Oleh
Heriyanto
Copernicus dihukum dan
buku-bukunya dibakar oleh kekuasaan Gereja Katolik ketika dia membantah teori
geosentris yang selama beratus-ratus tahun diyakini orang-orang pada zamannya.
Copernicus kukuh dengan teori heliosentris bahwa bukan matahari yang mengelilingi
bumi, namun sebaliknya bumilah yang mengelilingi matahari.
Kita bicara soal
personalitas para pejuang --yang kecil, yang sedikit, yang sendiri-- namun
harus melawan sebuah kekuasaan yang besar. Mereka yang pada akhirnya dibungkam.
Bahkan Mati. Orang-orang yang melawan arus besar, memang harus bersiap-siap
untuk itu. Karena status quo sangat resisten terhadap perubahan dan tidak siap
dengan sesuatu yang baru. Di mana pun hampir sama.
Kisah seperti itu ada di banyak tempat. Film Dead Poet Society yang
diperankan Robin Williams menggambarkan situasi seperti ini secara jelas. Film
yang menarik. Saya menontonnya tiga kali. Di sebuah sekolah asrama, seorang
guru yang gerah melihat kondisi di sekolah itu coba membuat terobosan baru.
Si
guru mengganti kebiasaan pelajaran berpuisi misalnya, yang lebih sering hanya
belajar teori tentang puisi, dengan meminta para siswanya membuat puisi dan
membacakannya di depan kelas. Dia juga membiasakan anak-anak belajar secara
bebas di kelas sesuai gaya belajar mereka. Si guru membawa perubahan pada
sekolah. Tetapi semua itu bertentangan dengan kebiasaan di sekolah itu. Lingkungan
yang konservatif (pimpinan sekolah, dan sistem lama) masih belum bisa menerima
apa yang dibawa Si Guru. Dia pun dipecat.
Barangkali benar, orang yang menentang arus akan bernasib seperti
Copernicus dan Si Guru. Inu Kencana seorang dosen Institut Pemerintahan Dalam
Negeri juga harus terjungkal karena menentang arus. Dia yang berani bicara soal
kekerasan di kampus pencetak calon birokrat itu justru dinonaktifkan. Orang-orang
lama merasa terusik. Dia menjadi ancaman bagi orang-orang status quo di
kampusnya. Dia sering diancam, juga dimusuhi orang-orang kampus; agar dia
bungkam dan tidak mengotak-atik almamaternya. Namun jiwa gurunya memanggilnya
agar tetap berpihak pada kebenaran. Inu tentu tak punya senjata, ia hanya punya
keberanian dan keyakinan bahwa yang dilakukannya benar. Apa yang terjadi pada
Inu sangat mirip seperti cerita dalam film Dead Poet Society. Dia adalah si
guru.
Di sebuah pulau nun jauh yang terisolir, Pramoedya Ananta Toer juga pernah
merasakan bagaimana menjadi orang yang melawan arus. Puluhan tahun ia dibuang
di Pulau Nusakambangan dan di Pulau Buru, tanpa ada proses pengadilan. Kekuasaan
terlalu takut pada penanya, pada pikiran-pikirannya. Namun semangat tetap
membara. Ia terus menulis. Menulis sesuatu yang ia pahami betul satu-satunya
jalan yang paling memungkinkan sebagai laku perjuangannya. Walau tentu saja ia
juga yakin kekuasaan masih belum bisa menerima karya-karyanya.
Dalam Sekali Peristiwa di Banten Selatan ia
menulis, "Di mana-mana aku selalu dengar: yang benar juga akhirnya yang
menang. Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari
langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar." Sampai akhirnya dia
menutup mata, kebenaran itu masih belum selesai diperjuangkan.
Sama halnya dengan Munir, seorang tokoh hak asasi manusia yang gigih
menyuarakan apa yang menurutnya benar. Soal hak-hak rakyat kecil, soal tangisan
keluarga korban yang hilang diculik, atau sekadar membela para buruh yang
hak-haknya dilanggar. Namun akhirnya dia mesti mati muda. Orang-orang yang
merasa terusik sepak terjangnya memberinya arsenik saat akan pergi belajar di
negeri orang. Dia menutup mata, sebelum perjuangannya selesai. Sampai kini
kekuasaan besar itu masih melindungi orang-orang yang bersalah. Namun mati satu
tumbuh seribu. Akan ada orang-orang yang akan meneruskan perjuangannya.
Bagaimana seandainya tidak muncul orang-orang seperti mereka? Di Indonesia, sistem dan orang yang 'rusak' merajalela di
mana-mana: di instansi-instansi pemerintah, penegak hukum, atau lembaga
pendidikan. Tahu ada yang tidak beres, namun orang-orang di sana diam, karena
mereka menikmati kenyamanan. Mereka bagian dari kebobrokan itu.
Kita masih menunggu, siapa berikutnya yang bisa kita jadikan panutan untuk
sama-sama memperjuangkan sesuatu yang benar; mendobrak segala sengkarut itu;
dan berani menentang arus. Masa-masa transisi harus segera diselesaikan, karena
kita tidak mungkin terus hidup pada masa lalu. Jika mereka telah menyerahkan
waktu, harta, bahkan nyawa untuk satu perubahan, apakah kita akan
menyia-nyiakannya? Saya teringat ucapan Wiji Thukul, seorang aktivis yang
sampai saat ini tak tahu di mana keberadaannya: Diam tertindas atau bangkit
melawan, karena mundur adalah pengkhianatan. Haruskah kita terus diam?
1 comment:
Tulisan ini benar di alam nyata terjadinya, tertindas, tipu daya, pnghiatan, pngucilan adalah mainan bagi mereka...,Nabi Muhammad menumbangkan rezim yang berakar dalam selama 30 tahun, belum lagi periode 4 sahabat, maka umur kita tidak cukup, maka wariskanlah perjuangan itu agar abadi..Jihad atau perlawanan.
Post a Comment