Thursday, May 24, 2007

The Parable Of Pipeline: Untuk Optimisme Bangsa

Oleh Heriyanto

Sebuah Kisah Pengantar
Hurke Hedges dalam The Parable Of Pipeline membuat ilustrasi menarik. Tahun 1801 di sebuah lembah di Italia, ada dua orang saudara sepupu yang sangat ambisius: Pablo dan Bruno. Mereka memiliki cita-cita tinggi. Keduanya bekerja mengangkut air dari sumber air ke penampungan di tengah desa. Namun, jarak yang jauh dan kondisi jalan yang kurang memungkinkan adalah rintangan terbesarnya.
Pablo memberikan usul, ”Bagaimana bila kita membangun saluran air?”. Usulan Pablo dianggap angin lalu oleh Bruno. Pablo lantas mengerjakan sendirian rencana itu, sementara Bruno tetap pada usahanya sejak awal. Orang-orang desa mengejek apa yang dikerjakan Pablo dan menyebutnya Si Manusia Pipa.

Namun dia terus mengerjakannya: menyambung-nyambung batang-batang bambu. Sendirian! Dua tahun berlalu, saluran pipanya akhirnya rampung. Orang-orang desa berkumpul saat air mulai mengalir dari saluran pipa menuju ke penampungan air. Desa itu sudah bisa mendapatkan pasokan air bersih secara tetap. Semua bergembira. Hanya Bruno yang tampak murung dengan tubuh bungkuk karena setiap hari mengangkut air.

Pablo berkata pada Bruno, “Dua tahun lamanya saya bekerja untuk menyelesaikan pembangunan pipa itu. Selama itu saya belajar banyak hal. Dan saya sudah mengerti bagaimana membangun saluran pipa dengan lebih mudah. Sebetulnya saya bisa mengerjakannya sendirian, tetapi rasanya untuk apa saya menghabiskan waktu satu tahun hanya untuk membangun satu saluran pipa. Rencana saya mengajari kamu dan warga desa lainnya supaya bisa membangun sendiri saluran pipa untuk mereka. Semua tempat akan bisa teraliri air.”

Dalam kisah di atas tersimpan nada-nada optimisme, sekaligus pesan yang barangkali bisa kita jadikan pelajaran tentang perjuangan seseorang untuk kepentingan masyarakat luas. The Parable Of Pipeline adalah sebuah cerita menarik. Pararel dengan cerita ini, Tempo pada akhir Desember 2006 memilih 10 Tokoh Muda Indonesia yang dinilai telah melahirkan karya-karya yang bermakna bagi kemanusiaan.
“Wajah mereka berkelebat di laboratorium, di turbin air, di desa tandus, di musium tua yang dilupakan serta di ruang pengadilan yang mendidih. Mereka kerap ditimpa kesepian karena memilih bertarung melawan arus besar yang lama menelikung kita: korupsi, kolusi, nepotisme. Menciptakan karya-karya yang bermartabat adalah pilihan mereka.” Demikian Tempo edisi 31 Desember 2006 menuliskan kata pengantar indah ini untuk mereka.

Mereka ada di berbagai pelosok Indonesia. Tri Mumpuni salah satunya. Di sana, di daerah terpencil di Sulawesi Selatan, Mumpuni mengajari warga membuat listrik murah, lalu menjualnya ke pemerintah. Dia berjuang dengan tetesan keringat. Inilah wanita yang berani menunggangi kuda jauh menembus hutan-hutan Sulawesi dan menyisiri daerah-daerah pedalaman dengan semangat yang tinggi agar masyarakat di sana bisa menikmati listrik.

Dia gigih memberdayakan daerah terpencil dan ulet mewujudkan apa yang dianggapnya berkeadilan. Membaca kisah ini kita ingat dengan perjuangan penerima Nobel Perdamaian 2006 Dr Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank, yang memberikan kredit kecil kepada buruh, pengemis, dan orang-orang miskin di Bangladesh supaya mereka bisa meningkatkan kesejahteraan mereka. Dia telah mengilhami banyak orang bagaimana bertindak bagi kemanusiaan dengan hati yang tulus.

Kita Butuh Optimisme
Bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai masalah, kita sudah tahu sama-sama; bangsa ini didera krisis mulitidimensi juga sering kita dengar; petaka dan bencana datang silih berganti, sudah sama-sama kita rasakan. Belum selesai satu bencana tertangani, di daerah lain sudah muncul bencana lain. Tsunami, banjir, longsor, kekeringan, lumpur panas, dan sebagainya: hampir tak bisa kita hitung satu persatu.
Di antara sekian banyak persoalan yang ada di bangsa ini, yang masih sangat jarang kita dengar adalah optimisme dan upaya bersama untuk keluar dari segala macam sengkarut tersebut. Yang lebih sering kita dengar adalah nada pesimisme; sesama anak bangsa berkelahi; sesama pejabat negara saling menjatuhkan.

Katakanlah kita memanjat pohon yang salah, maka yang dibutuhkan adalah bagaimana kita bisa turun dan kemudian belajar dari kesalahan itu sehingga ke depan kita tidak lagi salah memanjat pohon. Descartes pernah berujar: “Aku selalu mempunyai keinginan kuat untuk mempelajari bagaimana membedakan yang benar dari yang salah, supaya terlihat jelas bagaimana seharusnya aku bertindak dan bisa berkelana dengan kayakinan melalui hidup ini.” Apakah bangsa ini, kita semua, sudah mau belajar agar mampu membedakan yang benar dan yang salah.
Saya yakin manusia pada dasarnya baik dan selalu bergerak menuju kebaikan. Saya setuju dengan Komarudin Hidayat dalam buku Politik Panjat Pinang: di Mana Peran Agama? yang terbit setahun lalu bahwa dalam kesadaran batinnya yang paling dalam, setiap manusia memiliki dorongan untuk mencari makna. Dalam hal ini kejahatan dan kemerosotan moral manusia adalah kesementaraan sebagai dialektika menuju perbaikan dan kemajuan. Jadi kita mesti bersabar, optimis, dan secara kritis melakukan perbaikan terus menerus.

Optimisme ini bukan tanpa alasan. Kita bisa melihat berbagai perubahan yang secara pelan tapi pasti mulai berjalan. Ruang-ruang optimisme itu juga muncul ketika melihat banyak anak muda yang sungguh-sungguh bekerja untuk perubahan bangsa ini. Layaknya tokoh Pablo mereka bekerja untuk masyarakat luas. Generasi muda itu tumpuan bangsa saat ini.

Negara yang dalam kondisi krisis, rakyatnya dalam situasi kebingungan, gamang, dan kehilangan spirit. Maka harus ada orang-orang yang menjadi inspirasi banyak orang untuk terus melakukan perbaikan. Mereka tidak bergerak untuk diri mereka sendiri, namun untuk kepentingan yang lebih luas. Kita butuh banyak orang seperti itu, tidak cukup satu. Kita butuh orang-orang itu di kepolisian, di kejaksaan, di depertemen, di legislatif dan di berbagi tempat lain. Mereka yang bisa mendobrak segala kebekuan, segala stagnasi. Mereka mesti orang yang berani, namun penuh perhitungan.

Melalui mereka optimisme kita dibangkitkan. Krisis memang berat, namun seberat apapun krisis bila ada orang yang mampu membangkitkan optimisme bahwa suatu saat masih ada cahaya terang, maka krisis bukanlah sesuatu yang mustahil dilalui. Mereka mampu membalikkan pesimisme yang sudah akut menjadi harapan cerah. Energi bangsa dipompa untuk memandang ke depan dan punya impian. Jika Amerika punya American Dream, Indonesia layak punya Indonesian Dream. Dengan itu kita akan bangkit!

Wednesday, May 23, 2007

Melihat Lebih Dekat Persoalan Cerucuk

Oleh Heriyanto

Pagi, Jumat 20 April 2007 sebuah mobil kijang putih melaju menuju Sungai Ambawang. Waktu masih menunjukkan pukul 8.30, namun matahari sudah cukup terik. Jalan berdebu. Sebagian ruas jalan yang ditempuh sudah diaspal namun terputus-putus. Ruas jalan yang berupa tanah merah bercampur batu lebih panjang ketimbang yang sudah diaspal. Sesekali mobil berguncang. Mobil mesti berjalan pelan saat melalui lubang-lubang yang cukup banyak di jalan.

Mobil itu mengangkut 7 orang peserta pelatihan pengkampanye hasil hutan: Sulhani (Kail), Arif Kristanto (Taman Nasional Betung Karihun), Julinda (Balai Pemantapan Kawasan Hutan III), Musa (Institut Dayakologi), Didin (TN Bukit Baka Bukit Raya) dan Icuk Setiawan (BKSDA Kalbar). Saya dari Mimbar Untan termasuk salah satu di dalamnya. Kegiatan ini didanai Forest Law Enforcement-Governance And Trade.

Sesuai rencana pada malam harinya, kami memang berencana melihat secara langsung proses pengambilan kayu cerucuk. Ini usulan Sulhani yang aktif di Konsorsium Anti Illegal Logging (KAIL). Dia meyakinkan kelompok, bahwa kegiatan penebangan kayu cerucuk cukup marak di Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak. Kecamatan ini masih cukup banyak luasan hutan yang menyediakan pasokan cerucuk.

Setelah sekitar setengah jam perjalanan terlihat beberapa truk besar melintas. Ada 8 buah truk yang lewat, 5 buah di antaranya membawa muatan penuh cerucuk. Mobil kijang yang membawa kami melewati beberapa desa yaitu Kuala Ambawang, Jawa Tengah, Korek, Lingga, dan Pancaroba. Sepanjang perjalanan kami menyaksikan tumpukan-tumpukan cerucuk di pinggir jalan Trans Kalimantan. Akhirnya kami sampai di Desa Teluk Bakung, desa paling ujung Sungai Ambawang. Saat itu pukul 11.00.

Di satu lokasi yang tidak jauh dari jalan, terlihat aktivitas pekerja yang sedang memuat kayu-kayu berukuran kecil ke dalam truk. Ada beragam ukuran kayu di sana. Namun rata-rata memang berdiameter kecil. Panjang kayu juga beragam. Yang cukup banyak adalah kayu-kayu dengan diameter di atas 10 cm dan panjang minimum 2 meter. Kayu itulah yang biasa disebut cerucuk.

Kayu cerucuk berguna untuk proyek pembangunan rumah, gedung, atau jalan. Biasanya kayu ini dipakai untuk menguatkan pondasi bangunan. Cerucuk juga dipakai untuk menopang sementara konstruksi bangunan. Jenis-jenis cerucuk dari hutan Kabupaten Pontianak antaralain: Bintangor, Gelam, Medang, dan Ubah.

Ada sekitar 30 pekerja di sana. Rata-rata sekitar 20-30 tahun. Seorang mandor bernama Pandi Effendi atau biasa dipanggil Atat bersedia saya wawancarai. Umurnya 45 tahun. Dia sudah puluhan tahun bekerja jadi mandor. Atat cerita bagaimana kayu-kayu itu diambil dari hutan, mulai proses penebangan hingga pengangkutan ke truk.
”Kami beli kayu cerucuk ini dari masyarakat sekitar hutan. Sehari ada ratusan batang. Satu batang belinya 1000 rupiah. Sudah diambil, diangkut keluar,” kata Atat pelan.

Para pekerja dibagi dalam tiga kelompok. Pertama yang menebang di hutan, kemudian ada yang mengangkut, dan terakhir yang memuatnya ke truk. Sistemnya borongan. Setelah ditebang, kemudian dibersihkan, dan diangkut dengan menggunakan gerobak. Mereka punya tiga gerobak. Menurut Atat, kayu yang diambil adalah milik rakyat. Jarak antara tempat penebangan dengan tempat pengumpul sekitar 3-4 kilometer. Ada jalan-jalan kecil yang menghubungkan tempat itu. Cerucuk yang diambil ada yang panjang 4 meter, 6 meter, 8 meter, dan 12 meter. Atat menjual kayu cerucuk itu pada pengumpul di daerah Kuala Sungai Ambawang.

”Saat ini, memang permintaan cerucuk cukup banyak. Untuk satu proyek bangunan itu butuh ribuan cerucuk. Di sungai ambawang ada beberapa tempat yang mengusahakan kayu cerucuk ini,” katanya. Menurut hitungannya, di desa Bakung saja ada empat tempat tempat usaha sejenis.

Atat mengurus perijinan di kecamatan dan kepala desa. ”Saya pernah coba mengurus ijin kehutanan, namun untuk kerja cerucuk belum ada Perda-nya Pak,” kata Atat menceritakan soal belum adanya regulasi soal penebangan cerucuk ini. Sayangnya setelah menebang, masyarakat di sana tidak menanam kembali yang sudah ditebang.

Setelah merasa cukup mengambil gambar dan memperoleh sumber wawancara, saya dan tim memutuskan kembali ke Pontianak. Matahari semakin terik. Jam menunjukkan waktu 11.30. Tujuan selanjutnya Dinas Kehutanan Provinsi Kalbar.

Di Dishut, kami menemui Kabid Produksi Dishut Bambang Prihanung. Dia membenarkan belum ada regulasi yang mengatur pengambilan kayu cerucuk. ”Cerucuk masih berupa anakan pohon. Jika anakan ini terus ditebang secara berlebihan akan berakibat dalam beberapa tahun ke depan terputusnya regenerasi,” kata Bambang saat ditemui di ruang kerjanya. Padahal sampai saat ini penebangan cerucuk masih tentu saja belum jelas aturannya.

Penebangan kayu cerucuk ada di beberapa tempat, di kawasan hutan dan di luar kawasan. Yang bermasalah, menurut Bambang adalah bila pengeksploitasian kayu itu berada di wilayah hutan.

Memandang pentingnya adanya regulasi terhadap penebangan cerucuk ini, maka Dinas Kehutanan Provinsi Kalbar saat ini sedang melakukan berbagai kajian agar segera mungkin bisa dhasilkan satu rumusan yang jelas sehingga ada peraturan yang bisa diterapkan dengan baik.

Teriakan Pilu

Oleh Heri Limbung

Besi meraung di atas udara
panas
Di tanah gersang
Rentetan suara memekkan telinga

Pasir
Jembatan
Rumah
Dan tempat ibadah

Seorang anak kecil berteriak: Ibu!
Di tangannya ada luka
Kening, hidung dan mulutnya ada darah
Dan di matanya tersimpan duka

Dua jengkal dari sisi kanannya
seorang ibu terbaring
Tak ada lagi napas,
Tak air susu dan panggilan anakku-anakku

Di tempat berbeda
Sekelompok orang berseragam, tertawa
Tadi aku telah menyalakan api, katanya
Ke sebuah rumah, dengan satu kali hitungan
Dan pencetan tombol di angkasa

Menimbang Ulang Reformasi

Oleh Heriyanto

Reformasi pada dasarnya adalah suatu pengharapan. Dan setiap orang Indonesia punya pengharapannya masing-masing terhadap reformasi. Tahun 1998, saat harga kebutuhan pokok melambung tinggi; saat korupsi merajalela; atau saat negara dalam kondisi goyah dan tatanan kehidupan negara karut-marut, yang tersisa adalah harapan agar persoalan itu membaik. Di bawah Soeharto yang otoriter, kebebasan dan demokrasi adalah hal langka. Saat itu kita juga rindu kebebasan dan demokratisasi. Saat itu kita berharap ada regenerasi kepemimpinan nasional.

Dan benar saja. Ketika Soeharto dengan suara pelan membacakan surat pengunduran dirinya sebagai presiden pada pagi 21 Mei 1998, sorak-sorai mahasiswa membahana di gedung DPR. Sujud syukur, teriakan haru, dan tangisan mahasiswa pecah saat itu. Soeharto tumbang dan digantikan Bj Habibie! Ada ribuan harapan saat itu. Tak sia-sia pengorbanan nyawa demonstran, begitu pikir mahasiswa. Sejak itu kata reformasi menjadi tuah; dia disebut di mana-mana.

Kaum muda menuntut perbaikan atas apa yang sudah dikerjakan kaum tua. Di mana-mana kaum muda memang jadi pendobrak, karena kaum tua terlalu lamban untuk itu. Mendobrak berarti mendorong dengan kuat. Namun mahasiswa tidak selamanya turun ke jalan. Mereka harus belajar. Mereka harus kembali ke kampus. Dan pemerintahan tetap diisi generasi tua.

Namun mahasiswa lupa, yang berganti hanya presidennya, sementara sistem yang korup selama 32 tahun sudah terlanjur mengakar kuat. Apa yang terjadi dan apa yang dilakukan tak jauh bedanya pada masa orde baru. Walhasil, kita seperti yang diibaratkan Komaruddin Hidayat: memanjat pohon yang salah. Ibarat memanjat pohon yang tinggi, bangsa Indonesia telah mengeluarkan ongkos yang teramat mahal, baik tenaga, kekayaan alam, utang luar negeri, maupun modal sosial untuk sampai ke puncak. Tetapi sungguh ironis, sesampai di puncak pohon ternyata buah yang didambakan tidak ada.

Kini sudah sembilan tahun reformasi. Bagai bayi yang merangkak, reformasi berjalan dengan pelan. Sembilan tahun adalah masa-masa pembuktian. Sudahkah reformasi terwujud? Tapi kita tidak bisa buru-buru bilang reformasi gagal atau sebaliknya berhasil. Reformasi bukanlah hanya kata-kata yang diteriakkan demonstran. Reformasi juga tidak bermakna hanya sekadar tumbangnya pemerintahan otoriter. Ia bukanlah makna final, namun reformasi adalah sebuah proses. Dan proses itu terus berjalan hingga sekarang. Karena sesuai katanya, reform, maka dia akan senantiasa berubah. Ada proses berarti ada kerja. Dan di dalam kerja itu banyak orang yang terlibat. Karena reformasi adalah sebuah proses, maka dia bukan tujuan. Kesejahteraan rakyat adalah tujuannya. Reformasi apanya bila rakyat masih menderita?

Makanya kita tak bisa melihat hitam-putih apakah reformasi berhasil ataukah gagal. Tapi kita bisa menjawabnya atas dasar pengharapan yang kita miliki atas reformasi. Namun pengharapan sering tak mewujud menjadi sebuah capaian. Banyak orang yang berharap dalam gelap dan saat terang tak ia dapati seperti harapannya. Ada harapan, ada kenyataan, namun tak selamanya yang kita harapkan sesuai kenyataan. Itulah bila das sollen jauh dari das sein-nya.

Bang Mashuri, si PKL mungkin bisa bilang reformasi gagal, karena pengharapannya terhadap reformasi tak terwujud. Dia yang pernah hidup di jaman orde baru mungkin membandingkan kehidupannya saat dulu dengan sekarang. Ternyata saat ini harga kebutuhan pokok lebih mahal, pun demikian ia sulit cari kerjaan, dan dikejar-kejar polisi pamong praja. Reformasi memberinya kenyataan: hidup tambah susah. Padahal pengharapannya sederhana dia ingin tenang cari nafkah.

Bagi Nurdin si mahasiswa reformasi nyata-nyata telah gagal. Dia melihat dengan hatinya bahwa rasa keadilan telah diperdagangkan, koruptor masih enak-enak hidup nyaman dalam villa mewah, hukum jadi bahan mainan, dan rakyat semakin banyak miskin. Di situ dia melihat tak ada reformasi. Yang ada cuma pergantian pimpinan nasional, sementara orang-orang dalam struktur pemerintahan masih tetap orang-orang lama, yang ketika jaman Soeharto ikut menjadi bedinde menikmati lezatnya kekuasaan. Reformasi menyisakan orang-orang yang hipokrit.

Dia juga melihat partai yang dulu turut andil dalam mengacaukan negara ini ternyata menang pemilu dan berubah bentuk jadi partai dengan muka baru. Reformasi mengecewakannya. Dan betul. Orang akan kecewa bila harapannya pupus begitu saja. Dan dia pun kembali membawa megaphone dan membakar ban di jalan. Dia berteriak. Dia sambangi gedung DPR untuk minta pertanggungjawaban atas amanah yang diberikan rakyat. Namun orang-orang di gedung itu mungkin menutupi telinga. Mereka tak sadar mewakili siapa.

Namun di sini kontrakdisi itu ada. Bagi si korup barangkali reformasi berhasil. Reformasi telah berhasil membuat ia leluasa untuk korupsi. Dengan begitu reformasi malah begitu mudah diobral dan jadi bahan omongan. Para pejabat korup paling pandai untuk mengaku dan bicara atas nama reformasi. Seolah-olah mereka adalah para penyokong reformasi. Di mulut korup itu reformasi jadi bahan renyah untuk pidato. Mereka kaum hipokrit yang menghancurkan makna reformasi. Mereka senantiasa akan mencari hal yang lebih enak. Orang-orang yang korup dengan lantang bicara soal reformasi sambil dengan enak menginjak-nginjak reformasi itu sendiri.

Setiap pergantian presiden selalu saja ada harapan baru. Pasca mundurnya Soeharto sudah ada empat presiden: Bj Habibie, Gusdur, Megawati dan SBY. Meskipun demikian selalu saja ada yang dikecewakan. Mereka semua kaum tua yang lamban, generasi tua yang gagap. Mereka lebih suka kompromistis. Mereka tak berani menangkap para koruptor. Mereka juga tak berani mengadili Soeharto dan kroni-kroninya. Mereka memang perlu disentil-sentil supaya ingat!

Terkadang kita tak tahu sampai batas mana harus berhenti. Sampai batas mana harus berbuat. Sampai batas mana yang benar dan yang salah. Sampai akhirnya ada kenyataan yang membuat kita bergumam, ”kok sampai begitu?” Begitu pula di negeri ini. Kita melangkah dan kemudian tak tahu sampai batas mana bahwa yang kita lakukan itu mencapai keberhasilan. Sampai akhirnya kita sadar bahwa kita berada dalam sebuah lingkaran yang berputar-putar. Dan harapan-harapan itu selalu dikecewakan.

Reformasi menjadi kontradiksi ketika tak ada yang berubah kecuali korupsi yang semakin merajela, rakyat yang semakin miskin, atau negara yang semakin tergadai. Masihkah ada harapan ke depan?

Hurke Hedges dalam The Parable Of Pipeline

Hurke Hedges dalam The Parable Of Pipeline membuat ilustrasi menarik. Tahun 1801 di sebuah lembah di Italia, ada dua orang saudara sepupu yang sangat ambisius: Pablo dan Bruno. Mereka memiliki cita-cita yang tinggi. Kedunya bekerja mengangkut air dari sumber air ke penampungan di tengah desa. Namun, jarak yang jauh dan kondisi jalan yang kurang memungkinkan adalah rintangan terbesarnya.
Pablo memberikan usul,” Bagaimana bila kita membangun saluran air?” Usulan pablo dianggap angin lalu oleh Bruno. Pablo kemudian mengerjakan sendirian rencana itu, sementara Bruno tetap usahanya sejak awal. Orang-orang di desa mengejek apa yang dikerjakan Pablo dan menyebutnya Si Manusia Pipa. Namun dia terus mengerjakannya: menyambung-nyambung batang-batang bambu. Sendirian. Dua tahun berlalu, saluran pipanya akhirnya rampung. Orang-orang desa berkumpul saat air mulai mengalir dari saluran pipa menuju ke penampungan air. Desa itu sudah bisa mendapatkan pasokan air bersih secara tetap. Semua bergembira, hanya Bruno yang tampak murung dengan tubuh bungkuk karena setiap hari mengangkut air.
Pablo berkata pada Bruno, “Dua tahun lamanya saya bekerja untuk menyelesaikan pembangunan pipa itu. Selama itu saya belajar banyak hal. Dan saya sudah mengerti bagaimana membangun saluran pipa dengan lebih mudah. Sebetulnya saya bisa mengerjakannya sendirian, tetapi rasanya untuk apa saya menghabiskan waktu satu tahun hanya untuk membangun satu saluran pipa. Rencana saya adalah mengajari kamu dan warga desa lainnya, sehingga bisa membangun sendiri saluran pipa untuk mereka. Semua tempat akan bisa teraliri air.”

Tuesday, May 22, 2007

Dampak Negatif Televisi bagi Pendidikan Anak

Oleh Heriyanto

Ada hal yang sangat menggelisahkan saat menyaksikan tayangan-tayangan televisi belakangan ini. Kecuali Metro TV, hampir semua stasiun-stasiun televisi, banyak menayangkan program acara (terutama sinetron) yang cenderung mengarah pada tayangan berbau kekerasan (sadisme), pornografi, mistik, dan kemewahan (hedonisme). Tayangan-tayangan tersebut terus berlomba demi rating tanpa memperhatikan dampak bagi pemirsanya. Kegelisahan itu semakin bertambah karena tayangan-tayangan tersebut dengan mudah bisa dikonsumsi oleh anak-anak.

Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, misalnya, mencatat, rata-rata anak usia Sekolah Dasar menonton televisi antara 30 hingga 35 jam setiap minggu. Artinya pada hari-hari biasa mereka menonton tayangan televisi lebih dari 4 hingga 5 jam sehari. Sementara di hari Minggu bisa 7 sampai 8 jam. Jika rata-rata 4 jam sehari, berarti setahun sekitar 1.400 jam, atau 18.000 jam sampai seorang anak lulus SLTA. Padahal waktu yang dilewatkan anak-anak mulai dari TK sampai SLTA hanya 13.000 jam. Ini berarti anak-anak meluangkan lebih banyak waktu untuk menonton televisi daripada untuk kegiatan apa pun, kecuali tidur (Pikiran Rakyat, 29 April 2004).

Lebih mengkhawatirkan, kebanyakan orang tua tidak sadar akan kebebasan media yang kurang baik atas anak-anak. Anak-anak tidak diawasi dengan baik saat menonton televisi. Dengan kondisi ini sangat dikawatirkan bagaimana dampaknya bagi perkembangan anak-anak. Kita memang tidak bisa gegabah menyamaratakan semua program televisi berdampak buruk bagi anak. Ada juga program televisi yang punya sisi baik, misalnya program Acara Pendidikan. Banyak informasi yang bisa diserap dari televisi, yang tidak didapat dari tempat lain. Namun di sisi lain banyak juga tayangan televisi yang bisa berdampak buruk bagi anak. Sudah banyak survei-survei yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana dampak tayangan televisi di kalangan anak-anak. Sebuah survei yang pernah dilakukan harian Los Angeles Times membuktikan, 4 dari 5 orang Amerika menganggap kekerasan di televisi mirip dengan dunia nyata. Oleh sebab itu sangat berbahaya kalau anak-anak sering menonton tayangan TV yang mengandung unsur kekerasan. Kekerasan di TV membuat anak menganggap kekerasan adalah jalan untuk menyelesaikan masalah (Era Muslim, 27/07/2004).

Sementara itu sebuah penelitian di Texas, Amerika Serikat, yang dilakukan selama lebih dari tiga tahun terhadap 200 anak usia 2-7 tahun menemukan bahwa anak-anak yang banyak menonton program hiburan dan kartun terbukti memperoleh nilai yang lebih rendah dibanding anak yang sedikit saja menghabiskan waktunya untuk menonton tayangan yang sama (KCM, 11/08/2005). Dua survei itu sebenarnya bisa jadi pelajaran.

Namun di Indonesia suguhan tayangan kekerasan dan kriminal seperti Patroli, Buser, TKP dan sebagainya, tetap saja dengan mudah bisa ditonton oleh anak-anak. Demikian pula tayangan yang berbau pornografi dan pornoaksi. Persoalan gaya hidup dan kemewahan juga patut dikritisi. Banyak sinetron yang menampilkan kehidupan yang serba glamour. Tanpa bekerja orang bisa hidup mewah. Anak-anak sekolahan dengan dandanan yang "aneh-aneh" tidak mencerminkan sebagai seorang pelajar justru dipajang sebagai pemikat. Sikap terhadap guru, orangtua, maupun sesama teman juga sangat tidak mendidik.

Dikawatirkan anak-anak sekolahan meniru gaya, sikap, serta apa yang mereka lihat di sinetron-sinetron yang berlimpah kemewahan itu. Peranan Orangtua Memang televisi bisa berdampak kurang baik bagi anak, namun melarang anak sama sekali untuk menonton televisi juga kurang baik. Yang lebih bijaksana adalah mengontrol tayangan televisi bagi anak-anak. Setidaknya memberikan pemahaman kepada anak mana yang bisa mereka tonton dan mana yang tidak boleh. Orang tua perlu mendampingi anak-anaknya saat menonton televisi. Memberikan berbagai pemahaman kepada anak-anak tentang suatu tayangan yang sedang disaksikan. Selain sarana membangun komunikasi dengan anak, hal ini bisa mengurangi dampak negatif televisi bagi anak. Kebiasaan mengonsumsi televisi secara sehat ini mesti dimulai sejak anak di usia dini.

Perlu dipahami bahwa tempat pendidikan paling utama adalah di keluarga, dimana orangtua adalah yang paling bertanggungjawab di dalamnya. Kenapa mesti orangtua? Karena orangtua yang bisa mengawasi anaknya lebih lama. Orangtua paling dekat anaknya. Dalam keluargalah anak bertumbuh kembang. Membiarkan anak menonton televisi secara berlebihan berarti membiarkan tumbuh kembang dan pendidikan anak terganggu. Kewajiban orangtua juga untuk memantau kegiatan belajar anak di rumah. Perkembangan si anak tidak bisa terlalu dibebankan pada sekolah.

Dalam kesehariaannya, guru di sekolah tidak akan bisa mengantikan peran orangtua. Karena itu menjadi suatu keharusan bagi orangtua untuk tetap memperhatikan si anak selama di rumah. J Drost SJ (2000), seorang ahli pendidikan dari IKIP Sanata Dharma pernah menulis dalam buku Reformasi Pengajaran: Salah Asuhan Orantua?: "Penanaman nilai-nilai dalam pembentukan watak merupakan proses informal. Tidak ada pendidikan formal. Jadi seluruh pembentukan moral manusia muda hanya lewat interaksi informal antara dia dan lingkungan hidup manusia muda itu. Maka pendidik utama adalah orangtua."

Dimuat di Pontianak Post, Minggu, 4 Desember 2005

Impor Beras, Kebijakan Tanpa Kebajikan

Oleh Heriyanto

BUKAN kebijakan namanya jika dikeluarkan secara tidak bijak. Tetapi kelucuan ini bukan hal lucu di Indonesia. Benar-benar terjadi. Satu kebijakan salah, maka kemudian ditutupi dengan kebijakan lainnya. Satu kebohongan di keluarkan, maka besok akan ada kebohongan lainnya yang akan dibuat untuk menutupinya. Tidak percaya? Satu contoh yang paling mudah yaitu impor beras. Dilihat dari sisi manapun itu sangat tidak bijak? Sekarang saya tanya, "Apa alasan utama impor beras?" Pasti kita berpikir karena kekurangan beras. Dan bila kebutuhan itu tidak terpenuhi bisa bikin busung lapar. Tapi, ternyata tidak. Indonesia tidak kekurangan beras. Stok beras dalam negri sangat mencukupi. Bahkan Menteri Pertanian Anton Apriantono (mungkin) jika diajak sumpah potong tangan atau sumpah pocong tidak akan berani membantahnya.

Baca saja pernyataannya di beberapa media. Kata Mentan, "Akan kami tentang sampai kapan pun bila alasannya stok beras tidak cukup, kecuali alasan impor beras adalah untuk meredam inflasi." (KCM, 22/11/2005). Sementara itu produksi nasional, diakuinya, masih cukup untuk beberapa bulan mendatang. Berbeda dengan Mentan, Wakil Presiden Yusuf Kalla justru ngotot bahwa impor beras mutlak diperlukan. Menurutnya, alasan pemerintah mengimpor beras untuk menghindari munculnya risiko kekurangan pangan.

"Pemerintah tidak mau ambil risiko jika terjadi kekurangan (beras) untuk seluruh rakyat. Jika kekurangan tekstil atau bahan bakar minyak, efeknya tidak terlalu besar. Paling orang antre sedikit. Tapi jika gangguannya menyangkut kebutuhan pokok seperti beras, maka itu bahaya. Bisa saja terjadi badai hujan sehingga mengganggu panen di lapangan sehingga mengganggu stok beras yang dimiliki Perum Bulog saat ini." (Tempo Interaktif, 22/11/2005).

Dua argumen berbeda diungkapkan dua pejabat negara. Lantas mana yang benar. Dalam ilmu logika jika dua orang berkata tentang satu hal, tetapi pernyataan yang satu berbeda dari pernyataan kedua, bisa jadi ada beberapa kemungkinan. Pertama, pernyataan yang satu benar dan yang lainnya salah. Kedua, kedua-duanya salah. Namun, tidak mungkin kedua-duanya benar. Jika demikian, siapa yang berdusta.

Pak Menteri atau Pak Wapres. Atau kedua-keduanya yang berdusta? Waduh repot. Saya kira persoalan inflasi seperti yang dikemukakan oleh Mentan bisa jadi alasan kuat impor beras. Sungguh mengejutkan, menurut BPS, inflasi tahunan mencapai 17,89 persen. Bagi orang awam, angka ini bukanlah apa-apa. Kecuali kenyataan semakin mahalnya barang kebutuhan hidup. Tapi bagi pemerintah, angka ini tentu sangat berarti. Dengan inflasi yang begitu tinggi ini kemampuan pemerintah dalam mengelola negara patut dipertanyakan.

Kembali kebelakang, ketika pemerintah menaikkan harga BBM pada 1 0ktober lalu, semua orang tahu bahwa alasan utama yang sering dilontarkan pemerintah adalah persoalan defisit anggaran. Bahwa kita akan bangkrut bila BBM tidak segera dinaikkan. Maka minyak dijual lebih mahal dengan tujuan bisa menambal defisit anggaran. Namun, pemerintah (barangkali) sama sekali tidak menduga bahwa angka inflasi itu akan begitu tinggi. Jauh di atas perhitungan para ekonom yang turut membidani keputusan kenaikan BBM. Kini, sudah jelas, berbagai alasan kenaikan BBM terbantahkan.

Pertama, masalah defisit anggaran. Bagaimana mungkin bila defisit tapi ternyata pengeluaran untuk impor beras, kenaikan DPR, dana BLT juga sangat besar. Demikian pula untuk nilai sebuah kesabaran rakyat. Kedua, harga minyak internasional sangat fluktuatif. Bila kemarin sempat mencapai 70 dollar per barrel, bisa jadi besok turun menjadi 50 dollar per barrel. Pemerintah berpendapat, BBM suatu waktu memang bisa diturunkan sesuai harga internasional itu.

Namun ketika harga minyak sudah dinaikkan, harga barang yang juga melonjak naik akan sulit untuk diturunkan. Kini inflasi sudah begitu tinggi. Namun cara pemerintah mengatasinya ingin mudahnya saja: mengimpor beras. Memang cara mudah, karena tinggal menggunakan devisa yang kita punya untuk membayarnya. Toh mereka yang masuk lingkaran proyek pengadaan beras itu akan mendapat keuntungan sekian persen dari jumlah keseluruhan proyek. Saya lebih condong berpikir, kebijakan itu lebih bersifat politis. Jika tidak dilakukan akan menurunkan kredibilitas pemerintah. Hanya saja ini tentu akan "memukul" para petani, karena dengan masuknya beras impor ini bisa dipastikan harga beras produksi petani akan menjadi rendah. Hilang harapan para petani untuk bisa merasakan sedikit keuntungan hasil panennya.

Kebijakan tanpa Kebajikan Kebijakan kenaikan BBM yang tak diperhitungkan berbagai dampak (buruk) nya itu, harus ditambal dengan kebijakan lainnya yang sama-sama buruk. Ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kebijakan pemerintah tanpa memperhatikan kebajikannya. Banyak kebijakan pemerintah yang semestinya bijak, namun pada kenyataannya bukan hal bijak. Kepentingan politik untuk tetap melanggengkan kekuasaan Mereka, yang justru menambah penderitaan rakyat.

Katakanlah, rakyat bisa menjadi korban dari kebijakan pemerintah. Cara menangani persoalan di negeri bisa disamakan dengan cara para penjajah. Terus memeras untuk mendapatkan keuntungan diri sendiri. Hanya bedanya dulu penjajahnya orang asing, sementara sekarang adalah bangsa kita sendiri. Apa pertanggungjawaban kebijakan kenaikan harga BBM. Dengan angka statistik pemerintah mempropagandakan akan menurunkan angka kemiskinan. Tapi apa lacur? Angka inflasi naik, angka kemiskinan naik, gaji DPR naik, gaji presiden naik, gaji menteri naik, dan orang yang bunuh diri juga naik.

Dan petani mendapatkan "hadiah" impor beras yang semakin menyengsarakan. Kini kelompok masyarakat marginal semakin jauh dari akses untuk memperbaiki kondisi mereka. Potensi ekonomi dimatikan. Jika ada, program-program untuk rakyat miskin hanya sebatas untuk menekan "riak-riak" kecil di masyarakat. Tingkat penghisapan negara semakin besar. Sektor informal yang masih bisa dijangkau justru sering dihambat pemerintah sendiri. Orang jualan di pinggir jalan semakin banyak di gusur, pasar tradisional semakin sepi karena banyak orang yang beralih ke hypermart, supermart dan mall-mall. Rakyat kecil sendiri kebanyakan belum tersadarkan, bahwa mereka adalah korban atas kebijakan pemerintah. Belum menyadari bahwa banyak hak mereka tidak terpenuhi, padahal ketika berbicara kewajiban, rakyat seperti sapi perahan. Biarkan rakyat lapar asal negara tidak rugi. Biarkan rakyat berkerja keras asal para pejabat bisa hidup enak. Atau biarkan impor beras asal masih bisa menjabat sebagai wakil presiden dan dapat dana proyek. Ini perlu direnungkan agar dalam realitas kehidupan ini, kembali keadaanya semestinya. Jangan sampai setiap kebijakan pemerintah tanpa kebajikan sama.

Dimuat di Harian Pontianak Post, Selasa, 6 Desember 2005

Monday, May 21, 2007

Aksi Terorisme dan Kebencian Terhadap AS

Oleh Heriyanto



SORE itu, masih di bulan Nopember, salah satu televisi swasta menayangkan rekaman video yang cukup mencengangkan berisi pernyataan pelaku Bom Bali II. Isinya antara lain alasan mengapa mereka melakukan aksi pengeboman, pesan kepada keluarga yang ditinggalkan, dan keyakinan perjuangan mereka itu sebagai aksi jihad yang akan membuahkan surga. Di akhir tayangan itu, seorang pria bertopeng berlogat Melayu (yang diyakini polisi) sebagai gembong teroris Noordin Mohamad Top mengatakan bahwa musuh mereka adalah Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan Italia. Mereka juga mengancam akan terus melawan para penolong George W. Bush (Presiden AS) dan Tony Blair (Perdana Mentri Inggris).

Aksi bom bunuh diri atas nama jihad, jelas tidak bisa dibenarkan. Bukankah ajaran Islam melarang seseorang melakukan bunuh diri? Apalagi jika mengakibatkan orang lain yang tidak tahu menahu juga jadi korbannya. Ratusan jiwa terbunuh, kehilangan anggota tubuh, dan akibat secara psikologis seperti trauma juga menyertai para korban. Lebih lagi, korbannya tidak hanya berasal dari empat negara yang mereka musuhi itu, tetapi dari warga negara Indonesia juga ada. Akibat lainnya, stabilitas keamanan dan ekonomi menjadi turut terganggu. Sepintas, aksi bom bunuh diri itu memang tidak logis. Jika ingin menyerang Amerika, mengapa sasarannya kafe, tempat wisata, dan tempat-tempat lain yang jauh hubungannya dengan Amerika.

Namun terlepas dari berbagai argumen salah atau benar, logis atau tidak, ada satu isyarat yang ingin para pengebom itu sampaikan yaitu kebencian yang begitu besar terhadap Amerika Serikat dan negara-negara pendukungnya. Setidaknya hal ini tampak dari pernyataan mereka yang akan memusuhi para penolong Bush dan Blair. Bush adalah representasi dari Amerika Serikat, sementara Blair adalah representasi Inggris, negara yang selama ini begitu mendukung kebijakan-kebijakan AS. Sementara Australia dan Italia juga merupakan negara yang selama ini mendukung kebijakan-kebijakan AS.

Lantas yang jadi pertanyaan kemudian, mengapa mereka begitu membenci Amerika serikat dan negara yang mendukungnya itu? Berbagai asumsi serta argumen bisa disampaikan untuk menjawabnya. Tulisan ini adalah asumsi penulis.

Kita tentu ingat tragedi 11 September 2001 (11/9). Negara sekuat Amerika bobol pertahanannya oleh sebuah aksi bunuh diri. Lambang kemakmuran dan kejayaan ekonomi, serta keperkasaan Amerika, gedung World Trade Center (WTC) dan Pentagon luluh lantak oleh serangan kelompok radikal -hingga kini belum ada yang mengaku bertanggung jawab atas aksi itu-. Amerika mendefinisikan serangan itu sebagai aksi terorisme. Pasca tragedi itu, ketakutan terhadap terorisme telah membuat AS menjadi sangat sensitif. Kekhawatiran AS atas bangkitnya gerakan-gerakan radikal Islam menjelma menjadi semacam fobia terhadap negara-negara Islam. Kecurigaan-kecurigaan tanpa dasar pun berseliweran. Negara-negara yang bersebarangan dengan Amerika akan dianggap negara teroris. Iran dan Iraq, misalnya, digolongkan menjadi anggota negara "poros setan". Atas nama memerangi terorisme, AS bisa saja menyerang negara lain. Misalnya saja penyerangan AS ke Afganistan dengan alasan mencari Usamah Bin Laden. Pemimpin Al Qaeda itu tidak tertangkap, namun Afganistan terlanjur menjadi daerah berdarah. Begitu banyak korban jiwa, harta benda hancur, dan korban secara psikologis tak terhitung. Padahal mereka tidak tahu menahu tentang tragedi 11/9.

Setelah menyerang Afghanistan, AS menyerang Iraq dengan alasan adanya laporan inteligen Amerika bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal. Tapi diketahui kemudian bahwa laporan itu salah, Irak tidak terbukti memiliki senjata pemusnah massal. Korban berjatuhan, sementara AS dengan enaknya mengalihkan isu senjata pemusnah massal ke kediktatoran Saddam Husein sebagai pembenaran untuk tetap melanjutkan serangannya.

Selama ini, diakui atau tidak, kebijakan Amerika terhadap Timur Tengah tentu juga dipengaruhi kepentingan nasional jangka pendek, khususnya penguasaan sumber minyak. Bisa dibayangkan negara sebesar AS tanpa memiliki sumber cadangan energi. Padahal negara itu bukanlah penghasil minyak. Satu-satunya cara adalah menguasai sumber-sumber minyak dari negara penghasil minyak, baik secara halus maupun kasar.

Sementara itu dominansi ekonomi AS yang begitu besar terhadap negara-negara lain, termasuk Indonesia, sehingga negara lain seperti tak berkutik di depan Amerika. Lingkaran utang serta ketergantungan negara lain sulit untuk diputus. IMF, Bank Dunia, serta lembaga-lembaga internasional bentukan Amerika telah memasung banyak negara dalam kubangan utang sehingga menjadi negara yang terjajah secara ekonomi.

Hal inilah yang membuat sentimen anti Amerika justru semakin membesar. Kebencian terhadap Amerika tidak hanya dalam aksi bom bunuh diri. Aksi demo juga gencar di beberapa negara. Beberapa waktu yang lalu di Argentina, misalnya, ribuan orang melakukan demo anti Amerika pada saat Bush ke negara tersebut. Demikian pula saat KTT APEC berlangsung di Busan Korea November ini, ribuan orang turun ke jalan meneriakan yel-yel anti Amerika. Bagi kelompok-kelompok radikal mereka melawan AS dengan cara mereka sendiri. Mereka tahu, melawan ekonomi tentu tidak mampu, sementara melawan secara langsung akan berhadapan dengan kekuatan militer AS yang begitu kuat.

Bom bunuh diri bisa jadi adalah bentuk keputusasaan dari berbagai cara yang sudah sangat sulit untuk dilakukan. Dan itu dinilai menjadi cara yang cukup efektif dalam menyampaikan pesan, protes, dan perjuangan mereka. Saya kira, Amerika perlu melakukan instrospeksi atas segala kebijakan yang telah dibuat. Tidak perlu merasa menjadi "hero" yang mendefinisikan diri sebagai polisi dunia. Dan bagi para pengebom, aksi-aksi itu justru tidak akan mendapat dukungan dari masyarakat dunia dan membuat citra Islam menjadi kurang baik. Salah sasaran, ingin melawan Amerika tapi justru menyengsarakan penjaga kafe, wisatawan, atau orang-orang tak bersalah lainnya. **

tulisan ini pernah dimuat di harian Pontianak Post, 26 November 2005

Supaya Pintar Harus Bisa Berenang

Oleh Heriyanto

Lima anak berpakaian seragam putih merah itu berlari menyusuri jalan setapak hingga akhirnya tiba di sebuah sungai. Baju seragam mereka masukkan ke dalam tas. Dan kemudian...byur! Mereka terjun ke sungai. Mereka berenang sambil mengamankan tas supaya tidak basah. Sampai di seberang sungai mereka mengenakan kembali seragam dan kemudian bergegas kembali menuju sekolah.
Di sela-sela gelak tawa itu, terdengar narasi: ”Kata ayah, supaya jadi orang pintar harus bisa berenang. Soalnya kalo nggak bisa berenang aku nggak bisa sampai ke sekolah. Walau bagaimana pun aku harus sampai ke sekolah. Bu guru bilang, sekolah adalah jembatan masa depan yang akan mengantar aku menggapai cita-cita. Walaupun sungai ini dalam dan sekolahku jauh aku dan teman-teman akan tetap sekolah dan belajar. Seandainya ke sekolah ada jembatan juga, aku bisa sampai masa depan lebih cepat.”
Cerita di atas adalah penggalan sebuah iklan menyambut Hari Pendidikan Nasional. Beberapa hari ini kerap muncul di televisi. Iklan ini unik, menarik, sekaligus menampilkan sisi humanis. Namun di situ ada ironi: iklan yang sarat pesan-pesan pendidikan ini justru dibuat perusahaan rokok. Namun terlepas dari perusahaan apa yang bikin dan untuk tujuan apa, iklan itu berhasil menampilkan realitas yang menyentuh. Dan itu realitas itu begitu dekat, di sekitar kehidupan kita.
Bagi saya iklan itu bukan sekadar iklan biasa supaya rokoknya laku, namun menampilkan sebuah gambaran-- lebih tepatnya kenyataan-- yang isinya membuat trenyuh. Trenyuh karena kenyataannya sampai hari ini saat Hari Pendidikan Nasional diperingati, masih banyak anak usia sekolah yang harus berusaha sekuat tenaga supaya bisa bersekolah.
Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa. Dia berharap anak-anak Indonesia menjadi cerdas. Jaman itu masih jaman kolonial. Orang masih sulit untuk sekolah. Orang-orang dari kalangan priyayi yang bisa sekolah. Fasilitas belajar seadanya. Namun sejak itu usaha-usaha memajukan bangsa lewat jalur pendidikan mulai menemukan tempatnya. Kesadaran akan pentingnya pendidikan mulai tumbuh. Hari lahir ki hajar diperingati sebagai hari pendidikan nasional.
Kini sudah hampir seabad lewat. Namun masih banyak anak-anak sekolah yang harus berjalan puluhan kilometer untuk sampai ke sekolah. Seringkali mereka harus melewati jalan rusak, melewati sungai tanpa jembatan, atau menembus hutan-hutan. Mereka berangkat pagi, dan sampai di sekolah peluh bercucuran. Di sekolah mereka belajar dalam bangunan reot dan hampir rubuh. Saat hujan atap bocor. Buku bacaan seadanya. Kalangan miskin masih belum menikmati pendidikan layak.
Hari Pendidikan Nasional, setiap tahun kita peringati. Tapi untuk siapa? Untuk apa? Barangkali ini menjadi sebuah rutinitas saja, sekadar ada, namun kehilangan maknanya. Sudahkah pendidikan kita lebih baik? Pernahkah kita menghitung sudah berapa kali kita peringati hari pendidikan nasional ini, dan lantas kita bandingkan kondisi di sekeliling kita, apa yang sudah berubah? Apakah kita sudah mendapatkan manusia Indonesia seutuhnya seperti yang kita dengar? Adakah Manusia Indonesia seutuhnya itu? Ataukah yang ada adalah manusia Indonesia parsial yang setengah-setengah?
Terkadang kita tak tahu sampai batas mana harus berhenti. Sampai batas mana harus berbuat. Sampai batas mana yang benar dan yang salah. Sampai akhirnya ada kenyataan yang membuat kita bergumam, ”Kok sampai begitu?” Begitu pula pendidikan. Kita melangkah dan kemudian tak tahu sampai batas mana bahwa yang kita lakukan itu mencapai keberhasilan. Sampai akhirnya kita sadar bahwa kita berada dalam sebuah lingkaran yang berputar-putar. Sebuah pengulangan yang klise. Bukankah kita butuh sebuah penggalan kisah-kisah yang tidak selalu berisi cerita-cerita muram, suatu saat nanti.
Cerita soal iklan yang jadi pembuka di awal paragraf juga memberikan optimisme. Itu sisi lainnya. Kita bisa melihat bagaimana anak-anak sekolah itu tetap bersemangat pergi ke sekolah meski harus berenang untuk sampai ke sekolah. Gelak tawa menyertai mereka. Anak-anak itu melaluinya dengan kegembiraan, karena mereka punya harapan: masa depan yang cerah. Bukan keluhan tapi impian dan harapan. Keinginan mencapai cita-cita adalah segala-galanya. Begitulah kalimat di akhir iklan.
Setiap tanggal 2 Mei kita memperingati hari pendidikan nasional. Guru dan rakyat Indonesia berharap akan ada perubahan yang lebih baik dalam hal pendidikan. Semua kita berharap agar tidak ada lagi kebodohan dan pembodohan di mana-mana. Kita berharap anak-anak Indonesia menjadi anak-anak yang cerdas dan punya kemampuan (skill yang tinggi). Kita berharap Indonesia memiliki SDM yang berkualitas.
Semua itu kita harapkan supaya mereka, anak-anak bangsa itu, bisa memperbaiki kondisi bangsa saat ini, di mana krisis berkepanjangan, korupsi di mana-mana dan segala carut marut itu terjadi. Kita berharap mereka anak-anak negeri akan tumbuh menjadi anak-anak berkualitas dan nantinya akan menggantikan generasi tua. Adalah lebih baik bila mereka bisa belajar dengan nyaman, senang, tenang.

Benang Kusut Itu Bernama Pendidikan

Oleh Heriyanto


Persoalan pendidikan di Indonesia seperti sebuah benang kusut yang sulit ditemukan ujung pangkalnya, juga tak mudah ditemukan ujung akhirnya. Bahkan semakin hari semakin kusut saja kelihatannya. Rumit. Masalah kurikulum contohnya. Kenyataannya setiap kali ganti menteri, kurikulum dengan mudahnya diganti, diujicobakan kurikulum baru, untuk kemudian dicabut lagi. Kita pernah kenal Kurikulum 1994, kemudian pada 2004 diganti Kurikulum Berbasis Kompetensi. Belum sempat KBK diterapkan dengan baik di sekolah, sudah muncul usulan kurikulum yang baru: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada 2006 lalu. Jika kurikulum terakhir ini benar-benar diterapkan setidaknya ada tiga kurikulum yang dipakai sekolah-sekolah saat ini. Pada siswa kelas 2 dan 3 diterapkan KBK sementara kelas 1 diujicobakan KTSP. Ini bagi sekolah yang sudah siap. Namun masih banyak sekolah yang masih memakai kurikulum 1994, terutama sekolah-sekolah di daerah tertinggal. Sementara sekolah-sekolah unggulan di kota-kota besar sudah begitu maju dan sudah siap menerapkan KBK dan KTSP, namun di sisi lain masih banyak pula sekolah yang tenaga pengajarnya kurang, gedungnya hampir roboh, atau dana operasional yang megap-megap. Masih banyak bukan sekolah yang ruang kelasnya dipakai sekaligus untuk beberapa kelas dengan satu tenaga pengajar saja? Setiap perubahan kurikulum selalu memunculkan berbagai istilah baru. Guru-guru yang ada di daerah bingung. Bapak Ibu guru yang ada di pelosok-pelosok daerah (mungkin) banyak yang belum paham bagaimana sistem belajar KBK, bakal tambah bingung dengan kurikulum baru ini. Baru saja mereka mengikuti pelatihan, kok tiba-tiba saja sudah tidak diterapkan lagi. Alih-alih untuk memperbaiki apa yang selama ini dianggap perlu diperbaiki, kebijakan-kebijakan yang selalu berubah itu justru membuat orientasi pembelajaran menjadi tidak jelas. Cilakanya setelah diterapkan baru terlihat ketimpangan-ketimpangan di sana-sini. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pun masih sangat riskan untuk dicabut kembali, karena pemerintah Pusat (Diknas dan Badan Standar Nasional Pendidikan) belum menemukan formula yang tepat untuk daerah-daerah miskin. Kita tahu bahwa kemampuan satu daerah dengan daerah lain sangat beragam. Kasihan para siswa yang hanya menjadi bahan mainan dan coba-coba saja. Padahal dengan menjadikan murid bahan uji coba kurikulum berarti telah mengabaikan hak-hak mereka atas jaminan pendidikan yang memadai. Pemerintah tak usah berdalih, tak usah berkelit, dan tak usah membela diri, bila kita bilang visi mencerdaskan anak bangsa sudah hilang. Generasi yang dididik saat ini adalah generasi yang 10 atau 20 tahun ke depan akan mengelola negara ini. Bagaimana bila mereka hanya menjadi bahan uji coba? Ujian Nasional Benang kusut tak hanya soal urusan kurikulum tetapi juga soal Ujian Nasional. Katanya desentralisasi, katanya sudah otonomi, tapi untuk Ujian Nasional saja mesti diatur-atur orang-orang Jakarta. Desentralisasi bukan sembarang desentralisasi, otonomi juga tidak seenaknya otonomi, itu barangkali yang ada di pikiran orang-orang pusat. Kebijakan pendidikan masih sangat sentralistik. Daerah belum benar-benar dipercaya untuk mengelola pendidikan secara otonom. Masak sih menyamaratakan siswa-siswa Jakarta dengan Kalimantan, menyamakan semarang dengan Papua. Lihat saja, bagaimana ujian nasional dilaksanakan. Ketika KBK muncul kita berharap banyak kurikulum ini mampu menjadi solusi atas berbagai persoalan pendidikan. Tetapi akhirnya pupus juga harapan itu. Proses belajar mengajar masih sama saja. Masih saja siswa dikejar-kejar, dipaksa-paksa belajar dengan materi pelajaran yang begitu padat. Kurikulum di Indonesia dinilai terlalu berat dengan jumlah jam belajar yang begitu padat. Segi kuantitas begitu diperhatikan ketimbang kualitasnya. Dari pagi hingga sore, belum lagi ditambah les bimbingan belajar. Ini terjadi selama bertahun-tahun. Katanya siswa diharapkan punya kompetensi. Namun, kompetensi macam apa yang diharapkan jika kelulusan masih ditentukan oleh Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia? Bagaimana mengukur kompetensi siswa Jurusan Tata Boga dengan ujian tertulis? Bagaimana kemampuan anak merancang baju, jika yang diujikan soal lain? Ibarat mengukur berat gula dengan meteran. Siswa masih dijejali dengan jam belajar yang begitu padat. Sementara kelulusan cuma ditentukan beberapa pelajaran saja. Banyak siswa justru mengalami tekanan dan stress. Tak sedikit pula yang sampai bunuh diri. Saya tertarik pada pemikiran Theodore R Sizer dalam buku dalam buku 50 Pemikir Paling Berpengaruh terhadap Pendidikan. Menurut tokoh ini tujuan akademik sekolah harus sederhana, yakni tiap murid menguasai keterampilan dan pengetahuan yang penting dalam jumlah sedikit. Sekolah seharusnya membantu anak-anak mengembangkan kebiasaan menggunakan pikiran mereka dengan baik. Motto "sedikit berarti banyak" menjadi salah satu diktum terkenal Sizer. Sizer memang lebih mengutamakan kualitas belajar dibandingkan kuantitas mengajar. Bukan banyaknya pelajaran, tetapi seberapa kualitas penguasaan suatu pelajaran bagi seorang anak. Seberapa kebutuhan akan suatu pelajaran bagi anak. Pertanyaannya, apakah yang disampaikan Sizer ini sudah termuat dalam kurikulum saat ini? Sudahkah ditumbuhkembangkan kemampuan (kompetensi) imajinatif dan intelektual yang memberikan akses kepada anak didik untuk pengetahuan lebih banyak; agar anak menjadi pelajar aktif; lebih menunjukkan motivasi dan keingintahuan; memahami sesuatu secara mendalam (tidak secara dangkal); serta berkembang menjadi manusia skeptis dan cermat? Saya pikir belum. Saya curiga, jangan-jangan mereka yang para pemegang otoritas pendidikan di Indonesia memang tak punya visi mencerdaskan anak bangsa, namun hanya mencari peluang mendapatkan keuntungan. Proyek sana sini. Tapi buru-buru kecurigaan itu saya buang. Mudah-mudahan tidak benar. Hati ini berharap masih ada orang-orang yang mampu menguraikan benang kusut pendidikan itu. Semoga!

Jumat, 6 April 2007

Friday, May 18, 2007

Orang-orang yang Melawan Arus


Oleh Heriyanto

Copernicus dihukum dan buku-bukunya dibakar oleh kekuasaan Gereja Katolik ketika dia membantah teori geosentris yang selama beratus-ratus tahun diyakini orang-orang pada zamannya. Copernicus kukuh dengan teori heliosentris bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi, namun sebaliknya bumilah yang mengelilingi matahari. 

Kita bicara soal personalitas para pejuang --yang kecil, yang sedikit, yang sendiri-- namun harus melawan sebuah kekuasaan yang besar. Mereka yang pada akhirnya dibungkam. Bahkan Mati. Orang-orang yang melawan arus besar, memang harus bersiap-siap untuk itu. Karena status quo sangat resisten terhadap perubahan dan tidak siap dengan sesuatu yang baru. Di mana pun hampir sama.