Oleh Heriyanto
Reformasi pada dasarnya adalah suatu pengharapan. Dan setiap orang Indonesia punya pengharapannya masing-masing terhadap reformasi. Tahun 1998, saat harga kebutuhan pokok melambung tinggi; saat korupsi merajalela; atau saat negara dalam kondisi goyah dan tatanan kehidupan negara karut-marut, yang tersisa adalah harapan agar persoalan itu membaik. Di bawah Soeharto yang otoriter, kebebasan dan demokrasi adalah hal langka. Saat itu kita juga rindu kebebasan dan demokratisasi. Saat itu kita berharap ada regenerasi kepemimpinan nasional.
Dan benar saja. Ketika Soeharto dengan suara pelan membacakan surat pengunduran dirinya sebagai presiden pada pagi 21 Mei 1998, sorak-sorai mahasiswa membahana di gedung DPR. Sujud syukur, teriakan haru, dan tangisan mahasiswa pecah saat itu. Soeharto tumbang dan digantikan Bj Habibie! Ada ribuan harapan saat itu. Tak sia-sia pengorbanan nyawa demonstran, begitu pikir mahasiswa. Sejak itu kata reformasi menjadi tuah; dia disebut di mana-mana.
Kaum muda menuntut perbaikan atas apa yang sudah dikerjakan kaum tua. Di mana-mana kaum muda memang jadi pendobrak, karena kaum tua terlalu lamban untuk itu. Mendobrak berarti mendorong dengan kuat. Namun mahasiswa tidak selamanya turun ke jalan. Mereka harus belajar. Mereka harus kembali ke kampus. Dan pemerintahan tetap diisi generasi tua.
Namun mahasiswa lupa, yang berganti hanya presidennya, sementara sistem yang korup selama 32 tahun sudah terlanjur mengakar kuat. Apa yang terjadi dan apa yang dilakukan tak jauh bedanya pada masa orde baru. Walhasil, kita seperti yang diibaratkan Komaruddin Hidayat: memanjat pohon yang salah. Ibarat memanjat pohon yang tinggi, bangsa Indonesia telah mengeluarkan ongkos yang teramat mahal, baik tenaga, kekayaan alam, utang luar negeri, maupun modal sosial untuk sampai ke puncak. Tetapi sungguh ironis, sesampai di puncak pohon ternyata buah yang didambakan tidak ada.
Kini sudah sembilan tahun reformasi. Bagai bayi yang merangkak, reformasi berjalan dengan pelan. Sembilan tahun adalah masa-masa pembuktian. Sudahkah reformasi terwujud? Tapi kita tidak bisa buru-buru bilang reformasi gagal atau sebaliknya berhasil. Reformasi bukanlah hanya kata-kata yang diteriakkan demonstran. Reformasi juga tidak bermakna hanya sekadar tumbangnya pemerintahan otoriter. Ia bukanlah makna final, namun reformasi adalah sebuah proses. Dan proses itu terus berjalan hingga sekarang. Karena sesuai katanya, reform, maka dia akan senantiasa berubah. Ada proses berarti ada kerja. Dan di dalam kerja itu banyak orang yang terlibat. Karena reformasi adalah sebuah proses, maka dia bukan tujuan. Kesejahteraan rakyat adalah tujuannya. Reformasi apanya bila rakyat masih menderita?
Makanya kita tak bisa melihat hitam-putih apakah reformasi berhasil ataukah gagal. Tapi kita bisa menjawabnya atas dasar pengharapan yang kita miliki atas reformasi. Namun pengharapan sering tak mewujud menjadi sebuah capaian. Banyak orang yang berharap dalam gelap dan saat terang tak ia dapati seperti harapannya. Ada harapan, ada kenyataan, namun tak selamanya yang kita harapkan sesuai kenyataan. Itulah bila das sollen jauh dari das sein-nya.
Bang Mashuri, si PKL mungkin bisa bilang reformasi gagal, karena pengharapannya terhadap reformasi tak terwujud. Dia yang pernah hidup di jaman orde baru mungkin membandingkan kehidupannya saat dulu dengan sekarang. Ternyata saat ini harga kebutuhan pokok lebih mahal, pun demikian ia sulit cari kerjaan, dan dikejar-kejar polisi pamong praja. Reformasi memberinya kenyataan: hidup tambah susah. Padahal pengharapannya sederhana dia ingin tenang cari nafkah.
Bagi Nurdin si mahasiswa reformasi nyata-nyata telah gagal. Dia melihat dengan hatinya bahwa rasa keadilan telah diperdagangkan, koruptor masih enak-enak hidup nyaman dalam villa mewah, hukum jadi bahan mainan, dan rakyat semakin banyak miskin. Di situ dia melihat tak ada reformasi. Yang ada cuma pergantian pimpinan nasional, sementara orang-orang dalam struktur pemerintahan masih tetap orang-orang lama, yang ketika jaman Soeharto ikut menjadi bedinde menikmati lezatnya kekuasaan. Reformasi menyisakan orang-orang yang hipokrit.
Dia juga melihat partai yang dulu turut andil dalam mengacaukan negara ini ternyata menang pemilu dan berubah bentuk jadi partai dengan muka baru. Reformasi mengecewakannya. Dan betul. Orang akan kecewa bila harapannya pupus begitu saja. Dan dia pun kembali membawa megaphone dan membakar ban di jalan. Dia berteriak. Dia sambangi gedung DPR untuk minta pertanggungjawaban atas amanah yang diberikan rakyat. Namun orang-orang di gedung itu mungkin menutupi telinga. Mereka tak sadar mewakili siapa.
Namun di sini kontrakdisi itu ada. Bagi si korup barangkali reformasi berhasil. Reformasi telah berhasil membuat ia leluasa untuk korupsi. Dengan begitu reformasi malah begitu mudah diobral dan jadi bahan omongan. Para pejabat korup paling pandai untuk mengaku dan bicara atas nama reformasi. Seolah-olah mereka adalah para penyokong reformasi. Di mulut korup itu reformasi jadi bahan renyah untuk pidato. Mereka kaum hipokrit yang menghancurkan makna reformasi. Mereka senantiasa akan mencari hal yang lebih enak. Orang-orang yang korup dengan lantang bicara soal reformasi sambil dengan enak menginjak-nginjak reformasi itu sendiri.
Setiap pergantian presiden selalu saja ada harapan baru. Pasca mundurnya Soeharto sudah ada empat presiden: Bj Habibie, Gusdur, Megawati dan SBY. Meskipun demikian selalu saja ada yang dikecewakan. Mereka semua kaum tua yang lamban, generasi tua yang gagap. Mereka lebih suka kompromistis. Mereka tak berani menangkap para koruptor. Mereka juga tak berani mengadili Soeharto dan kroni-kroninya. Mereka memang perlu disentil-sentil supaya ingat!
Terkadang kita tak tahu sampai batas mana harus berhenti. Sampai batas mana harus berbuat. Sampai batas mana yang benar dan yang salah. Sampai akhirnya ada kenyataan yang membuat kita bergumam, ”kok sampai begitu?” Begitu pula di negeri ini. Kita melangkah dan kemudian tak tahu sampai batas mana bahwa yang kita lakukan itu mencapai keberhasilan. Sampai akhirnya kita sadar bahwa kita berada dalam sebuah lingkaran yang berputar-putar. Dan harapan-harapan itu selalu dikecewakan.
Reformasi menjadi kontradiksi ketika tak ada yang berubah kecuali korupsi yang semakin merajela, rakyat yang semakin miskin, atau negara yang semakin tergadai. Masihkah ada harapan ke depan?
No comments:
Post a Comment