Oleh Heriyanto
Pagi, Jumat 20 April 2007 sebuah mobil kijang putih melaju menuju Sungai Ambawang. Waktu masih menunjukkan pukul 8.30, namun matahari sudah cukup terik. Jalan berdebu. Sebagian ruas jalan yang ditempuh sudah diaspal namun terputus-putus. Ruas jalan yang berupa tanah merah bercampur batu lebih panjang ketimbang yang sudah diaspal. Sesekali mobil berguncang. Mobil mesti berjalan pelan saat melalui lubang-lubang yang cukup banyak di jalan.
Mobil itu mengangkut 7 orang peserta pelatihan pengkampanye hasil hutan: Sulhani (Kail), Arif Kristanto (Taman Nasional Betung Karihun), Julinda (Balai Pemantapan Kawasan Hutan III), Musa (Institut Dayakologi), Didin (TN Bukit Baka Bukit Raya) dan Icuk Setiawan (BKSDA Kalbar). Saya dari Mimbar Untan termasuk salah satu di dalamnya. Kegiatan ini didanai Forest Law Enforcement-Governance And Trade.
Sesuai rencana pada malam harinya, kami memang berencana melihat secara langsung proses pengambilan kayu cerucuk. Ini usulan Sulhani yang aktif di Konsorsium Anti Illegal Logging (KAIL). Dia meyakinkan kelompok, bahwa kegiatan penebangan kayu cerucuk cukup marak di Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak. Kecamatan ini masih cukup banyak luasan hutan yang menyediakan pasokan cerucuk.
Setelah sekitar setengah jam perjalanan terlihat beberapa truk besar melintas. Ada 8 buah truk yang lewat, 5 buah di antaranya membawa muatan penuh cerucuk. Mobil kijang yang membawa kami melewati beberapa desa yaitu Kuala Ambawang, Jawa Tengah, Korek, Lingga, dan Pancaroba. Sepanjang perjalanan kami menyaksikan tumpukan-tumpukan cerucuk di pinggir jalan Trans Kalimantan. Akhirnya kami sampai di Desa Teluk Bakung, desa paling ujung Sungai Ambawang. Saat itu pukul 11.00.
Di satu lokasi yang tidak jauh dari jalan, terlihat aktivitas pekerja yang sedang memuat kayu-kayu berukuran kecil ke dalam truk. Ada beragam ukuran kayu di sana. Namun rata-rata memang berdiameter kecil. Panjang kayu juga beragam. Yang cukup banyak adalah kayu-kayu dengan diameter di atas 10 cm dan panjang minimum 2 meter. Kayu itulah yang biasa disebut cerucuk.
Kayu cerucuk berguna untuk proyek pembangunan rumah, gedung, atau jalan. Biasanya kayu ini dipakai untuk menguatkan pondasi bangunan. Cerucuk juga dipakai untuk menopang sementara konstruksi bangunan. Jenis-jenis cerucuk dari hutan Kabupaten Pontianak antaralain: Bintangor, Gelam, Medang, dan Ubah.
Ada sekitar 30 pekerja di sana. Rata-rata sekitar 20-30 tahun. Seorang mandor bernama Pandi Effendi atau biasa dipanggil Atat bersedia saya wawancarai. Umurnya 45 tahun. Dia sudah puluhan tahun bekerja jadi mandor. Atat cerita bagaimana kayu-kayu itu diambil dari hutan, mulai proses penebangan hingga pengangkutan ke truk.
”Kami beli kayu cerucuk ini dari masyarakat sekitar hutan. Sehari ada ratusan batang. Satu batang belinya 1000 rupiah. Sudah diambil, diangkut keluar,” kata Atat pelan.
Para pekerja dibagi dalam tiga kelompok. Pertama yang menebang di hutan, kemudian ada yang mengangkut, dan terakhir yang memuatnya ke truk. Sistemnya borongan. Setelah ditebang, kemudian dibersihkan, dan diangkut dengan menggunakan gerobak. Mereka punya tiga gerobak. Menurut Atat, kayu yang diambil adalah milik rakyat. Jarak antara tempat penebangan dengan tempat pengumpul sekitar 3-4 kilometer. Ada jalan-jalan kecil yang menghubungkan tempat itu. Cerucuk yang diambil ada yang panjang 4 meter, 6 meter, 8 meter, dan 12 meter. Atat menjual kayu cerucuk itu pada pengumpul di daerah Kuala Sungai Ambawang.
”Saat ini, memang permintaan cerucuk cukup banyak. Untuk satu proyek bangunan itu butuh ribuan cerucuk. Di sungai ambawang ada beberapa tempat yang mengusahakan kayu cerucuk ini,” katanya. Menurut hitungannya, di desa Bakung saja ada empat tempat tempat usaha sejenis.
Atat mengurus perijinan di kecamatan dan kepala desa. ”Saya pernah coba mengurus ijin kehutanan, namun untuk kerja cerucuk belum ada Perda-nya Pak,” kata Atat menceritakan soal belum adanya regulasi soal penebangan cerucuk ini. Sayangnya setelah menebang, masyarakat di sana tidak menanam kembali yang sudah ditebang.
Setelah merasa cukup mengambil gambar dan memperoleh sumber wawancara, saya dan tim memutuskan kembali ke Pontianak. Matahari semakin terik. Jam menunjukkan waktu 11.30. Tujuan selanjutnya Dinas Kehutanan Provinsi Kalbar.
Di Dishut, kami menemui Kabid Produksi Dishut Bambang Prihanung. Dia membenarkan belum ada regulasi yang mengatur pengambilan kayu cerucuk. ”Cerucuk masih berupa anakan pohon. Jika anakan ini terus ditebang secara berlebihan akan berakibat dalam beberapa tahun ke depan terputusnya regenerasi,” kata Bambang saat ditemui di ruang kerjanya. Padahal sampai saat ini penebangan cerucuk masih tentu saja belum jelas aturannya.
Penebangan kayu cerucuk ada di beberapa tempat, di kawasan hutan dan di luar kawasan. Yang bermasalah, menurut Bambang adalah bila pengeksploitasian kayu itu berada di wilayah hutan.
Memandang pentingnya adanya regulasi terhadap penebangan cerucuk ini, maka Dinas Kehutanan Provinsi Kalbar saat ini sedang melakukan berbagai kajian agar segera mungkin bisa dhasilkan satu rumusan yang jelas sehingga ada peraturan yang bisa diterapkan dengan baik.
No comments:
Post a Comment