Tuesday, March 13, 2007

Contextual Teaching and Learning


Oleh: Heriyanto

Kualitas kehidupan bangsa sangat ditentukan oleh faktor pendidikan. Kita tahu, jika kualitas pendidikan rendah, maka akan berakibat pada rendahnya kualitas kehidupan bangsa. Kenyataannya, pendidikan di Indonesia saat ini masih rendah, karena itu wajar saja bila kualitas kehidupan berbangsa juga masih rendah.
Hal ini berarti bahwa persoalan pendidikan itu kait mengakit. Sementara kaitan rendahnya mutu pendidikan ini, salah satunya, yaitu rendahnya mutu proses pembelajaran. Pendidikan di Indonesia cenderung sangat teoritik dan tidak terkait dengan lingkungan di mana siswa berada. Akibatnya peserta didik tidak mampu menerapkan apa yang dipelajarinya di sekolah guna memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan telah mencabut peserta didik dari lingkungannya sehingga mereka menjadi asing di dalam masyarakatnya sendiri,” tulis Heri Suderajat, mengutip penelitian Bazely.
Memang, selama ini, guru lebih banyak mengejar target yang berorientasi pada nilai ujian akhir, dengan menggunakan model konvensional yang monoton. Baik buruknya hasil belajar diukur dari tes soal pada ujian akhir nasional. Dengan standar nilai yang cukup tinggi, 4, 26, proses pembelajaran dikejar dan diarahkan supaya siswa bisa mengejar target nilai itu. Kekhawatiran banyaknya siswa yang tidak lulus menjadi pemicu lainnya. Siswa terus dipacu untuk belajar ekstra.
Akhirnya, aktivitas guru lebih dominan daripada siswa, sehingga seringkali dalam proses pembelajaran, siswa hanya menghafal ilmu pengetahuan yang disampaikan gurunya, bukan memahaminya. Proses belajar mengajar menjadi sesuatu yang membosankan dan tak menyenangkan.
Ditambah lagi, prestasi melalui proses persaingan antar murid begitu digencarkan. Perengkingan untuk menentukan murid terbaik, adalah implikasinya. Seakan-akan pendidikan hanya menjadi tempat mencari nilai tertinggi, bukan sebagai tempat belajar untuk memahami dan menemukan sendiri ilmu pengetahuan. Freire mengatakan, selama ini murid yang jenius adalah murid yang bisa ‘memfotokopi’ seluruh materi yang diberikan oleh gurunya. Guru lebih memperhatikan seorang murid dengan predikat juara kelas. Padahal ada 40-50 orang murid lain di kelas tersebut yang harus dikembangkan potensinya.
Sementara itu keberhasilan pendidikan hanya tampak dari kemampuan siswa menghafal fakta-fakta. Walaupun banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka seringkali tidak memahami secara mendalam substansi materinya.
Padahal tujuan Pendidikan Nasional seperti yang tercantum dalam UU. No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan nasional bertujuan mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia. Hal ini tertuang pada pasal 3 yang berbunyi: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam pengembangan kualitas SDM ini, peserta didik harus dikembangkan secara proporsional dari berbagai segi, baik rohani maupun jasmaninya, sesuai dengan bakat dan minatnya dan dalam konteks: sosio-budaya daerah yang mengacu pada kebudayaan nasional bangsa Indonesia yang mesti dipegang teguh dalam upaya menjaga kesatuan/ keutuhan nasional. Bukan hanya dari segi intelegensinya saja.
Sementara itu, pada pasal 5 Undang-Undang Sisdiknas juga disebutkan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu ... . Hal ini disebutkan pula dalam Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia yang berbunyi: Tujuan pendidikan yang sesuai adalah bukan menyelamatkan sistem melainkan memperkaya kehidupan banyak orang dengan menyediakan pendidikan yang lebih berkualitas, lebih efektif, lebih cepat dengan biaya yang terjangkau. Pendidikan adalah hak setiap orang. ......pendidikan tinggi dapat diakses secara sama oleh semua atas dasar kelayakan
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Ada kesadaran, apa yang dipelajari berguna bagi hidupnya nanti. Dengan begitu mereka memosisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti.
Namun, seberapapun bagusnya sebuah model pembelajaran, tidak akan bermanfaat banyak bila guru dan sekolah tidak mempraktekkannya, karena kurangnya pengetahuan tentang model pembelajaran tersebut. Menurut Profesor Djohar MS dan Professor Winarno seperti yang dikutip Paul Suparno, mutu pembelajaran pada semua jenjang pendidikan dikhawatirkan terus merosot akibat pembekalan nilai profesional pada calon guru selama pendidikan di perguruan tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Darling-Hammod dan Young tahun 2002 yang termuat dalam Educational Researcher (Kompas, 26/10/2004: hal 4) dengan tegas mengungkapkan, kebanyakan Fakultas Keguruan tidak siap menghasilkan guru yang profesional. Pengamatan yang telah dilakukan penulis ke beberapa sekolah, masih banyak guru-guru yang belum menerapkan pembelajaran kontekstual. Hasil wawancara dengan sejumlah kepala sekolah, ternyata masih banyak guru yang belum memahami apa itu pembelajaran kontekstual dan bagaimana menerapkannya dalam pembelajaran di sekolah.
Karena itu, FKIP sebagai pencetak tenaga pengajar harus mempersiapkan mahasiswanya sejak awal, agar lulusannya benar-benar siap mengajar dan tidak lagi gagap terhadap pembelajaran kontekstual. Kesiapan ini tentunya sangat diperlukan dalam proses pembelajaran di sekolah dimana mereka nantinya akan mengajar. **

No comments: