Tuesday, March 13, 2007

Apakah Belajar Mesti Tidak Menyenangkan?

Oleh: Heriyanto

“Anak-Anak, Bermainlah!”. Kata-kata ini menjadi judul dalam makalah yang ditulis oleh Dr. Seto Mulyadi atau yang lebih dikenal dengan nama Kak Seto, yang disampaikan dalam Seminar Pendidikan Anak di Pontianak, 13 Agustus 2005 yang lalu. Terasa aneh memang judul diatas, apalagi bila dibandingkan dengan maunya pemerintah, dimana setiap anak dituntut untuk belajar lebih giat dan rajin agar dapat meningkatkan nilai ujiannya. Hal ini justru berbeda, anak-anak disuruh bermain, sesuatu yang selama ini dianggap kurang bermanfaat dan membuat anak malas belajar.
Anak-anak memang tidak lagi punya waktu yang cukup untuk bermain. Mulai sejak umur 3 tahun mereka sudah mulai dikenalkan berhitung, membaca, dan belajar. Dimulai pada tingkat TK atau juga di Playgroup mereka sudah mulai dijejali dengan berbagai materi pelajaran. Di SD, SMP, SMA, apalagi. Bahkan ketika anak masuk ke SD, akan dianggap terbelakang bila belum bisa berhitung dan membaca. Atau ada juga yang mengetes calon siswa SD itu dengan berhitung dan membaca.

Belajar menjadi Tidak Menyenangkan
Otak siswa hanya satu. Sebagian otak itu ber IQ tinggi, sebagian sedang, dan sebagian yang lainnya idiot. Dua yang terakhir adalah golongan terbanyak di Indonesia. Maklum gen penyusun otak siswa Indonesia lebih sering kurang mendapatkan asupan gizi. Ada yang cacingan, gizi buruk, sampai penyakit busung lapar.
Namun, dalam kesehariannya di sekolah, otak mereka itu harus menghafal dan dijejali banyak sekali materi pelajaran. Tak pandang bulu. Segala macam materi dihafal setiap harinya. Di SD ada sekitar 7 mata pelajaran, SMP 11 mata pelajaran, dan SMA tak kurang 17 mata pelajaran.
Siswa terus dipacu belajar ekstra, mengejar target lulus. Ujian nasional ditentukan standarnya. Di bawah nilai standar tak lulus. Akhirnya, aktivitas guru lebih dominan daripada siswa, untuk mengejar target materi. Siswa tak lebih hanya menghafal ilmu pengetahuan yang disampaikan gurunya, bukan memahaminya. Proses belajar mengajar menjadi sesuatu yang membosankan dan tak menyenangkan. Tak disangkal ada banyak “kepala” yang tertekan.
Bahkan ada yang gantung diri, minum racun serangga, memanjat tiang listrik, dan sebagainya. Wah beratnya!! Sekolah ternyata bisa bikin stress anak-anak. Apalagi banyak diantara siswa yang harus terbebani secara psikologis untuk beli buku tambahan, les tambahan, bayar uang sekolah, dan segala tambahan lainnya.
Yang lulus sekolah, justru jadi manusia bingung. Banyak yang tak tahu apa-apa. Mau kerja, keterampilan tak mencukupi, mau kuliah biayanya mahal. Mereka jadi pengangguran “bisu”. Asing di lingkungannya. Tak mampu menawarkan diri. Tak mampu berkreasi. Bagi yang diterima kuliah, pengetahuannya pas-pasan. Lulus pun karena ada tempat yang masih tersedia, bukan karena bisa melampaui pasing grade. Ya, ujian SPMB kan banyak yang hanya asal-asalan.
Belajar Menyenangkan
Selama ini terframe di otak, belajar adalah sesuatu yang sangat tidak menyenangkan. Bosan dan bikin kepala pusing. Tapi, ungkapan ini akan berbeda sekali dengan pendapat Dr. Setomulyadi, diawal paragraf di atas. Pemikiran ini tentu merupakan antitesa adanya kenyataan selama ini inteligensi diunggulkan sebagai satu-satunya jaminan masa depan bagi kesuksesan anak di masa depan, lalu mengkaitkan inteligensi ini hanya dengan prestasi skolastik belaka. Ya prestasi sekolahlah yang selama ini dianggap paling menentukan masa depan.
Bermain yang merupakan dunia anak-anak yang paling indah pun hilang dan digantikan kegiatan belajar anak-anak di lembaga pendidikan formal. Suasana keceriaan yang seharusnya mereka nikmati diganti dengan suasana belajar yang tegang dan serius.
Karena itu, atas segala macam tekanan psikologi, dengan bermain diharapkan siswa bisa mengisi kembali energi yang telah melemah. Sigmund Freud mengatakan, bermain berguna mengurangi kecemasan anak dengan mencoba mengekspresikan berbagai dorongan impulsifnya dengan cara yang diterima oleh lingkungan. Sementara Jean Piaget mengatakan, bermain amat penting bagi perkembangan kognitif seorang anak dengan melatih kemampuan adaptasi dengan lingkungannya dalam suasana menyenangkan.
Tepatlah juga yang dikatakan oleh Thomas Armstrong, "Semua anak adalah anak yang berbakat. Tiap-tiap anak terlahir ke dunia ini dengan potensi yang unik, yang jika dipupuk dengan benar, dapat turut memberikan sumbangan bagi dunia yang lebih baik. Tantangan terbesar bagi para orangtua dan guru adalah menyingkirkan batu besar yang menghalangi jalan mereka dalam menemukan, mengembangkan, dan merayakan anugerah yang mereka miliki itu."
Seorang anak dikembang kemampuannya sesuai dengan spekturm kecerdasan yang dimilikinya dengan menyenangkan, tidak lagi dipaksakan untuk menerima materi yang belum mampu diterima. Seorang anak yang memiliki bakat dan minat pada musik bisa dikembangkan bakatnya itu, dan tidak harus dipaksakan untuk menguasai matematika, misalnya, padahal ia tak mampu. Sehingga belajar tidak lagi menjadi momok bagi mereka yang memang IQ Nya rendah.
Dengan demikian, mengacu juga pada Teori Kecerdasan Majemuk (KM) dari Howard Gardner, bahwa pikiran manusia tersusun dari tujuh kecerdasan--linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetik, musikal, interpersonal, dan interpersonal. Karena itu proses pendidikan hendaknya tidak hanya diarahkan pada pengembangan Inteligensi saja, tetapi bisa saja kecerdasan lainnya yang sesuai kemampuan, minat, serta bakatnya. Semoga anak-anak memperoleh keceriaannya kembali.**

No comments: