Friday, May 18, 2007

Orang-orang yang Melawan Arus


Oleh Heriyanto

Copernicus dihukum dan buku-bukunya dibakar oleh kekuasaan Gereja Katolik ketika dia membantah teori geosentris yang selama beratus-ratus tahun diyakini orang-orang pada zamannya. Copernicus kukuh dengan teori heliosentris bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi, namun sebaliknya bumilah yang mengelilingi matahari. 

Kita bicara soal personalitas para pejuang --yang kecil, yang sedikit, yang sendiri-- namun harus melawan sebuah kekuasaan yang besar. Mereka yang pada akhirnya dibungkam. Bahkan Mati. Orang-orang yang melawan arus besar, memang harus bersiap-siap untuk itu. Karena status quo sangat resisten terhadap perubahan dan tidak siap dengan sesuatu yang baru. Di mana pun hampir sama.

Kisah seperti itu ada di banyak tempat. Film Dead Poet Society yang diperankan Robin Williams menggambarkan situasi seperti ini secara jelas. Film yang menarik. Saya menontonnya tiga kali. Di sebuah sekolah asrama, seorang guru yang gerah melihat kondisi di sekolah itu coba membuat terobosan baru. 

Si guru mengganti kebiasaan pelajaran berpuisi misalnya, yang lebih sering hanya belajar teori tentang puisi, dengan meminta para siswanya membuat puisi dan membacakannya di depan kelas. Dia juga membiasakan anak-anak belajar secara bebas di kelas sesuai gaya belajar mereka. Si guru membawa perubahan pada sekolah. Tetapi semua itu bertentangan dengan kebiasaan di sekolah itu. Lingkungan yang konservatif (pimpinan sekolah, dan sistem lama) masih belum bisa menerima apa yang dibawa Si Guru. Dia pun dipecat.

Barangkali benar, orang yang menentang arus akan bernasib seperti Copernicus dan Si Guru. Inu Kencana seorang dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri juga harus terjungkal karena menentang arus. Dia yang berani bicara soal kekerasan di kampus pencetak calon birokrat itu justru dinonaktifkan. Orang-orang lama merasa terusik. Dia menjadi ancaman bagi orang-orang status quo di kampusnya. Dia sering diancam, juga dimusuhi orang-orang kampus; agar dia bungkam dan tidak mengotak-atik almamaternya. Namun jiwa gurunya memanggilnya agar tetap berpihak pada kebenaran. Inu tentu tak punya senjata, ia hanya punya keberanian dan keyakinan bahwa yang dilakukannya benar. Apa yang terjadi pada Inu sangat mirip seperti cerita dalam film Dead Poet Society. Dia adalah si guru.

Di sebuah pulau nun jauh yang terisolir, Pramoedya Ananta Toer juga pernah merasakan bagaimana menjadi orang yang melawan arus. Puluhan tahun ia dibuang di Pulau Nusakambangan dan di Pulau Buru, tanpa ada proses pengadilan. Kekuasaan terlalu takut pada penanya, pada pikiran-pikirannya. Namun semangat tetap membara. Ia terus menulis. Menulis sesuatu yang ia pahami betul satu-satunya jalan yang paling memungkinkan sebagai laku perjuangannya. Walau tentu saja ia juga yakin kekuasaan masih belum bisa menerima karya-karyanya.

Dalam Sekali Peristiwa di Banten Selatan ia menulis, "Di mana-mana aku selalu dengar: yang benar juga akhirnya yang menang. Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar." Sampai akhirnya dia menutup mata, kebenaran itu masih belum selesai diperjuangkan.

Sama halnya dengan Munir, seorang tokoh hak asasi manusia yang gigih menyuarakan apa yang menurutnya benar. Soal hak-hak rakyat kecil, soal tangisan keluarga korban yang hilang diculik, atau sekadar membela para buruh yang hak-haknya dilanggar. Namun akhirnya dia mesti mati muda. Orang-orang yang merasa terusik sepak terjangnya memberinya arsenik saat akan pergi belajar di negeri orang. Dia menutup mata, sebelum perjuangannya selesai. Sampai kini kekuasaan besar itu masih melindungi orang-orang yang bersalah. Namun mati satu tumbuh seribu. Akan ada orang-orang yang akan meneruskan perjuangannya.

Ada sistem yang coba dilawan, ada orang-orang yang bergerak, dan ada rasa sakit yang sering mendera. Tapi mereka: Copernicus, Galileo, Inu Kencana, Pram dan Munir tentu sadar akan resiko yang mereka hadapi. Seperti kata Pram, tubuh boleh disekap, ditendang, diinjak-injak, tetapi semangat hidup tak boleh redup. Kita berterimakasih pada mereka dan orang-orang lain yang juga serupa mereka. Tapi orang seperti mereka muncul sekali-kali saja. Mereka biasanya orang yang sendirian. 

Bagaimana seandainya tidak muncul orang-orang seperti mereka? Di Indonesia, sistem dan orang yang 'rusak' merajalela di mana-mana: di instansi-instansi pemerintah, penegak hukum, atau lembaga pendidikan. Tahu ada yang tidak beres, namun orang-orang di sana diam, karena mereka menikmati kenyamanan. Mereka bagian dari kebobrokan itu.

Kita masih menunggu, siapa berikutnya yang bisa kita jadikan panutan untuk sama-sama memperjuangkan sesuatu yang benar; mendobrak segala sengkarut itu; dan berani menentang arus. Masa-masa transisi harus segera diselesaikan, karena kita tidak mungkin terus hidup pada masa lalu. Jika mereka telah menyerahkan waktu, harta, bahkan nyawa untuk satu perubahan, apakah kita akan menyia-nyiakannya? Saya teringat ucapan Wiji Thukul, seorang aktivis yang sampai saat ini tak tahu di mana keberadaannya: Diam tertindas atau bangkit melawan, karena mundur adalah pengkhianatan. Haruskah kita terus diam?

1 comment:

Voice Of Borneo said...

Tulisan ini benar di alam nyata terjadinya, tertindas, tipu daya, pnghiatan, pngucilan adalah mainan bagi mereka...,Nabi Muhammad menumbangkan rezim yang berakar dalam selama 30 tahun, belum lagi periode 4 sahabat, maka umur kita tidak cukup, maka wariskanlah perjuangan itu agar abadi..Jihad atau perlawanan.