Tuesday, September 11, 2007

Negarawan dalam Konsepsi Plato


Oleh Heriyanto

Politik tak selamanya jelek, walau tak selamanya baik. Namun siapa pun yang menyangka bahwa politik pada awalnya adalah hal yang memuakkan, tentu keliru. Plato orang yang paham akan hal ini. Dalam uraian yang mengejutkan yang saya baca dari buku Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Plato tak membicarakan politik sebagai yang memuakkan itu, namun hal yang indah dan menawan.

Politik bagi Plato adalah sebuah keluhuran, bahkan menjadi karya kreatif yang indah dan bernilai seni. Semua ilmu pada akhirnya akan melayani politik, demi sebuah kepentingan yang lebih luas: kesejahteraan rakyat. Politik dibutuhkan, karena manusia butuh sebuah tata dalam bernegara. Dan itu mengisaratkan satu hal: politik adalah keniscayaan, dan tidak semestinya ditolak, diharamkan.

Melalui karya yang berjudul Republik, Plato menetapkan pembagian warga negaranya menjadi tiga kelas: rakyat biasa, kaum serdadu, dan golongan pemimpin. Hanya kelas terakhir yang memiliki kekuasaan politik. Memiliki kekuasaan politik berarti mereka, golongan pemimpin itu, memegang hajat hidup rakyat. Karena itu mereka wajib memiliki “kebijaksanaan”. Tanpa ini, seorang pemimpin hanya akan menjadi perusak. Aristoteles malah memberikan syarat: seorang pemimpin haruslah seorang filsuf, pencinta
kebijaksanaan.

Kebijaksaan yang dimaksudkan Plato sebagaimana diulas Bertrand Russel, seorang filsuf di era modern, bukanlah semacam keterampilan khusus, seperti yang dimiliki oleh tukang sepatu, dokter, atau ahli bangunan. Ia mestilah sesuatu yang lebih luas daripada keterampilan itu, sebab orang yang memilikinya dianggap mampu memimpin pemerintahan dengan bijaksana. Kebijaksaan itu muncul sebagai perpaduan antara kemampuan intelektual dan disiplin moral. Keutamaan intelektual dihasilkan dari pengajaran, sementara keutamaan moral berasal dari kebiasaan. Kita menjadi adil dengan menjalankan kebiasaan yang adil. Negarawan tidak korup dengan membiasakan diri hidup bersih. Seorang negarawan tidak menipu, tidak menyeleweng, dan tidak mendustai rakyat yang dipimpinnya; karena dia paham bahwa itu salah.

Dengan kata lain, seorang yang bijaksana akan melakukan apa yang benar; dan mampu membedakan yang benar itu dari yang salah. Dengan itu akan tercipta pemerintahan yang baik. Suatu pemerintahan dianggap baik bila jika bertujuan mencapai kebaikan bagi seluruh masyarakat, dan dianggap buruk jika mementingkan diri sendiri. Dengan mengambil konsepsi tokoh zaman Yunani kuno ini, sebenarnya kita mengiyakan bahwa politik, yang pada akhirnya akan melayani urusan kenegaraan itu, sesuatu yang mulia. Tapi persoalan tak berhenti di situ. Politik dimaksudkan Plato barangkali berbeda dengan apa yang kita pahami sebagai politik di masa kini. Ide-ide Plato berbenturan dengan ide-ide modern. Adakah orang yang dianggap bijaksana itu?  Dan bagaimana orang-orang bijaksana itu diciptakan?

Memang dalam kenyataannya sosok negarawan bijaksana seperti penggambaran Plato sulit ditemukan. Seorang negarawan akan berhadapan dengan berbagai pilihan, dan dengan begitu kompromi menjadi keniscayaan. Di antara keputusan yang diambil kesalahan bisa terjadi. Presiden bisa berbuat keliru. Para anggota DPR sering linglung; raja kerap bertindak di luar batas; para paus, meski dianggap tak dapat berbuat salah, kerap melakukan kesalahan-kesalahan yang memprihatinkan. Inilah kritik Russel pada ide Plato tentang sosok negarawan.

Boleh saja dianjurkan presiden harus lulusan universitas. Mungkin saja mempercayakan negara ini pada doktor teologi. Tetapi apakah kebijaksanaan politik bisa diperoleh lewat universitas? Universitas yang tepat macam apa? Tak ada yang bisa memastikan bahwa seseorang yang terpelajar akan lebih baik secara moral ketimbang orang-orang yang tak terpelajar, atau seseorang yang pandai dibanding dengan orang yang bodoh.

Manusia modern (jika boleh dipakai untuk menyebut manusia masa kini) lebih suka memakai demokrasi untuk memilih pemimpin. Namun demokrasi pun sering salah memilih. Sistem demokrasi, layaknya undian dengan teori peluang, punya kemungkinan memilih negarawan yang punya kecapakan intelektual sekaligus moral. Namun sebaliknya bisa lebih buruk, memilih penjahat.

Saya masih tak sepenuhnya percaya bahwa partai politik yang nilai dasarnya kepentingan dan kekuasaan itu mampu menghadirkan negarawan yang cakap. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa sistem ini mampu menghasilkan pemimpin yang terbaik, meski sampai saat ini demokrasi dianggap lebih baik ketimbang sistem lain. Pemimpin besar Indonesia macam Soekarno, Syahrir, Hatta bukan pemimpin yang diciptakan dari demokrasi. Mao Tse Tung, Marx, atau Ghandi di luar sana pun demikian. Mereka terlahir dari sesuatu yang belum jelas, antara cita-cita dan perjuangan, namun tidak dipilih lewat undian.

Mencari sosok negarawan yang bijaksana seperti dalam konsepsi negara Ideal Plato, mungkin utopia, mungkin juga keniscayaan. Namun biar begitu ide Plato itu mestinya menjadi pijakan bagi para negarawan saat ini dalam mengelola negara. Kita sedih ketika negarawan kita tak lagi memperhatikan etika dalam berpolitik, tak santun, serakah, dan tak lagi peduli pada keluhuran.

Kita sedih ketika melihat bagaimana para pemimpin kita menjalankan politik dengan kotor. Sebagian besar dari mereka hanya menumpuk harta dan mendurhakai rakyatnya. Mungkin bila masih hidup Plato juga akan sedih. Entah masih pantaskah golongan pemimpin Indonesia saat ini disebut negarawan. []

2 comments:

Voice Of Borneo said...

Menurut Jumadi Asnawi:Ngara harus berdasarakan Khalifah..selain khalifah Taughud...You...now....

Voice Of Borneo said...

Nilai kebenaran politik sulit diukur, sebab politik akan menikam dua sisi, entah yang baik dan buruk, tetap berdarah...Namun kpentingan yang bisa saya pahami, keberpihakkan kepada siapa...itu, Maka Setiap kebenaran yang diyakini walau menyalahi aturan formal maka harus dijalankan.