Monday, May 21, 2007

Benang Kusut Itu Bernama Pendidikan

Oleh Heriyanto


Persoalan pendidikan di Indonesia seperti sebuah benang kusut yang sulit ditemukan ujung pangkalnya, juga tak mudah ditemukan ujung akhirnya. Bahkan semakin hari semakin kusut saja kelihatannya. Rumit. Masalah kurikulum contohnya. Kenyataannya setiap kali ganti menteri, kurikulum dengan mudahnya diganti, diujicobakan kurikulum baru, untuk kemudian dicabut lagi. Kita pernah kenal Kurikulum 1994, kemudian pada 2004 diganti Kurikulum Berbasis Kompetensi. Belum sempat KBK diterapkan dengan baik di sekolah, sudah muncul usulan kurikulum yang baru: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada 2006 lalu. Jika kurikulum terakhir ini benar-benar diterapkan setidaknya ada tiga kurikulum yang dipakai sekolah-sekolah saat ini. Pada siswa kelas 2 dan 3 diterapkan KBK sementara kelas 1 diujicobakan KTSP. Ini bagi sekolah yang sudah siap. Namun masih banyak sekolah yang masih memakai kurikulum 1994, terutama sekolah-sekolah di daerah tertinggal. Sementara sekolah-sekolah unggulan di kota-kota besar sudah begitu maju dan sudah siap menerapkan KBK dan KTSP, namun di sisi lain masih banyak pula sekolah yang tenaga pengajarnya kurang, gedungnya hampir roboh, atau dana operasional yang megap-megap. Masih banyak bukan sekolah yang ruang kelasnya dipakai sekaligus untuk beberapa kelas dengan satu tenaga pengajar saja? Setiap perubahan kurikulum selalu memunculkan berbagai istilah baru. Guru-guru yang ada di daerah bingung. Bapak Ibu guru yang ada di pelosok-pelosok daerah (mungkin) banyak yang belum paham bagaimana sistem belajar KBK, bakal tambah bingung dengan kurikulum baru ini. Baru saja mereka mengikuti pelatihan, kok tiba-tiba saja sudah tidak diterapkan lagi. Alih-alih untuk memperbaiki apa yang selama ini dianggap perlu diperbaiki, kebijakan-kebijakan yang selalu berubah itu justru membuat orientasi pembelajaran menjadi tidak jelas. Cilakanya setelah diterapkan baru terlihat ketimpangan-ketimpangan di sana-sini. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pun masih sangat riskan untuk dicabut kembali, karena pemerintah Pusat (Diknas dan Badan Standar Nasional Pendidikan) belum menemukan formula yang tepat untuk daerah-daerah miskin. Kita tahu bahwa kemampuan satu daerah dengan daerah lain sangat beragam. Kasihan para siswa yang hanya menjadi bahan mainan dan coba-coba saja. Padahal dengan menjadikan murid bahan uji coba kurikulum berarti telah mengabaikan hak-hak mereka atas jaminan pendidikan yang memadai. Pemerintah tak usah berdalih, tak usah berkelit, dan tak usah membela diri, bila kita bilang visi mencerdaskan anak bangsa sudah hilang. Generasi yang dididik saat ini adalah generasi yang 10 atau 20 tahun ke depan akan mengelola negara ini. Bagaimana bila mereka hanya menjadi bahan uji coba? Ujian Nasional Benang kusut tak hanya soal urusan kurikulum tetapi juga soal Ujian Nasional. Katanya desentralisasi, katanya sudah otonomi, tapi untuk Ujian Nasional saja mesti diatur-atur orang-orang Jakarta. Desentralisasi bukan sembarang desentralisasi, otonomi juga tidak seenaknya otonomi, itu barangkali yang ada di pikiran orang-orang pusat. Kebijakan pendidikan masih sangat sentralistik. Daerah belum benar-benar dipercaya untuk mengelola pendidikan secara otonom. Masak sih menyamaratakan siswa-siswa Jakarta dengan Kalimantan, menyamakan semarang dengan Papua. Lihat saja, bagaimana ujian nasional dilaksanakan. Ketika KBK muncul kita berharap banyak kurikulum ini mampu menjadi solusi atas berbagai persoalan pendidikan. Tetapi akhirnya pupus juga harapan itu. Proses belajar mengajar masih sama saja. Masih saja siswa dikejar-kejar, dipaksa-paksa belajar dengan materi pelajaran yang begitu padat. Kurikulum di Indonesia dinilai terlalu berat dengan jumlah jam belajar yang begitu padat. Segi kuantitas begitu diperhatikan ketimbang kualitasnya. Dari pagi hingga sore, belum lagi ditambah les bimbingan belajar. Ini terjadi selama bertahun-tahun. Katanya siswa diharapkan punya kompetensi. Namun, kompetensi macam apa yang diharapkan jika kelulusan masih ditentukan oleh Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia? Bagaimana mengukur kompetensi siswa Jurusan Tata Boga dengan ujian tertulis? Bagaimana kemampuan anak merancang baju, jika yang diujikan soal lain? Ibarat mengukur berat gula dengan meteran. Siswa masih dijejali dengan jam belajar yang begitu padat. Sementara kelulusan cuma ditentukan beberapa pelajaran saja. Banyak siswa justru mengalami tekanan dan stress. Tak sedikit pula yang sampai bunuh diri. Saya tertarik pada pemikiran Theodore R Sizer dalam buku dalam buku 50 Pemikir Paling Berpengaruh terhadap Pendidikan. Menurut tokoh ini tujuan akademik sekolah harus sederhana, yakni tiap murid menguasai keterampilan dan pengetahuan yang penting dalam jumlah sedikit. Sekolah seharusnya membantu anak-anak mengembangkan kebiasaan menggunakan pikiran mereka dengan baik. Motto "sedikit berarti banyak" menjadi salah satu diktum terkenal Sizer. Sizer memang lebih mengutamakan kualitas belajar dibandingkan kuantitas mengajar. Bukan banyaknya pelajaran, tetapi seberapa kualitas penguasaan suatu pelajaran bagi seorang anak. Seberapa kebutuhan akan suatu pelajaran bagi anak. Pertanyaannya, apakah yang disampaikan Sizer ini sudah termuat dalam kurikulum saat ini? Sudahkah ditumbuhkembangkan kemampuan (kompetensi) imajinatif dan intelektual yang memberikan akses kepada anak didik untuk pengetahuan lebih banyak; agar anak menjadi pelajar aktif; lebih menunjukkan motivasi dan keingintahuan; memahami sesuatu secara mendalam (tidak secara dangkal); serta berkembang menjadi manusia skeptis dan cermat? Saya pikir belum. Saya curiga, jangan-jangan mereka yang para pemegang otoritas pendidikan di Indonesia memang tak punya visi mencerdaskan anak bangsa, namun hanya mencari peluang mendapatkan keuntungan. Proyek sana sini. Tapi buru-buru kecurigaan itu saya buang. Mudah-mudahan tidak benar. Hati ini berharap masih ada orang-orang yang mampu menguraikan benang kusut pendidikan itu. Semoga!

Jumat, 6 April 2007

No comments: