Oleh Heriyanto
SORE itu, masih di bulan Nopember, salah satu televisi swasta menayangkan rekaman video yang cukup mencengangkan berisi pernyataan pelaku Bom Bali II. Isinya antara lain alasan mengapa mereka melakukan aksi pengeboman, pesan kepada keluarga yang ditinggalkan, dan keyakinan perjuangan mereka itu sebagai aksi jihad yang akan membuahkan surga. Di akhir tayangan itu, seorang pria bertopeng berlogat Melayu (yang diyakini polisi) sebagai gembong teroris Noordin Mohamad Top mengatakan bahwa musuh mereka adalah Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan Italia. Mereka juga mengancam akan terus melawan para penolong George W. Bush (Presiden AS) dan Tony Blair (Perdana Mentri Inggris).
Aksi bom bunuh diri atas nama jihad, jelas tidak bisa dibenarkan. Bukankah ajaran Islam melarang seseorang melakukan bunuh diri? Apalagi jika mengakibatkan orang lain yang tidak tahu menahu juga jadi korbannya. Ratusan jiwa terbunuh, kehilangan anggota tubuh, dan akibat secara psikologis seperti trauma juga menyertai para korban. Lebih lagi, korbannya tidak hanya berasal dari empat negara yang mereka musuhi itu, tetapi dari warga negara Indonesia juga ada. Akibat lainnya, stabilitas keamanan dan ekonomi menjadi turut terganggu. Sepintas, aksi bom bunuh diri itu memang tidak logis. Jika ingin menyerang Amerika, mengapa sasarannya kafe, tempat wisata, dan tempat-tempat lain yang jauh hubungannya dengan Amerika.
Namun terlepas dari berbagai argumen salah atau benar, logis atau tidak, ada satu isyarat yang ingin para pengebom itu sampaikan yaitu kebencian yang begitu besar terhadap Amerika Serikat dan negara-negara pendukungnya. Setidaknya hal ini tampak dari pernyataan mereka yang akan memusuhi para penolong Bush dan Blair. Bush adalah representasi dari Amerika Serikat, sementara Blair adalah representasi Inggris, negara yang selama ini begitu mendukung kebijakan-kebijakan AS. Sementara Australia dan Italia juga merupakan negara yang selama ini mendukung kebijakan-kebijakan AS.
Lantas yang jadi pertanyaan kemudian, mengapa mereka begitu membenci Amerika serikat dan negara yang mendukungnya itu? Berbagai asumsi serta argumen bisa disampaikan untuk menjawabnya. Tulisan ini adalah asumsi penulis.
Kita tentu ingat tragedi 11 September 2001 (11/9). Negara sekuat Amerika bobol pertahanannya oleh sebuah aksi bunuh diri. Lambang kemakmuran dan kejayaan ekonomi, serta keperkasaan Amerika, gedung World Trade Center (WTC) dan Pentagon luluh lantak oleh serangan kelompok radikal -hingga kini belum ada yang mengaku bertanggung jawab atas aksi itu-. Amerika mendefinisikan serangan itu sebagai aksi terorisme. Pasca tragedi itu, ketakutan terhadap terorisme telah membuat AS menjadi sangat sensitif. Kekhawatiran AS atas bangkitnya gerakan-gerakan radikal Islam menjelma menjadi semacam fobia terhadap negara-negara Islam. Kecurigaan-kecurigaan tanpa dasar pun berseliweran. Negara-negara yang bersebarangan dengan Amerika akan dianggap negara teroris. Iran dan Iraq, misalnya, digolongkan menjadi anggota negara "poros setan". Atas nama memerangi terorisme, AS bisa saja menyerang negara lain. Misalnya saja penyerangan AS ke Afganistan dengan alasan mencari Usamah Bin Laden. Pemimpin Al Qaeda itu tidak tertangkap, namun Afganistan terlanjur menjadi daerah berdarah. Begitu banyak korban jiwa, harta benda hancur, dan korban secara psikologis tak terhitung. Padahal mereka tidak tahu menahu tentang tragedi 11/9.
Setelah menyerang Afghanistan, AS menyerang Iraq dengan alasan adanya laporan inteligen Amerika bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal. Tapi diketahui kemudian bahwa laporan itu salah, Irak tidak terbukti memiliki senjata pemusnah massal. Korban berjatuhan, sementara AS dengan enaknya mengalihkan isu senjata pemusnah massal ke kediktatoran Saddam Husein sebagai pembenaran untuk tetap melanjutkan serangannya.
Selama ini, diakui atau tidak, kebijakan Amerika terhadap Timur Tengah tentu juga dipengaruhi kepentingan nasional jangka pendek, khususnya penguasaan sumber minyak. Bisa dibayangkan negara sebesar AS tanpa memiliki sumber cadangan energi. Padahal negara itu bukanlah penghasil minyak. Satu-satunya cara adalah menguasai sumber-sumber minyak dari negara penghasil minyak, baik secara halus maupun kasar.
Sementara itu dominansi ekonomi AS yang begitu besar terhadap negara-negara lain, termasuk Indonesia, sehingga negara lain seperti tak berkutik di depan Amerika. Lingkaran utang serta ketergantungan negara lain sulit untuk diputus. IMF, Bank Dunia, serta lembaga-lembaga internasional bentukan Amerika telah memasung banyak negara dalam kubangan utang sehingga menjadi negara yang terjajah secara ekonomi.
Hal inilah yang membuat sentimen anti Amerika justru semakin membesar. Kebencian terhadap Amerika tidak hanya dalam aksi bom bunuh diri. Aksi demo juga gencar di beberapa negara. Beberapa waktu yang lalu di Argentina, misalnya, ribuan orang melakukan demo anti Amerika pada saat Bush ke negara tersebut. Demikian pula saat KTT APEC berlangsung di Busan Korea November ini, ribuan orang turun ke jalan meneriakan yel-yel anti Amerika. Bagi kelompok-kelompok radikal mereka melawan AS dengan cara mereka sendiri. Mereka tahu, melawan ekonomi tentu tidak mampu, sementara melawan secara langsung akan berhadapan dengan kekuatan militer AS yang begitu kuat.
Bom bunuh diri bisa jadi adalah bentuk keputusasaan dari berbagai cara yang sudah sangat sulit untuk dilakukan. Dan itu dinilai menjadi cara yang cukup efektif dalam menyampaikan pesan, protes, dan perjuangan mereka. Saya kira, Amerika perlu melakukan instrospeksi atas segala kebijakan yang telah dibuat. Tidak perlu merasa menjadi "hero" yang mendefinisikan diri sebagai polisi dunia. Dan bagi para pengebom, aksi-aksi itu justru tidak akan mendapat dukungan dari masyarakat dunia dan membuat citra Islam menjadi kurang baik. Salah sasaran, ingin melawan Amerika tapi justru menyengsarakan penjaga kafe, wisatawan, atau orang-orang tak bersalah lainnya. **
tulisan ini pernah dimuat di harian Pontianak Post, 26 November 2005
No comments:
Post a Comment