hari masih muda saat suara
gadis-gadis berkerudung
menyatu sayup-sayup
terdengar sampai di batas
yang meninggi
menari-nari memutar-mutar
mengikuti gemerisik daun-daun
yang diterpa angin yang lembut
menyajikan satu irama
tentang jiwa
pelan-pelan dingin menerobos
lewat celah-celah daun
yang baru tumbuh
membuat tetesan-tetesan
embun
tawa senyum harapan impian
menyeruak menyatu
bersama satu imaji
tentang gadis-gadis surga
berpakaian putih
dalam taman terbuka
yang menyajikan hidup
bersama gerak
yang indah
mendamba kesucian jiwa
Sebuah Catatan Dalam Ruang Sempit: Karena Kebenaran Tak Bisa Menunggu Untuk Diperjuangkan
Tuesday, October 23, 2007
jerit
angin di malam hari
merangkul dingin di tanah
gelap yang bercampur lumpur
mengalirkan hawa busuk
dari dasar lubang yang dalam
membawa aroma-aroma
ketamakan manusia
yang telah hilang kemaluannya
diracun oleh nikmat
dan tak mengerti bahwa
lubang-lubang yang telah dibuatnya
memusnahkan kehidupan
rumah, ladang, masjid tenggelam
anak-anak, ibu-ibu, kakek-kakek tidur di tenda-tenda
mereka tergeletak
ditemani lalat yang beterbangan
hingga ke atas-atas daun yang menyibak duka nestapa manusia
menyisakan jerit yanag keras
tapi tangan si pendosa tak henti
sampai waktu tiba. pelan-pelan.
dan akhirnya menenggelamkan orang yang malang
merangkul dingin di tanah
gelap yang bercampur lumpur
mengalirkan hawa busuk
dari dasar lubang yang dalam
membawa aroma-aroma
ketamakan manusia
yang telah hilang kemaluannya
diracun oleh nikmat
dan tak mengerti bahwa
lubang-lubang yang telah dibuatnya
memusnahkan kehidupan
rumah, ladang, masjid tenggelam
anak-anak, ibu-ibu, kakek-kakek tidur di tenda-tenda
mereka tergeletak
ditemani lalat yang beterbangan
hingga ke atas-atas daun yang menyibak duka nestapa manusia
menyisakan jerit yanag keras
tapi tangan si pendosa tak henti
sampai waktu tiba. pelan-pelan.
dan akhirnya menenggelamkan orang yang malang
Monday, October 22, 2007
melayang
gadis yang kusayangi telah pergi
bersama awan putih bersih
aku termangu
dalam tiga detik
kuambil pisau dapur
kutusuk ke dalam hati
mengorek seluruh rasa
yang pernah singgah
kenapa kau tak sabar menunggu
hingga waktu saat kubawakan
semangkuk madu dalam hati
bersama awan putih bersih
aku termangu
dalam tiga detik
kuambil pisau dapur
kutusuk ke dalam hati
mengorek seluruh rasa
yang pernah singgah
kenapa kau tak sabar menunggu
hingga waktu saat kubawakan
semangkuk madu dalam hati
rindu yang sepi
kekasih,
masih bisakah ku genggam jemari manismu
ku cium manis keningmu dan ku belai lembut rambut hitammu
ah sudah!
bukankah kita sama-sama rindu?
ah bukan kamu. tapi aku
karena rindu hanya milikku. dan kau bahkan tak pernah tahu
ada rasa yang datang
menyayat dengan dalam
ah bodohlah aku yang menyangka ada rindu
di hatimu
dulu kulihat senyum itu membawa isyarat
yang ternyata hanya sepi
hilang bersama harapan
masih bisakah ku genggam jemari manismu
ku cium manis keningmu dan ku belai lembut rambut hitammu
ah sudah!
bukankah kita sama-sama rindu?
ah bukan kamu. tapi aku
karena rindu hanya milikku. dan kau bahkan tak pernah tahu
ada rasa yang datang
menyayat dengan dalam
ah bodohlah aku yang menyangka ada rindu
di hatimu
dulu kulihat senyum itu membawa isyarat
yang ternyata hanya sepi
hilang bersama harapan
ingatan
kepada gadis hujan yang dulu
pernah singgah di kedai di dada sebelah kiri
tolong jangan buang ingatan
tentang malam hujan
ketika aku datang saat lampu-lampu padam
aku datang membawa harapan
bertemu dengan dia yang kemarin dulu
memberi senyuman yang indah
ditemani tahilalat di pipi
tapi kau sudah tidur pulas
karena hujan telah mengirimkan seribu dingin
dan menidurkan di gadis hujan]
aku pulang
membawa rindu yang begitu kuat menendang
dalam diam
pernah singgah di kedai di dada sebelah kiri
tolong jangan buang ingatan
tentang malam hujan
ketika aku datang saat lampu-lampu padam
aku datang membawa harapan
bertemu dengan dia yang kemarin dulu
memberi senyuman yang indah
ditemani tahilalat di pipi
tapi kau sudah tidur pulas
karena hujan telah mengirimkan seribu dingin
dan menidurkan di gadis hujan]
aku pulang
membawa rindu yang begitu kuat menendang
dalam diam
cari penawar
rasanya seberat ditimpa beban
pilunya menggerogot saat sepi
sayatannya membekas dalam
perihnya menghentak-hentak
penuh, sesak, dan ingin pecah
lengkuhan nafas panjang
dari setiap tarikan nafas yang menusuk
cari obat! lekaslah!
cari penawar! cepatlah!
semua sudah diubun-ubun
dan menampar-nampar tanpa henti
tolong! cari dia
di batu, di besi, di tanah bakar
dia telah mengirimkan
segenggam bara
dalam hati
bilang padanya,
bawakan aku air yang putih dari lemari hatinya
yang diberikan dengan senyum
karena hanya itu yang bisa menyembuhkan
pilunya menggerogot saat sepi
sayatannya membekas dalam
perihnya menghentak-hentak
penuh, sesak, dan ingin pecah
lengkuhan nafas panjang
dari setiap tarikan nafas yang menusuk
cari obat! lekaslah!
cari penawar! cepatlah!
semua sudah diubun-ubun
dan menampar-nampar tanpa henti
tolong! cari dia
di batu, di besi, di tanah bakar
dia telah mengirimkan
segenggam bara
dalam hati
bilang padanya,
bawakan aku air yang putih dari lemari hatinya
yang diberikan dengan senyum
karena hanya itu yang bisa menyembuhkan
menanti hujan
ku ingin bersamamu menanti hujan turun
yang datang setiap sore di bulan yang basah
ketika tetes hujan menggertak daun-daun pilodendron
yang tersenyum
kau tahu kekasih
sudah lama kunanti hujan
agar aku bisa terus bersamamu
terbang bersama khayal
dan harapan yang datang
bersama tetes air hujan
yang hinggap di ujung-ujung pilodendron
membawa hijau
membawa hidup
membawa mimpi
dan ingin kudendangkan nyanyian pemanggil hujan
karena malam sudah hampir tiba
yang datang setiap sore di bulan yang basah
ketika tetes hujan menggertak daun-daun pilodendron
yang tersenyum
kau tahu kekasih
sudah lama kunanti hujan
agar aku bisa terus bersamamu
terbang bersama khayal
dan harapan yang datang
bersama tetes air hujan
yang hinggap di ujung-ujung pilodendron
membawa hijau
membawa hidup
membawa mimpi
dan ingin kudendangkan nyanyian pemanggil hujan
karena malam sudah hampir tiba
diikat matahari
sungguh!
semua itu terasa seperti mengulum
madu disertai pahitnya nila
kau memberikan mimpi
dan segenggam harapan
dalam bungkusan senyum
sungguh!
ingin kubeli mimpi, harapan
dan sebungkus senyum itu
dengan kuntum mawar di sakuku
agar bisa terus kubawa saat tidur
sungguh!
semua akhirnya hanya tinggal
kenangan yang manis
ketika suatu siang
kau bilang bunga-bunga telah diikat oleh matahari
hingga tak ada lagi yang boleh mengganggu
semua itu terasa seperti mengulum
madu disertai pahitnya nila
kau memberikan mimpi
dan segenggam harapan
dalam bungkusan senyum
sungguh!
ingin kubeli mimpi, harapan
dan sebungkus senyum itu
dengan kuntum mawar di sakuku
agar bisa terus kubawa saat tidur
sungguh!
semua akhirnya hanya tinggal
kenangan yang manis
ketika suatu siang
kau bilang bunga-bunga telah diikat oleh matahari
hingga tak ada lagi yang boleh mengganggu
kenangan
semua akhirnya hanya tinggal
kenangan yang manis
ketika suatu siang kau bilang
bunga-bunga telah diikat oleh matahari
hingga tak ada lagi yang boleh mengganggu
pontianak, okt 07
kenangan yang manis
ketika suatu siang kau bilang
bunga-bunga telah diikat oleh matahari
hingga tak ada lagi yang boleh mengganggu
pontianak, okt 07
titipan
Ku titipkan hati yang dibungkus emas. Yang ku simpan bersama tulip dalam kantung hitam. juga kutitipkan setitik embun di kantung putih. Engkau mengambil titipan itu, Dan bilang, ”datanglah 10 bulan lagi. Saat bulan sudah penuh. Saat orang-orang kehilangan hati dan embun.”
Kau menutup pintu.
Ku diam. Dan pulang.
Ku kembali untuk mengambil titipan hati yang dibungkus emas. Bersama tulip dan setitik embun. Bulan sudah penuh dan orang-orang kehilangan hati dan embun. Tapi kau tak ada di pintu. Kata tetangga, hati dan embun yang kutitipkan telah dicuri orang.
Ku diam. Dan pulang.
Ku kembali untuk mengambil titipan. 20 bulan yang lalu, kau bilang, “datanglah 10 bulan lagi. Saat bulan sudah penuh. Saat orang-orang kehilangan hati dan embun.” Tapi kau tak ada di situ. Di sebelah jalan, beberapa tulip bermunculan. Tapi semua kering, ditemani semak yang kering.
pontianak medio mei o7, saat hati gerimis
Kau menutup pintu.
Ku diam. Dan pulang.
Ku kembali untuk mengambil titipan hati yang dibungkus emas. Bersama tulip dan setitik embun. Bulan sudah penuh dan orang-orang kehilangan hati dan embun. Tapi kau tak ada di pintu. Kata tetangga, hati dan embun yang kutitipkan telah dicuri orang.
Ku diam. Dan pulang.
Ku kembali untuk mengambil titipan. 20 bulan yang lalu, kau bilang, “datanglah 10 bulan lagi. Saat bulan sudah penuh. Saat orang-orang kehilangan hati dan embun.” Tapi kau tak ada di situ. Di sebelah jalan, beberapa tulip bermunculan. Tapi semua kering, ditemani semak yang kering.
pontianak medio mei o7, saat hati gerimis
Sunday, October 7, 2007
Warga Belajar program PBH
Pemberantasan Buta Huruf: Saya (paling kanan) bersama warga belajar program Keaksaraan Fungsional, di Desa Air Putih Kecamatan Kubu (Agustus 2007). Dalam upaya pemberantasan buta huruf, FKIP Untan menerjunkan mahasiswa untuk membimbing mereka yang buta huruf agar bisa membaca dan menulis. Saya termasuk salah satu tutornya. Ditargetkan pada tahun 2015 Kalbar bebas buta huruf
Transportasi Sungai: Sebagian besar wilayah di Kalbar dihubungkan oleh sungai-sungai besar. Sejak dulu masyarakat Kalbar menggunakan sungai sebagai sarana transportasi. Salah satunya menggunakan kapal motor air (kapal bandung) yang bisa mengangkut penumpang dan barang. Foto diambil Agustus 2007, di atas kapal klotok jurusan Rasau Jaya- Desa Air Putih kecamatan Kubu (teks dan foto:Heriyanto)
Subscribe to:
Posts (Atom)