Monday, December 3, 2007

Benang merah sang DEVI

Satu catatan kecil.

by heriyanto



Menulis adalah untuk mengikat ingatan. Begitulah Sang Devi mengemukakan alasannya menulis. Sederhana. Dia sadar punya kelemahan dalam menulis. Namun seperti strategi perang Sun Tzu, untuk sukses orang harus melawan kelemahannya, melawan kekurangannya. Ketakutan manusia adalah penghalang terbesar manusia. Satu-satu jalan untuk menang: memeranginya.

Sang Devi menulis puisi sejak kecil. Dia sering ikut lomba puisi. Dan sering menang. Juga sering kalah. Namun ada momen yang membuatnya terhenyak. Ada satu kenyataan bahwa banyak orang berpuisi: membaca dan membuat puisi tanpa kemerdekaan. Berkiblat pada penyair A, atau pada penyair B. Berkiblat pada Rendra, berkiblat pada Sutarji Colsum Bahri, pada Taufik Ismail, pada Sapardi Joko Damono, atau pada sastrawan yang lain.

Kita tidak berpuisi. Namun hanya meniru. Meniru gaya, meniru ucapan, meniru intonasi. Bukankah puisi adalah sebuah ekspresi jiwa yang merdeka (?). begitu Sang Devi ingin menggugat. Mengapa harus terkungkung oleh ini dan itu, aturan ini dan itu, atau pada pakem-pakem tertentu. Devi ingin menulis puisi dengan merdeka, dengan bebas. Puisi itu singkat jujur. ‘Gak bertele-tele. Celetukan hati yang pertama. dan inilah yang Devi ingin sampaikan.

Kita merasakan kesederhanaan itu dalam puisi Ulang Tahun (hal 1): “Hepi besdey/ aku ulang tahun/ 1,2,3/ hitung lilin/ dapat kado!//”
“Aku selalu merasa selalu ada kata yang mengganjal”, kata Sang Devi. Dan yang mengganjal itu merisaukan. Dari kerisauan ini akan membentuk kata-kata. Dan kata-kata itu mewujud menjadi puisi. Buku inilah hasil dari apa yang mengganjal. Mengganjal di pikiran, di hati, dan di laku perbuatan.

Dalam antologi puisinya Devi lebih suka dengan kata AKU. Dia suka becerita lewat ke-Aku-annya. Karena dengan membaca Aku, Sang Devi merasa rileks dan menempatkan diri pada sosok si tokoh. Put yours self into someone else’s shoes. Cobalah memposisikan diri anda pada diri orang lain. Untuk merasakan empati. Merasakan si tokoh. Begitulah bila kita membaca AKU.

Selintas puisi Sang Devi mudah dicerna dan sederhana, namun bila kita kembali membaca, akan ada makna yang berbeda. Puisinya bermakna ganda. Kita bisa punya intreprestasi berbeda meskipun membaca puisi yang sama. Begitulah puisi Sang Devi. Dari situ kita belajar menghadapi kebingungan.

Puisi Sang Devi juga terkesan vulgar. Mungkin ia ingin menyampaikan kejujuran. Kepolosan. Tak ditutup-tutupi. Seperti dalam puisi Aku Kau (hal 72): “ Terpuaskan nafsu memburu/ hingga teriakkan desahan/ inginku akanmu/ tak akan pernah luntur/ inginku pelukmu/ berbagi aman/ berbagi ciummu/ bakar asmara/….”.
Seperti kata-kata dalam pengantar: kejujuran, proses, bebas (hal V). Begitulah mungkin penulis buku ini bermaksud.

Benang Merah adalah buku pertama dari Trilogy puisi yang sedang ia kerjakan. Buku kedua berjudul Pintu Merah akan segera terbit. Dan buku ketiga yang ia rencana berjudul Ranjang Merah. Benang Merah merupakan suatu pergulatan dalam diri, dalam satu ruang kehidupan. Dan kesemuanya akan keluar, menjadi bagian dari metamormofisis, kemudian melalui Pintu Merah Sang Devi keluar dari kepompong, bergulat dengan dirinya (lagi) dan menjadi sang kupu.

Benang Merah adalah sebuah perumpamaan. Benang Merah menunjukkan satu hubungan antara satu dengan yang lainnya. Jika sederhana bisa dilihat dari hubungan laki-laki dan perempuan, antara baik dan buruk, atau antara manusia dan Tuhan. Manusia memang tidak akan lepas dengan hubungannya dengan manusia lain, dengan benda, dengan Tuhan.

Benang Merah kehidupan itu bisa lurus, bengkok, ruwet atau ‘njelimet. Benang merah kehidupan kita adalah sebuah perjalanan. Kita pernah tahu ujung pangkal, namun kita belum tahu ujung akhirnya. Ujung akhir itulah yang terus dicari manusia. Buku ini adalah sebuah proses panjang yang berkelanjutan. Ia tidak datang secara tiba-tiba dan tidak dilahirkan secara prematur. Buku ini menjadi satu kejujuran dalam memandang, menangkap, dan mengalami sendiri roda kehidupan. Sang Devi mengaku belum merasa puas untuk menulis selama dia masih bisa berpikir.

[ satu kehormatan dari pojok kecil di sebuah koran ]

No comments: