Oleh Heriyanto
Sebuah Kisah Pengantar
Hurke Hedges dalam The Parable Of Pipeline membuat ilustrasi menarik. Tahun 1801 di sebuah lembah di Italia, ada dua orang saudara sepupu yang sangat ambisius: Pablo dan Bruno. Mereka memiliki cita-cita tinggi. Keduanya bekerja mengangkut air dari sumber air ke penampungan di tengah desa. Namun, jarak yang jauh dan kondisi jalan yang kurang memungkinkan adalah rintangan terbesarnya.
Pablo memberikan usul, ”Bagaimana bila kita membangun saluran air?”. Usulan Pablo dianggap angin lalu oleh Bruno. Pablo lantas mengerjakan sendirian rencana itu, sementara Bruno tetap pada usahanya sejak awal. Orang-orang desa mengejek apa yang dikerjakan Pablo dan menyebutnya Si Manusia Pipa.
Namun dia terus mengerjakannya: menyambung-nyambung batang-batang bambu. Sendirian! Dua tahun berlalu, saluran pipanya akhirnya rampung. Orang-orang desa berkumpul saat air mulai mengalir dari saluran pipa menuju ke penampungan air. Desa itu sudah bisa mendapatkan pasokan air bersih secara tetap. Semua bergembira. Hanya Bruno yang tampak murung dengan tubuh bungkuk karena setiap hari mengangkut air.
Pablo berkata pada Bruno, “Dua tahun lamanya saya bekerja untuk menyelesaikan pembangunan pipa itu. Selama itu saya belajar banyak hal. Dan saya sudah mengerti bagaimana membangun saluran pipa dengan lebih mudah. Sebetulnya saya bisa mengerjakannya sendirian, tetapi rasanya untuk apa saya menghabiskan waktu satu tahun hanya untuk membangun satu saluran pipa. Rencana saya mengajari kamu dan warga desa lainnya supaya bisa membangun sendiri saluran pipa untuk mereka. Semua tempat akan bisa teraliri air.”
Dalam kisah di atas tersimpan nada-nada optimisme, sekaligus pesan yang barangkali bisa kita jadikan pelajaran tentang perjuangan seseorang untuk kepentingan masyarakat luas. The Parable Of Pipeline adalah sebuah cerita menarik. Pararel dengan cerita ini, Tempo pada akhir Desember 2006 memilih 10 Tokoh Muda Indonesia yang dinilai telah melahirkan karya-karya yang bermakna bagi kemanusiaan.
“Wajah mereka berkelebat di laboratorium, di turbin air, di desa tandus, di musium tua yang dilupakan serta di ruang pengadilan yang mendidih. Mereka kerap ditimpa kesepian karena memilih bertarung melawan arus besar yang lama menelikung kita: korupsi, kolusi, nepotisme. Menciptakan karya-karya yang bermartabat adalah pilihan mereka.” Demikian Tempo edisi 31 Desember 2006 menuliskan kata pengantar indah ini untuk mereka.
Mereka ada di berbagai pelosok Indonesia. Tri Mumpuni salah satunya. Di sana, di daerah terpencil di Sulawesi Selatan, Mumpuni mengajari warga membuat listrik murah, lalu menjualnya ke pemerintah. Dia berjuang dengan tetesan keringat. Inilah wanita yang berani menunggangi kuda jauh menembus hutan-hutan Sulawesi dan menyisiri daerah-daerah pedalaman dengan semangat yang tinggi agar masyarakat di sana bisa menikmati listrik.
Dia gigih memberdayakan daerah terpencil dan ulet mewujudkan apa yang dianggapnya berkeadilan. Membaca kisah ini kita ingat dengan perjuangan penerima Nobel Perdamaian 2006 Dr Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank, yang memberikan kredit kecil kepada buruh, pengemis, dan orang-orang miskin di Bangladesh supaya mereka bisa meningkatkan kesejahteraan mereka. Dia telah mengilhami banyak orang bagaimana bertindak bagi kemanusiaan dengan hati yang tulus.
Kita Butuh Optimisme
Bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai masalah, kita sudah tahu sama-sama; bangsa ini didera krisis mulitidimensi juga sering kita dengar; petaka dan bencana datang silih berganti, sudah sama-sama kita rasakan. Belum selesai satu bencana tertangani, di daerah lain sudah muncul bencana lain. Tsunami, banjir, longsor, kekeringan, lumpur panas, dan sebagainya: hampir tak bisa kita hitung satu persatu.
Di antara sekian banyak persoalan yang ada di bangsa ini, yang masih sangat jarang kita dengar adalah optimisme dan upaya bersama untuk keluar dari segala macam sengkarut tersebut. Yang lebih sering kita dengar adalah nada pesimisme; sesama anak bangsa berkelahi; sesama pejabat negara saling menjatuhkan.
Katakanlah kita memanjat pohon yang salah, maka yang dibutuhkan adalah bagaimana kita bisa turun dan kemudian belajar dari kesalahan itu sehingga ke depan kita tidak lagi salah memanjat pohon. Descartes pernah berujar: “Aku selalu mempunyai keinginan kuat untuk mempelajari bagaimana membedakan yang benar dari yang salah, supaya terlihat jelas bagaimana seharusnya aku bertindak dan bisa berkelana dengan kayakinan melalui hidup ini.” Apakah bangsa ini, kita semua, sudah mau belajar agar mampu membedakan yang benar dan yang salah.
Saya yakin manusia pada dasarnya baik dan selalu bergerak menuju kebaikan. Saya setuju dengan Komarudin Hidayat dalam buku Politik Panjat Pinang: di Mana Peran Agama? yang terbit setahun lalu bahwa dalam kesadaran batinnya yang paling dalam, setiap manusia memiliki dorongan untuk mencari makna. Dalam hal ini kejahatan dan kemerosotan moral manusia adalah kesementaraan sebagai dialektika menuju perbaikan dan kemajuan. Jadi kita mesti bersabar, optimis, dan secara kritis melakukan perbaikan terus menerus.
Optimisme ini bukan tanpa alasan. Kita bisa melihat berbagai perubahan yang secara pelan tapi pasti mulai berjalan. Ruang-ruang optimisme itu juga muncul ketika melihat banyak anak muda yang sungguh-sungguh bekerja untuk perubahan bangsa ini. Layaknya tokoh Pablo mereka bekerja untuk masyarakat luas. Generasi muda itu tumpuan bangsa saat ini.
Negara yang dalam kondisi krisis, rakyatnya dalam situasi kebingungan, gamang, dan kehilangan spirit. Maka harus ada orang-orang yang menjadi inspirasi banyak orang untuk terus melakukan perbaikan. Mereka tidak bergerak untuk diri mereka sendiri, namun untuk kepentingan yang lebih luas. Kita butuh banyak orang seperti itu, tidak cukup satu. Kita butuh orang-orang itu di kepolisian, di kejaksaan, di depertemen, di legislatif dan di berbagi tempat lain. Mereka yang bisa mendobrak segala kebekuan, segala stagnasi. Mereka mesti orang yang berani, namun penuh perhitungan.
Melalui mereka optimisme kita dibangkitkan. Krisis memang berat, namun seberat apapun krisis bila ada orang yang mampu membangkitkan optimisme bahwa suatu saat masih ada cahaya terang, maka krisis bukanlah sesuatu yang mustahil dilalui. Mereka mampu membalikkan pesimisme yang sudah akut menjadi harapan cerah. Energi bangsa dipompa untuk memandang ke depan dan punya impian. Jika Amerika punya American Dream, Indonesia layak punya Indonesian Dream. Dengan itu kita akan bangkit!
No comments:
Post a Comment