Tuesday, March 13, 2007

Ne­gara Menjadi Serigala yang Siap Me­mangsa Rakyatnya

Oleh Heriyanto

Pagi itu, Masyuri (34) baru saja datang ke tempat biasa ia berdagang. Sam­bil mengemaskan gero­bak­, jerigen bensin, dan beberapa perlengkapan tambal ban, beberapa kata meluncur dari bibirnya. "Saya tak habis pikir, mengapa saat ini beban hidupnya terasa makin berat."
Bagi Mashuri, setiap kali peme­rintah mengeluarkan kebijakan bukan se­makin mudah ia bekerja, namun pertanda usaha yang ia lakoni akan semakin sulit. Beberapa waktu lalu, misalnya, ketika pemerintah me­naikkan harga BBM, penghasilan yang ia terima semakin tidak men­cukupi­ untuk kehidupan sehari-hari. Penghasi­­lannya ini seolah tak berharga ketika berhadapan dengan kenaikkan harga-harga barang.
Hal yang sama juga diungkapkan Inah (39). “Kok, sekarang hidup makin susah ya bang, apa ada harga beras yang Rp 2.000 kaya dulu,” keluh ibu rumah tangga ini.
Inah, pasca kenaikkan BBM tahun lalu, merasakan sulitnya mengatur keuangan rumah tangga. Pendapatan yang tak kunjung berubah membuat ia harus lebih mengencangkan ikat pinggang. “Tau sorang lah, beras naik, sayur naik, bensin naik, ape lah yang tak naik? Sebelum naik jak, kita susah hidup, apa lagi sekarang ini,” kata Inah.
Dalam kondisi saat ini di mana beban hidup semakin menghimpit, keluhan-keluhan seperti ini tentu wajar muncul. Namun, baik Masyuri maupun Inah hanya bisa menerima pasrah segala kebijakan pemerintah itu dan tidak berniat untuk berunjuk rasa seperti halnya mahasiswa yang sering turun ke jalan. Baginya menolak atau tidak sama saja. Yang ia tahu saat ini harga barang semakin naik, semen­tara kebutuhan hidup makin mening­kat.
Beras misalnya, sampai berita ini diturunkan, harganya untuk kualitas rendah saja berkisar antara Rp 4.000- Rp 5000 per kilogramnya. Sementara itu harga gula sudah mendekati Rp 6.700 per kilonya. Dengan harga ba­rang yang semakin tinggi, semen­tara penghasilan yang diterima pas-pasan, bisa dipastikan hidup menjadi lebih sulit.
***
Apa yang dirasakan belakangan ini tidak lepas kaitannya dengan segala kebijakan yang telah dibuat peme­rintah. Dalam skala makro, kebijakan pusat menentukan kebijakan daerah. Kebijakan-kebijakan ini, memengaruhi sektor-sektor kehidupan yang pada akhirnya memengaruhi kebutuhan publik. Satu kebijakan ditelorkan akan punya rentetan dampak terhadap sektor-sektor publik.
Kebijakan kenaikan harga BBM, misalnya, menyebabkan inflasi tahu­nan mencapai 18 persen. Semua ba­rang kebutuhan hidup beranjak naik. Akibatnya daya beli masyarakat semakin merosot, rakyat miskin ber­tambah, jumlah pengangguran ber­tambah. Ambruknya sektor Industri te­rus menambah jumlah PHK. Semen­tara penciptaan lapangan kerja sangat rendah. Hal ini tentu memperburuk keadaan.
Tidak bisa dimungkiri, dengan berbagai kondisi ini, perbaikan Indo­ne­sia dari kondisi krisis akan sulit di­capai. Apa yang sekarang terjadi, men­jadi semacam ‘blunder’ yang bisa-bisa menggiling bangsa Indonesia.
“Kebijakan pemerintah memang tidak beranjak ke usaha untuk menga­tasinya,” kata Faisal Riza, Sekjend JARI Borneo Barat. “Dengan biaya hidup yang semakin tinggi, rakyat tidak mam­pu berpikir dan berbuat banyak, selain bagaimana memenuhi kebutuhan hidup. Rakyat sulit bergerak untuk memperbaiki hidupnya,” tambahnya.
persoalannya, dalam menyikapi permasalahan bangsa yang semakin runyam, pemerintah justru mengambil kebijakan–kebijakan publik yang cenderung meminggirkan publik. “Persoalan bangsa memang tidak sedikit, namun dalam menyikapinya pemerintah justru lebih memilih membuat kebijakan–kebijakan publik yang cenderung dirasakan merugikan kepentingan masyarakat,” ujar Sekre­taris Jendral JARI Indonesia Agus Gu­nawan Wibisono dalam seminar bedah Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah yang diadakan oleh JARI Borneo, 24 Januari lampau. Padahal Eksekutif dan Legislatif bertanggung jawab untuk membangun kelembagaan yang memungkinkan seluruh potensi bangsa bisa didaya­gunakan bagi sebesar-besarnya ke­makmuran dan kesejahteraan rakyat.
Sebelumnya, sejumlah mahasiswa di tanah air berunjuk rasa menolak kenaikkan BBM. Di Kalimantan Barat, mahasiswa melakukan aksi selama seminggu berturut-turut, baik di Kantor DPRD Provinsi, Kantor Gubernur, dan Rumah Dinas Gubernur. Akan tetapi aksi itu tidak digubris pemerintah. Setiap kali aksi, Gubernur Kalbar dan Ketua DPRD tidak mau bertemu mahasiswa. Yang berhadapan dengan mahasiswa hanya asisten atau anggota DPRD lainnya.
“Inti dari aksi unjuk rasa itu umum­nya menginginkan agar masyarakat tidak merasakan harga-harga barang, biaya transportasi, dan kebutuhan hidup yang naik, seperti dikeluhkan sekarang ini. Rupanya saat itu Gubernur Kalbar mendukung kenaikkan BBM dan anggota DPRD tidak berbuat banyak membela rakyat,” kata Suhud, dari Jaringan Mahasiswa Kalimantan Barat (JMKB).
Alasan pemerintah menaikkan BBM saat itu karena naiknya harga BBM di dunia dan jika harga BBM di tanah air tidak dinaikkan maka APBN mengalami defisit. Alasan ini terus dipertahankan pemerintah. Namun tak lama setelah kenaikkan BBM, anggota DPR RI menaikkan tunjangan operasional sebesar 10 juta dan gajinya. Terakhir yang paling menyesakkan adalah pagar kantor DPR RI dibangun dengan me­makan biaya miliaran rupiah. “Di te­ngah kesulitan masyarakat, ini adalah bentuk ketidakadilan yang diperlihatkan pe­merintah. Ini menandakan bahwa apa yang dikatakan pemerintah lebih ba­nyak karena kepentingan pribadi mereka saja,” ujar Suhud.
Sayangnya, dengan kebohongan itu, masyarakat juga tidak mampu ber­buat banyak. Kalau pun ada yang meng­kritisi, pemerintah bergeming dan ti­dak menggubrisnya. Di masa kepe­mim­pinan SBY-JK kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat terus bergulir. Be­gitu mudahnya pemerintah mengelu­arkan kebijakkan-kebijakan itu. Tidak sa­tupun masyarakat yang dapat membendung, bahkan DPR sekalipun. Kebijakan impor beras lebih mem­perlihatkan betapa pemerintahan SBY-JK memiliki kekuatan luar biasa, sebaliknya menunjukkan ketidak­berdayaan DPR. Hak angket impor beras yang diusulkan DPR kandas. Penolakan dari masyarakat juga tidak digubris.
Baru-baru ini kembali diributkan dengan rencana pemerintah yang akan menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL). Ke­naikan TDL menurut analisis Kamar Dagang dan Industri (Kadin) akan mem­buat banyak perusahaan yang gulung tikar. Akan banyak perusahaan yang belum mampu mengatasi masa­lah akibat kenaikan BBM, ambruk. Bebe­rapa pengusaha misalnya saja Sof­yan Wanandi, serta Ketua Kadin MS Hidayat, secara tegas menolak rencana kenaikan TDL ini.
Ada satu kecenderungan yang se­harusnya ini tidak boleh terjadi, antara satu BUMN dengan BUMN lainnya yang seharusnya saling sinergis ternyata saling mematikan. Kenaikan TDL de­ngan alasan BBM naik, setelah itu BUMN lain­nya, juga demikian. Padahal Indo­nesia punya gas, minyak bumi, dan sum­ber daya lainnya.
“Kemungkinan besar TDL tetap di­naikkan. DPR RI, apalagi DPRD sudah tak bisa lagi diharapkan. Tampaknya me­reka lebih senang rakyat yang memilih mereka saat pemilu hidup men­derita,” kata Suhud.
Asmaniar, Anggota DPRD Kaliman­tan Barat dari Fraksi Partai Amanat Na­sional (PAN) tidak menyangkal bahwa banyak kebijakan pemerintah yang justru memperburuk kondisi masya­rakat. DPRD sendiri diakuinya saat ini tidak bisa berbuat banyak dalam mengontrol kebijakan pemerintah Pusat karena memang ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang diputuskan tanpa harus meminta persetujuan dari DPR.
“Seluruh masyarakat Kalbar pun misalnya berdemo menolak suatu kebijakan, paling DPRD hanya melan­jutkan tuntutan itu untuk disampaikan ke pusat. Namun di sini DPRD tidak bisa mengambil keputusan yang signifikan,” jelasnya.
Asmaniar mengakui kebijakan BBM beberapa waktu lalu membuat kehidu­pan masyarakat semakin bertambah susah. “Saya akhir-akhir ini turun ke lapangan, saya melihat multiflier effect (dampak lain yang mengikutinya-red) itu begitu dahsyat, saya kira kebijakan pemerintah bukannya memberantas kemiskinan, tetapi memberantas orang miskin,” jelasnya.
“Saya ngeri membayangkan bila nantinya pemerintah jadi menaikkan tarif dasar listrik. Sekarang saja Kalbar masuk dalam urutan daerah miskin di Indonesia. Bila nantinya TDL jadi di­naikkan, dengan kondisi yang ada se­per­ti ini bisa jadi suatu saat akan ada generasi yang hilang,” tuturnya.
Kalbar sendiri telah mendapat dua musibah besar, pertama kenyataannya banyaknya PHK perusahaan kayu. Dengan tutupnya banyak perusahan kayu, ribuan pekerjanya terpaksa dirumahkan. “Ke mana mereka setelah itu. Saya kira mereka akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang baru, karena lapangan pekerjaan semakin sempit.”
Belum selesai masalah itu, kemu­dian pemerintah menaikkan harga BBM. Itu membuat penderitaan mereka semakin bertambah. Sementara itu, upaya agar rakyat tidak bergejolak dan bisa tutup mulut menerima kebijakan pemerintah ini, maka diberilah bantuan langsung tunai (BLT). “Inikan bentuk penyuapan negara terhadap rak­yat­nya,” kata Asmaniar.
Lihat saja beberapa perusahaan terancam gulung tikar atau setidaknya harus mem-PHK karyawannya, karena sulitnya untuk bisa bertahan. Con­tohnya di Kakap, dulu sebelum kenai­kan BBM, para pengumpul ikan kering mampu menghasikan 5 ton, tetapi se­jak BBM naik berkurang jauh sekali, ha­nya 200 kilogram saja. Bukan karena ti­dak ada ikan, tetapi karena tidak mam­pu melaut karena mahalnya ba­han bakar.
Perusahaaan masih beradaptasi atas kenaikan harga BBM, sementara ekonomi biaya yang tinggi masih sulit untuk dipangkas. Sehingga banyak perusahaan yang terpaksa mengurangi tenaga kerjanya untuk menyesuaikan dengan kemampuan perusahaan. “Nah ini kan akan berpengaruh juga terha­dap masyarakat secara keseluruhan. UKM misalnya, yang selama ini berjasa besar dalam menopang perekonomian di Kalbar. Dengan beban produksi besar, mereka akan sulit untuk berta­han,” jelasnya.
Menurut Jumadi SSos, MSi, dosen Magis­ter Ilmu Sosial Untan, idealnya dalam masyarakat demokratis, formu­lasi kebijakan pemerintah mesti ada partisipasi publik, mulai dari peren­canaan, implementasi, sampai pada evaluasi. Dan ini menjadi salah satu syarat adanya good governance.
Kaitan dengan kebijakan pusat, seperti misalnya kenaikan BBM, perlu ada kontrol dari rakyat. Artinya, pe­merintah tidak boleh sembarang me­mutuskan kebijakannya tanpa ada par­tisipasi rakyat. Sebelum sebuah kebi­jakan dibuat dan diputuskan perlu dia­komodir apa yang diharapkan dan ke­bu­tuhan daerah.
Dalam Undang-undang No 25 Ta­hun 2004 tentang Perencanaan Negara disebutkan bahwa dalam perencanaan pembangunan makro yang strategis perlu ada keterlibatan masyarakat didalamnya.
Persoalannya, dalam implementasi, kapasitas sebagian rakyat masih le­mah. Memang seharusnya ada pem­ba­ngunan kapasitas masyarakat. Sehingga sejak perencanaan sampai evaluasi, kontrol untuk kebijakan- kebijakan pemerintah cukup kuat.
Tetapi sayangnya, walaupun di aura politik yang serba terbuka, sesungguhnya kapasitas rakyat masih belum bergeser ke arah lebih baik. Dalam hal ini, terjadi ketimpangan yang cukup lebar antara rakyat dengan penguasa.
Reformasi lebih banyak dinikmati oleh elit-elit politik. Muatan politik dan kepentingan partai lebih kental. Misalnya pada kasus impor beras. Sehingga kemudian kepentingan yang lebih besar kalah oleh kepentingan politik sesaat.
Yang dikawatirkan, akan muncul krisis kepercayaan, di mana nantinya apapun kebijakan yang diputuskan tidak akan didukung rakyat. Padahal legitimasi pemerintah itu disandarkan suara rakyat. Sekarang ini ada semacam keje­nuhan, di mana apapun yang disua­rakan rakyat, sepertinya tidak ditang­gapi pemerintah. Sehingga rakyat sepertinya sudah apatis dengan segala kebijakan pemerintah.
Pemilu Presiden memang memba­wa konsekuensi bahwa posisi antara eksekutif dan legislatif sama kuat. Tetapi bukan berarti tidak bisa dikon­­trol. Di dalam negara demokratis dalam konteks menjalankan fungsi negara perlu ada kontrol dari rakyat. Jangan sampai seperti yang dikatakan Thomas Hobbes, dalam buku “Leviathan,” ne­gara menjadi serigala yang siap me­mangsa rakyatnya.
Turiman Faturahman SH, Akade­misi Untan, mengatakan, mengapa kebijakan-kebijakan yang dibuat cenderung membuat persoalan lain, karena dalam pengambilan keputusan itu tanpa ada data base yang valid. Kelemahan adminitrasi pemerintahan memang pada data base. Padahal data base yang valid begitu penting dalam pengambilan keputusan suatu kebija­kan. Maka jangan heran bila kebijakan yang diambil itu justru membuahkan masalah lain.
Dalam hal mekanisme konsultasi publik, adanya masyarakat hanya untuk justifikasi saja. Formalitas dan asal ada.
Ada yang disebut teori korelasi atau teori mata rantai yaitu paradigma ekonomi konsumtif. Misalnya saja PDAM akan menaikkan tarifnya, pihak pengelola berkata,” kami akan mena­ik­kan 100 persen”. Tentu kemudian akan ada resistensi (penolakan). Nah untuk mengapresiasikan penolakan itu, kemudian akan dicapai angka 20 persen, misalnya. Memang naiknya tidak sampai 100 persen, cuma 20 persen, tapi tetap naik bukan? Karena sebelumnya yang diblow up kenaik­kannya 100 persen, maka ketika cuma naik 20 persen, rakyat berpikir “Masih untung, daripada naik 100 persen.”
Ini yang namanya kamuflase kebija­kan. “Itu trik. Itulah wilayah strategi politik.” Dan sayangnya rakyat tidak me­nyadari hal itu.
Memang semestinya, ada hal yang le­bih urgen untuk diselesaikan saat ini, ya­itu pemberantasan korupsi. Ini adalah sumber masalah yang ada di in­donesia. Sementara kenaikan BBM, a­tau jika jadi TDL naik, adalah akibat da­ri korupsi yang terus menggurita. Inefesiensi Pertamina, PLN, atau insti­tusi pemerintah lainnya juga jadi se­babnya. Layak dipertanyakan, ba­gaimana mungkin pertamina bisa rugi, dan PLN bisa tekor, bila ternyata dua BMUN ini yang punya monopoli sumber daya alam.
***
Banyak pilihan kebijakan yang tidak pro rakyat. Namun DPR yang menjadi wakil rakyat dengan kenaikkan itu tidak bisa berkutik sama halnya dengan masyarakat kebanyakan. DPR yang se­mestinya mengontrol kebijakan peme­rintah ternyata tidak menjalankan fungsinya. Jika demikian siapa yang ber­tanggung jawab atas segala ma­salah ini?
Edy Suratman berpendapat, Ang­go­ta DPR RI dari daerah pemilihan Kal­bar yang seharusnya berjuang untuk daerah. “Buat apa mereka dipilih kalau bukan untuk menyalurkan aspirasi rakyat,” jelasnya.
Ketika pemerintah sampai dua kali menaikkan harga BBM, rapat Paripurna yang diusulkan oleh Fraksi Kebangkitan Bangsa batal digelar DPR karena seba­gian besar anggotanya menyetujui kenaikan BBM. Hal ini juga terulang ke­tika pemerintah mengambil kebi­ja­kan impor beras. Malah pada kasus ini berakhir tragis karena DPR mengusul­kan hak angket yang kemudian kandas. Kemana anggota DPR RI itu?
Padahal masyarakat telah membe­rikan kepercayaan kepada mereka, tak tahu mengapa malah menyakiti hati rakyat, dasar udah kepalang nyaman kali ya ?” ucap Suhud, dari Comitte Cen­tral Jaringan Mahasiswa Kaliman­tan Barat (JMKB).
***
Kini, penduduk miskin baru terus bermunculan. Kemiskinan sampai saat ini masih menjadi masalah besar di Indonesia, walaupun isu kemiskinan itu sendiri tidak selalu menjadi isu popular dalam pemerintahan kecuali setelah pencanangan Millennium Development Goals (MDGs) yang disepakati oleh negara-negara di dunia. “Dalam kehidupan bernegara pengentasan kemiskinan merupakan salah satu tugas utama pemerintah, tapi sampai saat ini masih terabaikan,” kata Dr Fariastuti, Dosen Fakultas Ekonomi Untan.
Akhir-kahir ini di beberapa daerah terjadi kasus busung lapar, balita de­ngan gizi buruk yang mencapai 1,67 ju­ta dan berbagai penyakit akibat bu­ruk­nya kualitas hidup.
Menurutnya, walaupun secara formal sudah menjadi dalam tujuan MDGs, namun paradigma pemerintah dalam pengentasan kemiskinan belum berubah secara substansial. Seperti pembangunan lainnya, program pem­be­rantasan kemiskinan masih dilak­sanakan secara parsial, jangka pendek, bersifat proyek, dan massal dalam arti mengabaikan beragamnya penyebab kemiskinan.
Bagi Fariastuti, membiarkan pen­duduk miskin tetap menjadi miskin atau lebih miskin dan munculnya penduduk miskin baru akibat kebijakan yang tidak tepat merupakan kejahatan kema­nu­sia­an bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk membuat perubahan agar kehidupan lebih baik.
Dengan menggunakan pendekatan ga­ris kemiskinan makanan dan non ma­kanan yang dikonversi dalam ru­pi­ah, jumlah penduduk yang hidup di ba­wah garis kemiskinan pada tahun 2004 ya­itu 558, 2 ribu jiwa atau sekitar 13,91 persen dari seluruh penduduk Kal­bar. Parahnya lagi, tidak adanya program pengentasan kemiskinan yang efektif dan penciptaan lapangan kerja.
Kemiskinan memiliki dimensi yang luas bukan hanya ekonomi, tetapi juga non ekonomi. Dengan menggunakan Pendekatan Indeks Pendekatan Manu­sia (IKM-human Poverty indeks), Me­nu­rut data BPS dan Bapenas pada tahun 2004, dimensi kemiskinan Kalbar dilihat dari aspek yang terkait dengan kesehatan mencakup persentase penduduk yang tidak survive sampai usia 40 tahun yaitu 18,1 %, penduduk tanpa akses air bersih 78,5 %, tidak mampu mengakses fasilitas kesehatan 50,1 %, persentase anak usia di bawah 5 tahun yang kurang gizi 33,2%, serta aspek pendidikan mencakup per­sentase penduduk dewasa buta huruf 18,1 %.
Namun menurut Dr Zulkarnaen, Ketua Program Studi Magister Ilmu Sosial, belum ada perhitungan yang pasti apakah ada korelasi antara kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dengan tingkat kemiskinan masya­rakat. Hanya saja diakuinya, selain faktor budaya, etos kerja misalnya, kemiskinan memang bisa disebabkan secara struktural, misalnya saja disebabkan oleh suatu kebijakan. Saya ambil contoh, investor sulit masuk bila suasana yang tidak kondusif, adanya ekonomi biaya tinggi, perijinan yang berbelit-belit, dan juga lemahnya penegakan hukum. Ini secara tidak langsung mempengaruhi tingkat kemiskinan. Mengapa? Ya karena seharusnya bisa menyerap tenaga kerja, tapi karena persoalan itu sehingga gagal.
***
Dalam upaya pengentasan kemis­kinan, menurut Fariastuti, pemerintah seharusnya menggunakan pendekatan berdasarkan hak. Dalam konteks anggaran pendekatan ini dapat dilihat dari besar anggaran dan proses penyusunannnya. “Misalnya alokasi anggaran 20 persen untuk pendidikan harus dipenuhi,” tambahnya.
Sekjend JARI Borneo Barat Faisal Riza, mengatakan pendekatan ini adalah ruang negosiasi antara rakyat dengan negara, maka prosesnya analisisnya diletakkan tidak dalam rangka agar tidak sekadar meributkan alokasi semata, namun lebih jauh dari itu adalah melibatkan patisipasi rakyat dalam proses perencanaan hingga penetapan anggaran.
Dan yang lebih penting adalah sejauhmana anggaran dimanfaatkan sehingga hak penduduk miskin terpe­nuhi. Doktrin negara kesejahteraan bahwa negara memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya. Namun hal ini diakui tidak mudah, ka­rena paradigma aparatur pemerintah dan sebagian masyarakat masih paradigma fisik yaitu kemajuan hanya dilihat dari fisik seperti bangunan.
Pembangunan Puskesmas, misal­nya, tidak akan berdampak optimal terhadap peningkatan kesehatan masyarakat jika tenaga medisnya jarang masuk kerja atau tidak ramah pada pasien. Pengentasan kemiskinan tidak cukup hanya dengan pemberian modal dan pendekatan fisik, jika misalnya penyebabnya karena etos kerja yang rendah dan tidak bekerja­nya mekanisme pasar.
Pedagang kaki lima (PKL) akan dipandang sebagai sumber ketidak­tertiban sehingga harus harus diter­tibkan, bukan sebagai katub pengaman di tengah kesulitan ekonomi sehingga perlu diatur dan diberdayakan. Dalam kenyataannya, proses penyusunan anggaran secara umum masih ter­ke­san lebih menekankan aspek formalitas yang selintas seakan sesuai dengan pedoman penyusunan ang­garan, padahal tidak ada perubahan secara substansial. Anggaran sebagai salah satu alat pembangunan yang paling penting hendaknya diman­faatkan untuk memberikan pelayanan warga negara secara keseluruhan dan bukan hanya untuk digunakan untuk mem­berikan kehidupan bagi seke­lom­pok orang.
Selama ini APBN/APBD lebih banyak digunakan pada hal-hal yang tidak jelas dan tidak terukur karena menekankan pada yang akan diterima dan dibelan­jakan saja. Kerangka ide anggaran berbasis hak dasar rakyat, menurut Wi­bi­sono, antaralain, mengacu pada prin­sip-prinsip hak dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), bahwa hak merupakan hal yang tak terpisahkan, dan semua orang yang lahir dengan hak yang sama.[]

No comments: