Monday, May 21, 2007

Supaya Pintar Harus Bisa Berenang

Oleh Heriyanto

Lima anak berpakaian seragam putih merah itu berlari menyusuri jalan setapak hingga akhirnya tiba di sebuah sungai. Baju seragam mereka masukkan ke dalam tas. Dan kemudian...byur! Mereka terjun ke sungai. Mereka berenang sambil mengamankan tas supaya tidak basah. Sampai di seberang sungai mereka mengenakan kembali seragam dan kemudian bergegas kembali menuju sekolah.
Di sela-sela gelak tawa itu, terdengar narasi: ”Kata ayah, supaya jadi orang pintar harus bisa berenang. Soalnya kalo nggak bisa berenang aku nggak bisa sampai ke sekolah. Walau bagaimana pun aku harus sampai ke sekolah. Bu guru bilang, sekolah adalah jembatan masa depan yang akan mengantar aku menggapai cita-cita. Walaupun sungai ini dalam dan sekolahku jauh aku dan teman-teman akan tetap sekolah dan belajar. Seandainya ke sekolah ada jembatan juga, aku bisa sampai masa depan lebih cepat.”
Cerita di atas adalah penggalan sebuah iklan menyambut Hari Pendidikan Nasional. Beberapa hari ini kerap muncul di televisi. Iklan ini unik, menarik, sekaligus menampilkan sisi humanis. Namun di situ ada ironi: iklan yang sarat pesan-pesan pendidikan ini justru dibuat perusahaan rokok. Namun terlepas dari perusahaan apa yang bikin dan untuk tujuan apa, iklan itu berhasil menampilkan realitas yang menyentuh. Dan itu realitas itu begitu dekat, di sekitar kehidupan kita.
Bagi saya iklan itu bukan sekadar iklan biasa supaya rokoknya laku, namun menampilkan sebuah gambaran-- lebih tepatnya kenyataan-- yang isinya membuat trenyuh. Trenyuh karena kenyataannya sampai hari ini saat Hari Pendidikan Nasional diperingati, masih banyak anak usia sekolah yang harus berusaha sekuat tenaga supaya bisa bersekolah.
Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa. Dia berharap anak-anak Indonesia menjadi cerdas. Jaman itu masih jaman kolonial. Orang masih sulit untuk sekolah. Orang-orang dari kalangan priyayi yang bisa sekolah. Fasilitas belajar seadanya. Namun sejak itu usaha-usaha memajukan bangsa lewat jalur pendidikan mulai menemukan tempatnya. Kesadaran akan pentingnya pendidikan mulai tumbuh. Hari lahir ki hajar diperingati sebagai hari pendidikan nasional.
Kini sudah hampir seabad lewat. Namun masih banyak anak-anak sekolah yang harus berjalan puluhan kilometer untuk sampai ke sekolah. Seringkali mereka harus melewati jalan rusak, melewati sungai tanpa jembatan, atau menembus hutan-hutan. Mereka berangkat pagi, dan sampai di sekolah peluh bercucuran. Di sekolah mereka belajar dalam bangunan reot dan hampir rubuh. Saat hujan atap bocor. Buku bacaan seadanya. Kalangan miskin masih belum menikmati pendidikan layak.
Hari Pendidikan Nasional, setiap tahun kita peringati. Tapi untuk siapa? Untuk apa? Barangkali ini menjadi sebuah rutinitas saja, sekadar ada, namun kehilangan maknanya. Sudahkah pendidikan kita lebih baik? Pernahkah kita menghitung sudah berapa kali kita peringati hari pendidikan nasional ini, dan lantas kita bandingkan kondisi di sekeliling kita, apa yang sudah berubah? Apakah kita sudah mendapatkan manusia Indonesia seutuhnya seperti yang kita dengar? Adakah Manusia Indonesia seutuhnya itu? Ataukah yang ada adalah manusia Indonesia parsial yang setengah-setengah?
Terkadang kita tak tahu sampai batas mana harus berhenti. Sampai batas mana harus berbuat. Sampai batas mana yang benar dan yang salah. Sampai akhirnya ada kenyataan yang membuat kita bergumam, ”Kok sampai begitu?” Begitu pula pendidikan. Kita melangkah dan kemudian tak tahu sampai batas mana bahwa yang kita lakukan itu mencapai keberhasilan. Sampai akhirnya kita sadar bahwa kita berada dalam sebuah lingkaran yang berputar-putar. Sebuah pengulangan yang klise. Bukankah kita butuh sebuah penggalan kisah-kisah yang tidak selalu berisi cerita-cerita muram, suatu saat nanti.
Cerita soal iklan yang jadi pembuka di awal paragraf juga memberikan optimisme. Itu sisi lainnya. Kita bisa melihat bagaimana anak-anak sekolah itu tetap bersemangat pergi ke sekolah meski harus berenang untuk sampai ke sekolah. Gelak tawa menyertai mereka. Anak-anak itu melaluinya dengan kegembiraan, karena mereka punya harapan: masa depan yang cerah. Bukan keluhan tapi impian dan harapan. Keinginan mencapai cita-cita adalah segala-galanya. Begitulah kalimat di akhir iklan.
Setiap tanggal 2 Mei kita memperingati hari pendidikan nasional. Guru dan rakyat Indonesia berharap akan ada perubahan yang lebih baik dalam hal pendidikan. Semua kita berharap agar tidak ada lagi kebodohan dan pembodohan di mana-mana. Kita berharap anak-anak Indonesia menjadi anak-anak yang cerdas dan punya kemampuan (skill yang tinggi). Kita berharap Indonesia memiliki SDM yang berkualitas.
Semua itu kita harapkan supaya mereka, anak-anak bangsa itu, bisa memperbaiki kondisi bangsa saat ini, di mana krisis berkepanjangan, korupsi di mana-mana dan segala carut marut itu terjadi. Kita berharap mereka anak-anak negeri akan tumbuh menjadi anak-anak berkualitas dan nantinya akan menggantikan generasi tua. Adalah lebih baik bila mereka bisa belajar dengan nyaman, senang, tenang.

No comments: