Tuesday, March 13, 2007

Membicarakan Kemiskinan

oleh: Heriyanto

Setiap negara tentu punya penduduk dengan kategori miskin, tidak terkecuali pada negara-negara maju sekalipun. Perbedaannya terletak pada penyebab, tingkat kemiskinannya dan pendekatan setiap negara itu dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan di negara itu.
Bagaimana dengan kemiskinan di Indonesia? Pasca krisis ekonomi tahun 1998, perekonomian Indonesia lumpuh sehingga memunculkan banyak penduduk miskin baru.
Bagaimana dengan Kalbar? Jika digunakan pendekatan Garis Kemiskinan makanan dan non makanan yang dikonversi dalam rupiah, jumlah penduduk yang hidup di bawah Garis Kemiskinan pada 2002 jumlah penduduk miskin Kalbar sebesar 644.200 jiwa atau 15,5 persen dari seluruh penduduk Kalbar. Sementara pada tahun 2004 yaitu 558.200 jiwa atau sekitar 13,91 persen (data BPS, 2004). Jika dibandingkan dengan daerah lain untuk tahun 2002 Kalbar ternyata menempati peringkat 30 dari 30 Provinsi di Indonesia.
Menurut Dr Fariastuti (2006), dengan menggunakan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM-Human Poverty Index) dimensi kemiskinan dilihat dari aspek yang terkait dengan kesehatan mencakup persentase penduduk yang tidak survive sampai usia 40 tahun, tidak akses pada air bersih, tidak akses pada fasilitas kesehatan dan persentase anak usia kurang dari 5 tahun yang kurang gizi serta aspek pendidikan mencakup persentase penduduk dewasa yang buta huruf.
Kemiskinan dan pengangguran ibarat dua sisi mata uang. Naiknya kemiskinan sejalan dengan bertambahnya jumlah pengangguran. Di Kalbar, banyak perusahaan yang memPHK karyawannya, terutama perusahaan kayu yang kolaps karena kekurangan bahan baku. Muncullah kemudian banyak pengangguran yang tentu saja sangat mempengaruhi tingkat kemiskinan di Kalbar. Sektor usaha yang masih bisa dijalankan oleh para pengguran itu adalah sector informal. Usaha rumah tangga (home industry), Pedagang Kaki Lima (PKL), misalnya masuk dalam kategori usaha informal.
Pada saat hantaman krisis ekonomi melanda Indonesia, sebagian besar pelaku ekonomi yang selama ini posisinya marjinal, informal, dan tidak mendapatkan fasilitas itu justru lebih mampu bertahan. Para pelaku ekonomi inilah yang sering disebut dengan ekonomi rakyat dan mampu menyelamatkan ekonomi Indonesia. De soto (1989) pernah menulis bahwa sektor informal sangat dinamis dan seringkali menjadi satu-satunya sumber bagi barang-barang dan jasa-jasa tertentu dalam lingkungan miskin. Hal ini berarti juga bahwa sector informal itu menjadi penyelamat bagi perekenomian sebuah negara yang sedang mengalami resesi.
Hal ini untuk sebagian memang benar karena informalitas ekonomi rakyat menyebabkan mereka tidak bisa mengakses lembaga keuangan formal dan terpaksa harus berhubungan dengan sumber pinjaman informal yang mengenakan bunga sangat tinggi.

Negara dan Kemiskinan Struktural
Menurut Francis Fukuyama, negara mempunyai fungsi yang beragam, mulai dari yang baik hingga yang buruk. Kekuasaan untuk memaksa yang memungkinkan mereka melindungi hak milik pribadi dan menciptakan keamanan publik, tetapi juga memungkinkan mereka mengambil hak pribadi dan melanggar hak-hak warga negaranya. Biasanya disebutkan bahwa persoalan kemiskinan karena budaya, mental, dan lemahnya kerja keras. Padahal tidak hanya itu: negara ternyata bisa menjadi penyebab terjadinya kemiskinan rakyatnya. Rakyat miskin bukan karena mereka malas, namun karena struktur kekuasaan yang ada telah membuat sebagian besar kaum miskin itu tidak mendapatkan akses dalam memberdayakan potensi yang mereka miliki. Inilah yang disebut sebagai kemiskinan struktural.
Penanganan masalah kemiskinan yang dilakukan pemerintah cenderung pragmatis jangka pendek. Pemerintah Indonesia menganggap orang miskin seperti pengemis. Sehingga yang kemudian dibuat adalah program-program bantuan layaknya sinterklas yang membagi-bagi hadiah. Muncullah program Raskin, BLT, dan sebagainya. Program-program seperti itu tentu sulit diandalkan untuk mengurangi jumlah rakyat miskin.
Sementara itu usaha informal belum dijadikan potensi daerah untuk membangun daerah. Pemerintah Indonesia banyak mencontoh negara lain, namun sayangnya lebih banyak hanya dari segi fisik saja. Misalnya para pejabat yang sering berkunjung ke negara-negara lain. Di sana mereka melihat negara yang mereka kunjungi tersebut tertata dengan rapi, indah dan menawan. Apa yang mereka lihat itu kemudian ingin diterapkan di Indonesia. Namun sayangnya yang dilakukan adalah dengan cara menggusur para PKL yang dianggap telah membuat tata kota tidak indah, tidak rapi, dan kotor. Padahal di negara lain, mereka tidak hanya menata kotanya, namun juga menyelesaikan persoalan kemiskinan di negara itu. Rakyat miskinnya diberikan akses sehingga mereka bisa membuat usaha yang layak. Dan dengan itu mereka mampu membangun usaha yang nyaman. Dan dengan itu kesejahteraan mereka meningkat. Peningkatan kesejahteraan mereka itu akan berpengaruh pada tata kota sehingga rakyat di sana bisa berdagang dengan segala usaha yang nyaman tanpa harus membuat kota menjadi tidak indah, tidak rapi dan tidak kotor.
Pertanyaannya, mengapa pemerintah di Indonesia masih menganggap rakyat miskin seperti pengemis? PKL dianggap sebagai pengganggu kebersihan tata kota dan sebagainya? Pemerintah Indonesia lebih senang membuat program-progam dengan cara pandang pragmatis, bahwa hal itu akan memberikan keuntungan. Misalnya saja pada program Raskin. Di situ mereka punya kesempatan untuk korupsi dari sistem yang mereka bangun. Contoh kasus lain sangat banyak misalnya pada program pengadaan barang dan jasa (kasus ini tidak dibahas dalam artikel ini).
Salah diagnosa para pejabat ini akan sangat berpengaruh terhadap berbagai program yang diluncurkan pemerintah. Padahal apabila kebijakan pemerintah itu tidak tepat bukannya akan mengurangi penduduk miskin, salah-salah akan menambah munculnya Orang Miskin Baru (OMB).

Belajar dari Muhammad Yunus
Muhammad Yunus adalah pendiri Grameen Bank bagi rakyat miskin di Bangladesh. Ia menerima Nobel Perdamaian 2006. Penulis membaca berbagai sumber tentang kiprah Muhammad Yunus, baik dari majalah, surat kabar, atau internet. Pemikiran-pemikiran Yunus sangat menarik untuk dibahas, dan kemudian bisa dijadikan satu referensi bagi upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Menurut hemat penulis, persoalan kemiskinan di setiap negara hampir sama. Seperti disinggung di atas, bahwa kemiskinan bisa disebabkan karena mereka tidak memperoleh akses untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki. Di sinilah gagasan yang melandasi pendirian Grameen Bank: Rakyat miskin itu menjadi miskin bukan karena tidak produktif, tetapi tidak memiliki modal. Jika kita mempekerjakan buruh yang miskin tanpa modal, mereka akan jauh lebih tidak produktif. Karena tidak produktif itu, mereka tak mampu mengumpulkan asset. Kemudian mereka terjebak di dalam lingkaran kemiskinan tanpa tahu harus berbuat apa.
Di dusun yang kumuh, Grameen Bank beroperasi dan memberikan kredit kecil kepada buruh, pengemis, dan orang-orang miskin di sana. Berbeda dengan bank-bank lain di Bangladesh yang menganggap bahwa kredit skala kecil tidak menguntungkan, Grameen Bank memiliki misi sosial: keluar dari kemiskinan. Kemiskinan ini wajib diperangi dan keluar dari kemiskinan adalah sebuah kemerdekaan. Modal kecil diberikan untuk membantu orang miskin memiliki hidup yang standard.
Selama ini bank-bank hanya mau meminjamkan uang kepada orang yang sudah punya "uang" dalam arti penghasilan dan aset. Bila kita ingin meminjam uang maka kita harus memberi jaminan, baik berupa surat motor, surat mobil, atau tanah, dan lainnya. Pendeknya kita harus punya penghasilan dulu baru bisa dipinjami uang. Artinya, hanya orang yang punya uang bisa meminjam. Lantas bagaimana dengan orang yang tak punya uang atau jaminan? Tentu saja tidak bisa meminjam ke bank. Lalu kepada siapa orang yang tidak punya uang meminjam uang? Kepada tengkulak, rentenir, dan sebagainya. Kebiasaan bank-bank ini dibalik oleh Yunus. Di Grameen Bank nasabahnya justru orang-orang miskin, terutama kaum wanita. Kiprah Yunus memberdayakan kaum papa telah dilakukannya sejak tahun 1974.
Filosofi yang dia bangun adalah bagaimana membantu kaum miskin agar bisa mengangkat derajat mereka sendiri. Dia tidak ingin memberi ikan, melainkan memberi pancing kepada kaum papa untuk mencari ikan sendiri. Tekad Yunus semakin bulat setelah mengetahui banyak orang yang untuk membiayai usaha mereka terjerat pada tengkulak. Yunus mulai mengembangkan program kredit mikro tanpa agunan untuk kaum papa yang tidak dapat mengakses pinjaman bank. Program ini menjadi semacam gugatan Yunus terhadap ketidakadilan dunia terhadap kaum miskin. Kini, bank ini memiliki 2.226 cabang di 71.371 desa. Hebatnya lagi, modal bank ini 94 persen dimiliki nasabah, yakni kaum miskin, dan sisanya dimiliki pemerintah. Bank tersebut kini mampu menyalurkan kredit puluhan juta dollar AS per bulan kepada 6,6 juta warga miskin yang menjadi peminjamnya. Sebanyak 96 persen nasabah bank ini adalah kaum perempuan.
Pinjaman tanpa agunan ini tidak dikenakan bunga dengan waktu pembayaran fleksibel. Syaratnya pinjaman harus dikembalikan dari hasil pekerjaan mereka dan bukan dari mengemis. Mereka diberikan tanda pengenal berupa pin dengan logo bank sebagai bukti bahwa ada bank yang mendukung kegiatan mereka. Bank Grameen bahkan membuat perjanjian dengan beberapa toko lokal agar meminjamkan mereka sejumlah barang, sesuai plafon utangnya, untuk dijual kembali. Bank menjamin pengembaliannya jika ternyata mereka gagal bayar.
Mereka menjual roti, permen, acar, dan mainan sembari mereka mengemis. Para pengemis, atau yang disebut struggling member terbuka untuk membuka tabungan di Grameen. Mereka juga dilindungi asuransi jika terjadi kematian. Hingga pertengahan 2005, sebanyak 31 juta taka pinjaman telah disalurkan bagi 47 ribu lebih pengemis. Sebanyak 15,4 juta di antara pinjaman itu telah dikembalikan.
Penutup
Kita bisa belajar dari Muhammad Yunus dalam perbaikan penanganan kemiskinan di Indonesia. Beberapa poin yang bisa disimpulkan: pertama, bahwa kemiskinan di Indonesia sangat dimungkinkan terjadi karena keterbatasan akses rakyat miskin dalam mengembangkan potensi yang mereka miliki secara mandiri. Pendekatan pemerintah melalui program bantuan secara fisik seringkali mengabaikan kemandirian masyarakat, sehingga justru memperlebar ketimpangan antar golongan masyarakat.
Kedua, hal yang perlu dilakukan untuk mengatasinya antara lain mengangkat derajat kaum miskin, seperti yang dilakukan Muhammad Yunus. Dia tidak ingin memberi ikan, melainkan memberi pancing kepada kaum papa untuk mencari ikan sendiri. Dengan adanya akses bagi usaha-usaha mandiri, kaum miskin itu bisa meningkatkan kesejahteraan mereka.
Ketiga, tentu saja butuh kepemimpinan yang punya sense of poor (sensitifitas terhadap kemiskinan) untuk melaksanakannya, seperti halnya Muhammad Yunus. Karena tanpa kepemimpinan seperti ini, berbagai program-program yang dilakukan pemerintah akan tetap berkutat pada cara-cara lama, sehingga kemiskinan akan sulit diatasi. **

No comments: