Friday, January 23, 2009

Liukan Para Naga


Keringat di wajah Wendy belum sempat dibersihkan. Baju kaosnya juga tampak basah. Segelas air minum dengan cepat dihabiskannya. Wendy tampak kecapean. 


Malam itu, Wendy dan teman-temannya di Yayasan Budhi Agung baru selesai latihan. Sebentar lagi perayaan Imlek datang. Mereka harus siap-siap. Berlatih sekuat tenaga agar tarian barongsai mereka layak dipertunjukkan. 

Perkumpulan barongsai tempat Wendy latihan bernama Budhi Agung yang terletak di jalan Dewi Sartika. Wendy bercerita, yayasan ini sudah berdiri sejak 1912, dan bertahan hingga sekarang. Anggotanya sudah beberapa kali ganti generasi. Dia sendiri generasi kesekian di yayasan itu. Pemain Barongsai di yayasan ini rata-rata anak muda, jumlahnya 16 orang. ”Ada yang masih SMP dan SMA, ada pula yang kuliah. Tamatan sarjana juga ada,” ujar Wendy, yang masih berusia 20 tahun ini.

Wendy sendiri sudah bermain barongsai selama 10 tahun. Seingatnya ketika pertama berlatih, dia masih duduk di kelas 5 SD. ”Waktu itu sih hanya coba-coba saja. Tapi sekarang malah kerasa asyiknya.” Wendy mengaku lebih suka pada barongsai ketimbang main game seperti yang digemari kebanyakan remaja lain.

Anggota barongsai sendiri berbagi peran. Ada yang bermain musik, ada juga yang jadi penarinya. Untuk bisa mahir bermain barongsai minimal harus berlatih selama setahun. Ini karena gerakan-gerakan barongsai cukup sulit. Mulai gerakan dasar hingga yang lanjutan. ”Yang tersulit barangkali berjalan dan melompat di atas tiang. Kalau gerakan ini tidak semua anggota bisa melakukannya. Biasanya dari sekian orang hanya beberapa saja yang terpilih,” tambah Wendy.



Untuk bisa menguasai berbagai gerakan barongsai dengan baik, menurut Wendy syaratnya harus rajin berlatih dan berani. ”Kalau latihan terus, semua pasti bisa,” Wendy memastikan.

Selain Wendy, malam itu ada juga Junanto. Untuk memainkan barongsai sendiri butuh 2 orang, satu di kepala dan lainnya di ekor. Nah untuk yang bagian ekor inilah Junanto kebagian tugas. Junanto bertubuh cukup kekar dan gerakannya lincah. Bagi pemain ekor fisik seperti ini memang diperlukan. Kalau tidak tentu dia akan sulit mengangkat penari di depannya. Selain itu tubuh pemain ekor harus lebih besar dari pemain depan. ”Ini penting, karena seringkali ada gerakan pemain ekor mengangkat pemain depan. Kalau badan pemain depan lebih besar dari saya mana kuat ngangkatnya,” ceritanya terkekeh.

Diantara sekian banyak atraksi, berjalan dan melompat di atas tiang besi adalah tantangan yang cukup berat. Mereka harus berlatih keseimbangan dan kekompakan. Sedikit kesalahan, mereka bisa saja terjatuh. ”Makanya antara pemain depan dan ekor harus kompak.” Selain itu gerakannya juga harus menyesuaikan dengan irama musiknya. Perpaduan gerak dan musik ini yang bikin tari barongsai itu indah dilihat.

Dion Valentino Tanuwijaya salah satu anggota yang masih berusia cukup muda mengaku tertarik ikut barongsai, salah satunya karena keindahan barongsai ini. Meski usianya baru 13 tahun dan masih duduk di kelas 1 SMP, Dion rajin berlatih selama satu tahun ini. Dion sudah bisa memainkan beberapa alat musik pengiring barongsai. Dion mengaku senang ikut latihan di sana. ”Saya ijin ke papa, rupanya boleh. Tapi tetap harus mengatur waktu agar nggak ganggu sekolah.”

Meski kebanyakan anggota Budi Agung adalah cowok, tapi ada juga 2 cewek yang bergabung di sana. Salah satunya adalah Suryani. Suryani adalah sarjana lulusan Widya Dharma. Banyak temannya yang tidak setuju dia berlatih barongsai. ”Soalnya keliatan nggak feminim, kata mereka.”

Tapi Suryani cuek saja. ”Aku ngelihat banyak kok sisi positifnya. Ikut barongsai itu rasanya beda banget. Saya dapat banyak pengalaman dan senang rasanya. Ini khan tradisi leluhur. Banyak anak muda yang nggak mau mempelajarinya. Kalau ini nggak diletastarikan, bisa hilang nantinya,” pungkas Suryani.[]

No comments: