Tuesday, March 13, 2007

Simbol dan Citra

Oleh: Heriyanto

Ini pekerjaan yang sering dilakukan pejabat: hadir da­lam suatu acara-acara simbolis untuk merayakan cit­ra. Dulu kita sering melihat di televisi senyum Pak Harto mengembang dalam suatu acara simbolis pem­bukaan panen raya atau acara simbolis lain. Para pejabat lain pun ikut mendampingi. Di samping Pak Harto hadir beberapa menteri dan gu­bernur tempat acara itu berlangsung. Para pengganti Pak Harto pun mela­ku­­kan hal yang sama: meresmikan secara sim­bolis penanaman pohon untuk peng­hijauan, acara simbolis bersih-bersih sampah, acara simbolis pengentasan ke­mis­kinan, dan sebagainya.
Belakangan ini ketika Pilkada sedang ha­ngat-hangatnya, acara-acara simbolis itu semakin marak. Pelakunya, para kon­testan Pilkada. Jadilah para calon pe­ja­bat itu tukang potong tumpeng, pemu­tus pita, pemencet sirine atau pemukul gong. Fenomena lain adalah maraknya politikus yang jadi us­tadz, gubernur yang hobi safari, dan ada anggota DPR yang sering bikin iklan di koran. Sebagian lain rajin mem­ba­­gi-bagikan sembako dan paling sibuk menghadiri acara-aca­­­ra yang ramai massanya, diliput media dan besoknya akan terpampang di halaman koran.
Melihat fenomena ini saya teringat istilah yang cantik da­­­ri Yasraf A Piliang (2005): nomadisme politik. Istilah da­lam buku Transpolitika ini bisa diartikan kecendrungan po­­litik yang tidak tetap, perilaku aktor-aktor politik yang be­­rubah-ubah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu ben­­tuk ke bentuk lain, dari satu identitas ke identitas lain. Ten­­tu saja perubahan ini tergantung kepentingannya.
Sampai di sini ada dua kata kunci yang akan kita bahas. Per­­tama, soal citra pejabat di depan publik. Kedua soal ke­­mampuan media massa dalam menyampaikan realitas. Per­ta­nyaannya, apa itu citra? Dan apakah media mampu meng­gambarkan realitas secara penuh?
Perlu kita pahami bahwa apa yang kita ketahui soal per­kembangan dunia di luar lingkungan terdekat kita se­ba­gian besarnya adalah konstruksi atau ben­t­ukan dari media (koran, radio, in­ter­net, atau televisi) yang kita baca, de­ngar, atau tonton. Walaupun ada juga yang kita dapatkan secara langsung ber­dasarkan pengalaman sehari-hari. Gam­ba­ran kita pada sosok presiden SBY mis­al­nya, sebagian besar adalah apa yang di­sampaikan media. Atau soal remeh te­meh gaya batuknya mantan presiden Soe­harto juga kita ketahui dari media mas­sa (televisi). Coba ingat, dulu di TVRI, Pak Harto selalu mendehem se­be­lum berpidato. Kita yang di Ponti­anak ini tahu tentang kelakuan para pe­ja­bat di Jakarta, juga dari media massa. Tapi, ups. Kelakuan pe­jabat di Kalbar juga kebanyakan kita tahu dari media massa.
Dalam contoh di awal paragraf, Pak Harto juga para kon­testan calon gubernur boleh dibilang sedang mem­ba­ngun citra. Citra ini diperlukan untuk pengesahan bahwa dia layak mendapat tempat di masyarakat. Bagi calon pejabat hal ini dilakukan untuk memikat pemilihnya, bagi para me­reka yang sudah menjabat ini dilakukan agar dianggap baik, pe­dulian, dan mengerti masalah rakyat.
Barangkali betul, bahwa kita sudah dikepung dunia citra. Du­nia citra sangat didukung adanya media massa. Yang kita li­hat di media massa bisa jadi adalah representasi dari dunia rea­litas, namun boleh jadi- ini yang lebih sering- hanya meng­gambarkan ujung pendek dari realitas. Dengan me­ma­kai kajian hermeneutika, kita biasanya sering bicara soal teks dan konteks (realitas). Pertanyaan yang sering diajukan, apa­kah dunia teks itu mampu merepresentasikan sebuah rea­litas secara keseluruhan?
Di media kita mengenal istilah simulakrum. Se­der­ha­nanya, ada bagian-bagian dari realitas yang hilang, sehingga bi­sa jadi sebenarnya yang ditampilkan oleh media, hanya se­pertiga, seperenam, sepersepuluh, dan seterusnya, dari rea­litas yang ada. Dengan demikian apa yang kita pahami pun tak akan sepenuhnya sama dengan realitas yang terjadi, ter­gan­tung bagaimana media menyampaikannya.
Dalam pencitraan tertentu di situ diperlukan adanya sim­­bol, baik itu simbol-simbol agama, ideologi, etnis dan lain-lain. Di Indonesia yang paling sering dipakai adalah sim­bol-simbol keagamaan. Simbol-simbol ini mampu mem­berikan reaksi yang besar bagi penganutnya. Sensifitas ke­aga­maan memang sering dimanfaatkan dalam membangun pe­ngaruh. Makanya jangan heran bila para kontestan Pil­kada akan berubah menjadi pengkhotbah, ceramah di sana sini, meskipun mereka sebenarnya bukan seorang pen­ceramah. Dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan- dalam Islam misalnya kopiah, sarung, dan baju koko- mereka akan mencitrakan diri sebagai orang yang taat beragama. Kita dan sebagian dari kita barangkali akan terkesima dengan pe­nampilan itu.
Tujuannya jelas, siapa yang mampu menguasai dunia citra dan simbol diyakini akan mempunyai satu kekuatan, yang oleh Antonio Gramcy disebut sebagai hegemoni makna. Se­buah kekuatan yang bisa mempengaruhi orang lain namun dengan tanpa disadari karena pengaruh ini berjalan begitu halus. Anda mung­kin tidak perlu berbicara secara langsung dengan sese­o­rang namun an­da tetap da­pat mempe­nga­ru­hinya de­ngan meng­giring apa yang dipikirkannya. Hegemoni oleh Gramcy dianggap seba­gai sebuah kekuatan besar. Dengan hegemoni pikiran orang bisa diarahkan pada tujuan ter­tentu. Ini semacam bentuk ko­munikasi yang sangat modern dikembangkan oleh ber­bagai tokoh dalam mem­pe­ngaruhi kekuatan kekuatan massa. Ini sangat dimungkinkan terjadi dengan semakin ber­kem­bangnya dunia media. Namun yang sangat berbahaya bila ada manipulasi ke­nyataan yang ujung-ujung menjadi ke­bo­hongan publik.
Dalam pandangan kritis, suatu realitas tidak sepenuhnya bi­­sa tergambarkan oleh sebuah media. Sebuah pantulan dan tampilan yang diciptakan sangat baik, sehingga terkesan itu seperti alami dan menghasilkan kesan yang baik pula. Se­­orang gubernur atau calon gubernur membagikan sum­ba­­ngan ke masjid atau hajatan dengan mengundang anak ya­­­tim piatu dari suatu ke panti asuhan, misalnya. Media pun kemudian memuatnya menjadi sebuah berita.
Kita tentu sering menyaksikan di media seorang gu­ber­nur X atau pejabat Y melakukan acara simbolik, misalnya sa­­­ja penanaman pohon, acara panen raya dengan hasil per­ta­­­nian yang melimpah, atau penyematan pin anti KKN. Pa­­­ra pejabat itu ingin menampilkan sebuah citra yang baik dan kemudian dilihat oleh masyarakat. Pencitraan diri sen­di­ri oleh para pejabat melalui media massa yang ingin meng­he­­la opini publik tentang si pejabat. Simbol-simbol di­main­­kan, ucapan-ucapan manis digunakan untuk merangkul rak­­yat, dan janji-janji untuk meningkatkan kemakmuran rak­yat dilontarkan.
Di sana hadir dunia citra bahwa mereka itu orang yang baik. Di sisi lain, segala keburukan mereka akan coba sebisa mung­­kin untuk ditutupi. Itu artinya citra-citra tersebut ti­dak menggambarkan yang sesungguhnya, melainkan reduksi a­tas realitas.
David Mc Clelland menyebut tiga hasrat/ keinginan un­­tuk menilai sikap atau orang atau pihak tertentu. Dari pe­­nelitiannya dia mengenalkan istilah need for achievement (ke­inginan untuk berprestasi), need for affiliation (keinginan un­­tuk bersahabat, berkasih sayang, popular, dan disukai orang banyak), dan terakhir need for power (keinginan ber­kuasa).
Belakangan, need for power itu yang ternyata lebih ba­nyak mendominasi para pemain politik di negeri ini. Ba­ha­yanya bila mereka menghalalkan segala cara untuk meraih ja­­ba­tannya. Namun kita tidak serta merta bisa me­nge­tahuinya, karena mereka selalu mencitrakan diri dengan sa­ngat baik. Istilahnya, serigala memakai topeng domba.
Nah dengan pemahaman ini sebenarnya ada satu hal yang bisa kita waspadai, bahwa mereka yang tampil baik di media bisa jadi sebaliknya adalah orang yang senantiasa me­­lakukan kebohongan di belakangnya. Bahwa apa yang ki­ta lihat di media bisa jadi kebalikan dari kenyataan se­baliknya adalah sesuatu keniscayaan. Maka ketika nantinya ki­ta memilih, memilihlah dengan hati-hati. Bukankah dalam po­­litik yang abadi hanya kepentingan? Emangnya mau memilih serigala yang bermuka domba? Ha..ha..**

No comments: