Tuesday, May 22, 2007

Dampak Negatif Televisi bagi Pendidikan Anak

Oleh Heriyanto

Ada hal yang sangat menggelisahkan saat menyaksikan tayangan-tayangan televisi belakangan ini. Kecuali Metro TV, hampir semua stasiun-stasiun televisi, banyak menayangkan program acara (terutama sinetron) yang cenderung mengarah pada tayangan berbau kekerasan (sadisme), pornografi, mistik, dan kemewahan (hedonisme). Tayangan-tayangan tersebut terus berlomba demi rating tanpa memperhatikan dampak bagi pemirsanya. Kegelisahan itu semakin bertambah karena tayangan-tayangan tersebut dengan mudah bisa dikonsumsi oleh anak-anak.

Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, misalnya, mencatat, rata-rata anak usia Sekolah Dasar menonton televisi antara 30 hingga 35 jam setiap minggu. Artinya pada hari-hari biasa mereka menonton tayangan televisi lebih dari 4 hingga 5 jam sehari. Sementara di hari Minggu bisa 7 sampai 8 jam. Jika rata-rata 4 jam sehari, berarti setahun sekitar 1.400 jam, atau 18.000 jam sampai seorang anak lulus SLTA. Padahal waktu yang dilewatkan anak-anak mulai dari TK sampai SLTA hanya 13.000 jam. Ini berarti anak-anak meluangkan lebih banyak waktu untuk menonton televisi daripada untuk kegiatan apa pun, kecuali tidur (Pikiran Rakyat, 29 April 2004).

Lebih mengkhawatirkan, kebanyakan orang tua tidak sadar akan kebebasan media yang kurang baik atas anak-anak. Anak-anak tidak diawasi dengan baik saat menonton televisi. Dengan kondisi ini sangat dikawatirkan bagaimana dampaknya bagi perkembangan anak-anak. Kita memang tidak bisa gegabah menyamaratakan semua program televisi berdampak buruk bagi anak. Ada juga program televisi yang punya sisi baik, misalnya program Acara Pendidikan. Banyak informasi yang bisa diserap dari televisi, yang tidak didapat dari tempat lain. Namun di sisi lain banyak juga tayangan televisi yang bisa berdampak buruk bagi anak. Sudah banyak survei-survei yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana dampak tayangan televisi di kalangan anak-anak. Sebuah survei yang pernah dilakukan harian Los Angeles Times membuktikan, 4 dari 5 orang Amerika menganggap kekerasan di televisi mirip dengan dunia nyata. Oleh sebab itu sangat berbahaya kalau anak-anak sering menonton tayangan TV yang mengandung unsur kekerasan. Kekerasan di TV membuat anak menganggap kekerasan adalah jalan untuk menyelesaikan masalah (Era Muslim, 27/07/2004).

Sementara itu sebuah penelitian di Texas, Amerika Serikat, yang dilakukan selama lebih dari tiga tahun terhadap 200 anak usia 2-7 tahun menemukan bahwa anak-anak yang banyak menonton program hiburan dan kartun terbukti memperoleh nilai yang lebih rendah dibanding anak yang sedikit saja menghabiskan waktunya untuk menonton tayangan yang sama (KCM, 11/08/2005). Dua survei itu sebenarnya bisa jadi pelajaran.

Namun di Indonesia suguhan tayangan kekerasan dan kriminal seperti Patroli, Buser, TKP dan sebagainya, tetap saja dengan mudah bisa ditonton oleh anak-anak. Demikian pula tayangan yang berbau pornografi dan pornoaksi. Persoalan gaya hidup dan kemewahan juga patut dikritisi. Banyak sinetron yang menampilkan kehidupan yang serba glamour. Tanpa bekerja orang bisa hidup mewah. Anak-anak sekolahan dengan dandanan yang "aneh-aneh" tidak mencerminkan sebagai seorang pelajar justru dipajang sebagai pemikat. Sikap terhadap guru, orangtua, maupun sesama teman juga sangat tidak mendidik.

Dikawatirkan anak-anak sekolahan meniru gaya, sikap, serta apa yang mereka lihat di sinetron-sinetron yang berlimpah kemewahan itu. Peranan Orangtua Memang televisi bisa berdampak kurang baik bagi anak, namun melarang anak sama sekali untuk menonton televisi juga kurang baik. Yang lebih bijaksana adalah mengontrol tayangan televisi bagi anak-anak. Setidaknya memberikan pemahaman kepada anak mana yang bisa mereka tonton dan mana yang tidak boleh. Orang tua perlu mendampingi anak-anaknya saat menonton televisi. Memberikan berbagai pemahaman kepada anak-anak tentang suatu tayangan yang sedang disaksikan. Selain sarana membangun komunikasi dengan anak, hal ini bisa mengurangi dampak negatif televisi bagi anak. Kebiasaan mengonsumsi televisi secara sehat ini mesti dimulai sejak anak di usia dini.

Perlu dipahami bahwa tempat pendidikan paling utama adalah di keluarga, dimana orangtua adalah yang paling bertanggungjawab di dalamnya. Kenapa mesti orangtua? Karena orangtua yang bisa mengawasi anaknya lebih lama. Orangtua paling dekat anaknya. Dalam keluargalah anak bertumbuh kembang. Membiarkan anak menonton televisi secara berlebihan berarti membiarkan tumbuh kembang dan pendidikan anak terganggu. Kewajiban orangtua juga untuk memantau kegiatan belajar anak di rumah. Perkembangan si anak tidak bisa terlalu dibebankan pada sekolah.

Dalam kesehariaannya, guru di sekolah tidak akan bisa mengantikan peran orangtua. Karena itu menjadi suatu keharusan bagi orangtua untuk tetap memperhatikan si anak selama di rumah. J Drost SJ (2000), seorang ahli pendidikan dari IKIP Sanata Dharma pernah menulis dalam buku Reformasi Pengajaran: Salah Asuhan Orantua?: "Penanaman nilai-nilai dalam pembentukan watak merupakan proses informal. Tidak ada pendidikan formal. Jadi seluruh pembentukan moral manusia muda hanya lewat interaksi informal antara dia dan lingkungan hidup manusia muda itu. Maka pendidik utama adalah orangtua."

Dimuat di Pontianak Post, Minggu, 4 Desember 2005

4 comments:

tak sendiri lagi said...

thanks ya mas..buat infonya
from tak sendiri lagi

Jeihan Qistiyah said...

thx ya mas wat infox soalx wat tgs sklh!

Puzzle of me said...

trims infonya...sangat bermanfaat mas...mari budayakan baca=berfikir!

http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fpuzzleofworld.blogspot.com%2F&h=44d4fa53a6db36aed4367002a0487b7d

Puzzle of me said...
This comment has been removed by the author.