ponen dalam logika Aristotelian yang berbunyi jika a maka b.

Kini 15 abad setelah ucapan Leucipos, kita terkesiap ketika bencana datang secara bertubi-tubi layaknya hamtaman badai pekat yang terus menggulung-gulung. Di tengah harapan akan sejuta kebaikan pada tahun 2007, kita justru menerima berita-berita yang menyedihkan. Belum selesai satu bencana tertangani, di daerah lain sudah muncul bencana lain. Terakhir, banjir melanda beberapa daerah di Indonesia, seperti Sambas dan Jakarta.

Mengacu pada Leucipos, kita bisa bertanya, bencana tentu tidak datang sama sekali lepas dari suatu sebab tertentu, bukan? Berbagai jawaban bisa saja diberikan. Ada yang lebih suka menjawab dari persoalan teologis, namun ada juga yang melihat dari kacamata logika (baca: sebab akibat). Jawaban teologis sering berbeda dari jawaban logika, terutama pada sebab suatu peristiwa terjadi dan bagaimana sebuah peristiwa itu dijelaskan.

Pak ustadz biasanya akan menjawab, bencana datang karena kemurkaan Tuhan pada manusia. Mengapa? Karena manusia telah banyak melakukan maksiat dan melanggar aturan-aturan Tuhan. Itulah teguran Tuhan pada manusia.

Sementara dalam logika, sebab sebagai sesuatu yang melahirkan akibat dibedakan menjadi dua: sebab yang mesti (necessary causa) dan sebab yang menjadikan (sufficient causa). Oksigen, misalnya, merupakan sebab adanya kebakaran. Tanpa adanya oksigen tidak mungkin kebakaran bisa terjadi, namun adanya oksigen tidak harus menimbulkan kebakaran. Ini yang disebut sebab yang mesti. Nah, kompor meledak adalah sebab yang menjadikan (sufficient causa) satu rumah terbakar (cermati buku Logika, Mundiri, 2003).

Untuk itu barangkali perlu ada satu garis lurus yang bisa menghubungkan antara dosa yang diperbuat manusia, datangnya bencana alam, dan kemurkaan Tuhan. Inilah yang saya coba bahas dalam tulisan ini. Dalam hal ini yang pertama perlu kita lihat adalah hubungan antara manusia dan alam. Pertanyaan kuncinya, bagaimana manusia memandang dan memperlakukan alam ini?

Ignas Kleden (1987) pernah mengulas persoalan ini. Menurutnya manusia itu tidak terikat dengan lingkungan. Manusia itu bersifat labil. Bila ikan punya habitat khusus di air, burung punya alam yang cocok baginya, dan orang utan yang jelas hidupnya hutan, sementara manusia pada dasarnya tidak punya tempat hidup spesifik seperti hewan tersebut. Maka manusia perlu membangun tempat hidupnya. Hutan, sungai, atau pantai, bisa berubah menjadi tempat tinggal manusia, hingga mengalami perkembangannya.

Bila hewan memiliki insting yang kuat yang bisa membantunya memahami gejala alam, manusia hampir sama sekali tidak memilikinya. Hewan mampu memanfaatkan alam, demikian pula pada manusia. Perbedaannya, jika hewan memanfaatkan alam secukupnya, manusia sering berlebihan karena memandang alam sebagai pemberian dan disediakan bagi manusia. Ada yang kemudian mengeruk kekayaan alam ini sebanyak-banyaknya. Jumlah manusia semakin bertambah, demikian pula kebutuhannya; dan alam pun semakin berubah. Sayangnya, peningkatan jumlah dan kebutuhan manusia ini tidak disertai dengan peningkatan kesadaran untuk menjaga alam lingkungannya.

Dalam buku Titik Balik Peradaban yang ditulis Fritjof Capra (1994) dijelaskan bahwa pengembangan teknologi dalam rangka mengejar produktivitas telah menyebabkan kerusakan ekologis. Menurut Capra, hal ini ada hubungan dengan pandangan yang dianut oleh para ilmuwan yang secara runtut lebih menekankan pikiran dan pandangan yang mekanistik ala Descartes dan Newtonian. Bahwa dunia materi dipandang sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah yang dirakit menjadi sebuah mesin raksasa. Lebih ringkasnya, hewan, tumbuhan dan segala yang ada di alam sekitar kita ini adalah mesin-mesin yang bisa menghasilkan keuntungan ekonomis.

Ketika produksi dikejar dan konsumsi semakin meningkat, teknologi juga semakin ditingkatkan. Namun hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan di alam ini, karena eksploitasi alam secara berlebihan.

Dalam sebuah sistem alam, bila ada satu kerusakan pada komponen A bisa saja berakibat pada komponen B, komponen B mempengaruhi komponen C, dan seterusnya. Kita bisa bertanya, mengapa banjir bisa terjadi? Karena air sungai meluap. Kenapa air sungai meluap? Karena air hujan yang turun tak mampu diserap oleh pepohonan. Mengapa tak mampu diserap? Sebagian besar pepohonan telah ditebang. Mengapa ditebang? Untuk dijual kayunya atau dibuat villa? Kenapa demikian? Untuk makan dan gaya hidup... Karena kebutuhan manusia semakin meningkat...Karena tak puas dengan sedikit harta...dst. Setiap sebab merupakan akibat dari sebab yang mendahuluinya.

Namun karena time of respons antara munculnya sebab dan akibat mengambil jarak yang lama sehingga manusia seringkali lalai. Orang baru sadar ketika banjir besar menghantam, padahal manusia sendirilah penciptanya. Nafsu dan keserakahan untuk menguasai alam ini telah membuat sebagian manusia melupakan kelestarian alam, melupakan bencana, melupakan bagaimana nasib anak cucu nanti. Karena ”maksiat” manusia inilah, mungkin Tuhan ”murka”.

Murka di sini bisa diterjemahkan sebagai peringatan bagi manusia. Bukannya Tuhan itu maha pemurah? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan teologis tentu saja mengandalkan keyakinan masing-masing orang. Tiap orang punya tingkatan tertentu dalam meyakininya tergantung religiusitasnya.

Akan sulit, tentu, menentukan necessary causa dan sufficient causa dari pernyataan teologis. Namun yang jelas hukum sebab akibat adalah hukum Tuhan. Dan itu berarti teguran Tuhan via bencana yang terus mendera bangsa ini perlu segera kita sadari.

Kita tentu tidak ingin bangsa ini akan musnah suatu saat nanti karena bencana alam sudah begitu dahsyatnya? Kesadaran akan adanya hukum sebab akibat ini seharusnya membuat kita bisa lebih arif dalam memperlakukan alam. Itu artinya kepintaran manusia perlu disertai kearifan; tindakan manusia perlu disertai tanggungjawab dan etika; dan satu lagi: keimanan. Pertanyaan terakhir: Siapakah yang dapat melawan hukum Tuhan?


No comments: