Thursday, December 6, 2007

Takdir Pers sebagai Watch Dog Demokrasi

Oleh Heriyanto

Sudah takdirnya pers berperan sebagai social control. Dan dengan takdir itu berarti pers harus siap untuk menggongong. Kita teringat dengan bukunya Omi Intan Naomi yang menyebut pers sebagai Anjing Penjaga Demokrasi. Filosopinya: menyalak dengan garang bila ada kekeliruan, mengonggong dengan keras bila ada kezaliman, dan akan terus mengejar bila ada hal yang tidak beres. Korupsi, perselingkuhan kekuasaan, kelaparan, kemiskinan, semua itu perlu diberitakan, dikiritik, dikoreksi untuk kemudian diperbaiki. Setiap saat Pers akan memantau, memberikan warning, sesekali menggonggong dengan galak.

Sudah takdir pers pula untuk terus melihat yang kadang tak dilihat oleh institusi lain itu. Kita ingat kisah Risky bocah malang yang terkena tumor yang akhirnya meninggal dunia beberapa waktu lalu. Orangtuanya tidak mampu mengobatkan anaknya karena tak punya uang. Dia harus diberitakan dulu baru ibu menteri marah-marah pada pejabat berwenang di daerah.

Duit negara juga perlu diawasi penggunaannya, agar tidak diselewengkan. Peradilan kasus korupsi mesti terus dipantau oleh pers dan disampaikan pada publik sehingga publik bisa melakukan kontrol agar proses peradilan itu bisa berjalan dengan semestinya. Pers juga perlu memberitakan hal yang mungkin kelihatan kecil, penyunatan dana beasiswa mahasiswa misalnya.

Jika kita setuju bahwa peran pers penting, kita sebagai orang yang berpikiran waras tentu akan sangat mendukung terhadap setiap usaha agar pers memperoleh kemerdekaan dalam menjalankan perannya sebagai penjaga demokrasi. Pada jaman orde baru pers tumpul, tak tajam, dan mandul. Karena kekuasaan memang tak bisa tahan bila pers terlalu tajam kritiknya, bila pers terlalu kuat suaranya. Pemerintah takut pers mengontrol kinerjanya. Maka pemerintah yang ketakutan itu membuat aturan-aturan yang membatasi kerja pers. Mereka yang melawan pemerintah dibreidel, ijinnya dicabut, dan wartawannya dipenjara. Pers yang masih ingin hidup harus berhati-hati, bikin berita yang lunak-lunak saja, atau yang bikin berita yang mendukung kebijakan pemerintah atau juga bikin berita yang tidak ngurusin dapurnya pemerintah.

Tapi itu dulu, waktu jaman orde baru. Di jaman orde yang paling baru, orde reformasi, pers bisa bernafas lega. Karena pers bisa lebih leluasa ketimbang masa orde baru. Pers tidak lagi dikekang, tidak takut dibreidel dan wartawannya tidak lagi takut kena penjara gara-gara mengkritik pemerintah. Tapi benarkah kita sudah dapatkan kebebasan itu?

Tidak dibreidel mungkin iya. Pemerintah tidak lagi kurang kerjaan harus mengurusi tetek bengek pemberitaan lalu mensensornya. Kita berterima kasih pada aktivis pro demokrasi. Tapi kita mungkin lupa, para pengancam kebebasan pers bisa saja bertransformasi ke bentuk lain. Kita ingat kasus Tempo vs Tommy Winata. Tommy Winata menggugat Tempo atas pemberitaannya soal kebakaran Pasar Tanah Abang. Bukan hanya ancaman penjara, tapi wartawannya diintimidasi, dipukul, dan diancam oleh para preman. Bahkan pimrednya juga hampir saja masuk bui. Kita juga ingat kasus harian Indopos, Grup Jawa Pos yang kantornya dirusak anak buah Hercules. Beberapa perangkat komputer dirusak. Wartawannya juga sempat dipukul, diancam, diintimidasi.
Intimidasi kerja pers berarti pengekangan pada kebebasan dan berarti pula pencederaan terhadap Hak Asasi Manusia. Termasuk hak pelakunya sendiri. Ini adalah bentuk aksi premanisme.

Tak terlalu mengherankan bila pelakunya Hercules, orang yang terkenal sebagai preman pasar. Mungkin cara itu yang paling ia mengerti. Bukan urusan Hercules untuk mempelajari Undang-undang Pers. Padahal di sana diatur bagaimana cara mengklarifikasi berita yang dipublikasikan, soal hak jawab.

Kita tahu bahwa dalam negara demokrasi, kebebasan pers diakui oleh negara. Negara sekali pun tidak boleh mencampuri dan mengintimidasi pers. Tapi tentu saja pers bisa saja keliru. Jurnalis juga bisa salah. Tapi jurnalis tidak boleh diintimidasi dengan jalan kekerasan. Pihak yang dirugikan dalam pemberitaan pers dapat menggunakan Hak Jawab mereka. Hak jawab penting untuk mengoreksi berita yang sudah ditulis dan dimuat dalam media massa. Jika memang terjadi kesalahan, media yang bersangkutan berhak melakukan ralat atau klarifikasi atas kesalahan yang terjadi. Tulisan dibalas tulisan, opini dibalas opini, dan kesalahan perlu diperbaiki. Tapi tulisan tidak boleh dibalas kekerasan, getokan kepala, atau penjara.

Tapi ini yang bikin kita terheran-heran. Massa mahasiswa yang dimotori BEM Fisip Untan ramai-ramai mendatangi Lembaga Pers Mahasiswa Untan (Mimbar Untan) protes soal berita penyunatan beasiswa yang dirilis oleh Mimbar Untan. Redaksi Mimbar Untan diintimidasi, bahkan salah seorang reporternya diancam, digetok kepalanya.
Perilaku ini tidak jauh beda seperti apa yang dilakukan oleh Hercules. Sebuah bentuk premanisme. Hanya saja pelakunya berbeda. Jika anak buah Hercules adalah preman pasar dan tidak sekolah, nah peristiwa kemarin lalu itu dilakukan oleh mahasiswa yang nota benenya punya pendidikan tinggi dan seharusnya bisa belajar, termasuk bagaimana menyelesaikan persoalan jurnalistik.

Sudah jadi takdir pers untuk melakukan kontrol sosial. Mimbar Untan memberitakan soal penyunatan beasiswa? Ini adalah sebuah bentuk kontrol. Ini mestinya ditindaklanjuti dengan misalnya penyelidikan atau semacam investigasi. Benarkah penyunatan itu ada. Silahkan membentuk tim pencari fakta. Pihak-pihak yang berkepentingan perlu dilibatkan. Bila ternyata di lapangan benar adanya fakta itu harus ada langkah-langkah selanjutnya.

Mahasiswa boleh mendemo fakultas, pihak fakultas segera menyikapi secara kelembagaan. Ini khan sesuatu yang sangat tidak diperbolehkan dalam dunia akademik. Karena akan menjadi tumor ganas yang akhirnya membunuh diri sendiri. Bila ternyata berita itu salah, silahkan bikin sangkalan. Klarifikasi. Berikan bukti-bukti yang mendukung. Mimbar Untan wajib memberikan ralat.

Ini berkenaan dengan logika berpikir. Ada sebuah anekdot ringan: Nasarudin si bijaksana itu melaporkan bahwa telah terjadi pencurian. Dia tahu siapa pencurinya. Tapi bukannya si pencuri yang ditangkap, eh malah si Nasarudin. Ini khan kesalahan logika berpikir yang cukup fatal.

Dengan melihat persoalan lebih jernih dan tentunya akan dengan hati nurani, tentu tidak akan ada pelanggaran kebebasan pers. Tapi karena memang takdir pers untuk mengontrol, terima saja nasib itu! Sudah nasib belum siap untuk berdemokrasi.

Penulis adalah Mantan Ketua Umum LPM Untan

No comments: